Kamis, 09 Oktober 2008

Bab 02, Sial

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Di ruang makan Titi sedang membereskan sarapan pagi yang sudah jadi tugas hariannya itu.

“Kok ada yang janggal ya? Piring yang kotor ada dua, air yang diminum juga ada dua. Siapa yang belum sarapan ya?” Titi mencoba mengingat-ingat. Tadi tuan sarapan pertama kali, lalu nyonya, trus...” titi terdiam.

“Mas Beck belum bangun!” Titi ingat. “Aduh gawat.”

Titi langsung berlari ke atas, tujuannya ya kamar tuan mudanya itu. Sesampainya di atas Titi langsung menghadap monitor yang mungkin sudah bosan harus berhadapan dengannya minimal enam kali sehari.

“Mas Beck, bangun! Mas sudah kesiangan.”

Tapi tidak ada jawaban. Titi mulai mengetuk pintu, kemudian membunyikan alarm. Tapi tetap tidak ada reaksi kehidupan di dalam kamar itu. Titi pun jadi panik sendiri.

Titi mencoba membuka pintu. Dengan mudahnya pintu terbuka. Ternyata semalam Beck lupa mengunci pintu. Titi benar-benar terkejut saat melihat Beck terbaring di lantai.

“Halo... loha... sos... pokoknya semua yang dengar, cepat ke sini!!”

Semua pembokat di rumah itupun terpancing ke sumber suara yang sudah mereka kenali pasti itu.

“Ada apa, Ti?”

“Mas Beck. Lihat!”

“Kenapa? Apanya yang jadi masalah, Ti?”

“Mas Beck. Mas Beck mati,” ujar Titi asal-asalan karena panik.

“Jangan sembarangan kamu ngomong!” hardik Imah yang kesehariannya bertanggung jawab atas perlengkapan dapur..

“Masih bernafas kok. Belum mati,” Darley si koki memberitahukan. “Pingsan nih, hanya pingsan.”

“Meskipun belum mati, meskipun hanya pingsan, tetap saja harus diberi pertolongan sesegera mungkin,” Titi menyarankan layaknya seorang anggota PMI yang sedang tugas. Darley dan Imah pun manggut-manggut setuju.

“Jadi apa yang harus dilakukan sekarang?” tanya Imah.

“Pertama-tama angkat ke tempat tidur!” perintah Titi.

Darley dengan cepat mengangkat Beck. Kelihatannya sangat mudah, entah karena Darley yang pada dasarnya bule dengan perawakan tinggi besar atau karena Beck yang kurus dan nyaris tanpa berat? Entah lah, hanya Tuhan yang tahu.

“Sekarang kita sadarkan!” perintah Titi lagi.

“Caranya?” tanya Imah.

“Kita lakukan seperti biasanya saja,” Titi menjelaskan. Imah dan Darley manggut-manggut lagi. Mereka berdua keluar dan beberapa saat kemudian kembali lagi dengan seember penuh air.

“Siap ya! Satu... dua... tiga... siram!!” seru Titi memberi aba-aba.

Seember air yang pasti tidak hangat itupun akhirnya mengguyur Beck dengan sukses. Beck pun sadar dan dengan tampang polos tidak tahu apa-apa bertanya.

“Ngapain kalian di sini?”

“Mas Beck ini bagaimana sih? Tadi itu mas Beck pingsan. Di situ tuh, di dekat meja,” Titi menjelaskan.

“Pingsan?” Beck jadi bingung. “Kenapa saya pingsan?”

“Ya saya mana tau, mas. Khan mas Beck yang pingsan. Seharusnya mas Beck yang tau dong.”

“Tapi saya gak tau.”

“Mas ini gimana sih?” ujar Titi. “Mungkin magnya kambuh.”

Mag? Mag kambuh? Perasaan tadi malam gue juga mengira begitu. Tapi masa sih? Aduh, apa mungkin ada penyakit lain yang gue derita ya? Kalau mami sama papi tau gimana nih? Bisa berabe.

“Ti, untuk kali ini aja, jangan kasih tau papi sama mami ya!” pinta Beck.

“Giman ya, mas? Nanti kalau ada kenapa-napa dengan mas Beck gimana?” Titi jadi bingung.

“Please...” pinta Beck sambil membujuk. “Saya kan sudah gak kenapa-napa lagi.”

Titi memandang kearah Darley dan Imah. Keduanya hanya mengangkat bahu. “Ya... iya deh, saya mau. Tapi kalau ada apa-apa dengan mas Beck...”

“Jangan khawatir!” Beck meyakinkan. “Nah! Sekarang kalian keluar! Saya mau siap-siap ke sekolah,” pinta Beck.

Titi cs pun nurut. Mereka langsung pergi ke habitat masing-masing.

Beck sejenak termenung di kamarnya. “Apa benar mag gue yang kambuh?”

“Ya, semoga saja. Karena gue gak mau ada penyakit lain dalam tubuh gue. Cukup deh dengan mag, darah rendah, alergi dingin, alergi debu, alergi embun dan flue tahunan yang selalu mampir untuk say hello sama gue selama ini.”

Beck akhirnya mulai beranjak dan bersiap untuk pergi sekolah.

***

Sesampainya Beck di sekolah ternyata upacara sudah hampir selesai. Hanya tinggal nunggu bubar jalan aja lagi.

“Gimana nih? Kalau nekat masuk bisa-bisa distop piket, trus mesti menghadap guru piket. Mana yang piket pak Anwar pula. Duh, pasti rese banget deh tuh guru,” pikir Beck.

Akhirnya beck memutuskan untuk mengendap-endap melewati guru piket dengan berbaur sama anak-anak lainnya.. “Moga-moga gak kelihatan,” batinnya.

Tapi emang nasibnya lagi gak mujur. Seakan ditinggal pergi oleh dewi fortuna yang emang gak pernah betah lama-lama dekat Beck. Tuh guru ngeliat Beck dan dengan galaknya memanggil.

“Kamu Beck kan?” tanya pak Anwar sambil memilin kumis tebalnya.

“Iya, pak,” jawab Beck sembari cengar-cengir gak karuan.

“Kenapa tidak lapor dulu? Kamu terlambat kan?”

Beck nyengir lagi. “Saya keburu-buru, pak.”

“O... keburur-buru. Kenapa? Karena tas kamu belum sampai ke kelas?”

“Ah bapak... tauuuu aja,” jawab Beck senyam-senyum.

“Masih bisa senyam-senyum,” hardik pak Anwar. Beck kontan menarik kembali senyumnya. “Kenapa kamu terlambat?”

“Biasa, pak. Jalanan kalau jam segini suka macet.”

“Kamu ikut bus jemputan kan?”

“Iya, pak.”

“Lantas kenapa teman-teman kamu yang lain tidak terlambat? Memangnya busnya tidak sampai ke rumah kamu apa?”

“Busnya sih sampai, pak. Tapi sayanya gak bisa sampai ke bus, pak.”

“lho? Kenapa bisa begitu?” tanya pak Anwar yang jadi heran sendiri.

“Saya masih tidur, pak. Jadi tidak bisa naik ke bus,” jawab Beck polos.

Mendengar alasan Beck wajah pak Anwar berubah menjadi merah. Dia merasa telah dipermainkan oleh anak kecil. Kalau diperhatikan wajah pak Anwar saat itu gak ada bedanya dengan gurita yang sering muncul di filmnya kobo chan.

“Itu sih salah kamu. Siapa suruh bangun kesiangan. Kamu tahu? Sebagai generasi muda seharusnya kamu itu ikut membangun bangsa ini, bukannya.. bla... bla... bla...” pak Anwar memulai omelannya atau lebih tepatnya lagi pidato panjang lebarnya.

Selagi pak Anwar khotbah tanpa sadar Beck ketiduran, dan ini membuat pak Anwar yang marahnya mau sudahan jadi lanjut lagi.

“Heh!! Bangun kamu! Dibilangin malah tidur,” bentak pak Anwar. Spontan Beck yang tadi kepalanya nunduk karena tertidur langsung tegap lagi sangking kagetnya.

“Kamu ini benar-benar susah sekali dikasih tahu. Padahal saya berbicara seperti ini demi kebaikkan kamu juga, demi... bla... bla... bla...”

Yap! Akhir kata Beck harus mendengarkan omelan pak Anwar yang membosankan dan suka nyasar kemana-mana itu. Mulai dari terlambatnya Beck sampai gaya rambutnya yang ala Aaron carter.

So pasti dong, Beck jadi keki berat bin bosan. Dan ujung-ujungnya membuatnya ngantuk dan tidur pulas lagi.

“BECK!!” teriak pak Anwar untuk kesekian kalinya.

Beck yang tadinya tidur pulas dengan merdekanya kaget again. “Lapor, pak. Maaf, saya ketiduran!” serunya tanpa sadar.

“Sudahlah. Saya sudah putuskan.”

“Putuskan apa, pak?” tanya Beck bingung.

“Saya akan panggil orangtua kamu ke sekolah.”

“Wah! Jangan deh, pak. Orangtua saya kan sibuk, pak. Jadi...”

“Jadi tidak bisa datang?”potong pak Anwar cepat. “Saya tidak perduli. Mereka itu orangtua kamu jadi mereka harus ada waktu untuk kamu. Salah satunya untuk ini.”

Beck terdiam. Apa yang pak Anwar bilang benar. Selama ini orangtuanya terlalu sibuk dengan masalah mereka dan tidak perduli dengannya.

“Ini surat panggilannya,” pak Anwar menyerahkan suratnya. Beck menerima surat itu tanpa sepatah kata apapun.

“Dan ingat! Sebelum orangtuamu datang kamu tidak diizinkan mengikuti pelajaran sekolah ini!” pak Anwar mengingatkan.

Beck hanya mengangguk kemudian pergi. Dilipatnya surat itu kemudian dimsukkannya ke dalam sakunya.

Beck berjalan ke arah kantin. Bentar lagi istirahat, mending gak usah masuk aja deh.

Beck terduduk lesu di kursi kantin. Dia masih saja kepikiran tentang kata-kata pak anwar tadi. Dia masih terus termenung hingga akhirnya Debby menepuk pundaknya.

“Yo...! ke mana loe tadi? Tumben banget gak masuk?” tanyanya sambil ambil posisi di samping Beck.

Beck hanya diam. Nih anak malah pura-pura gak dengar.

“Yuhuu...! Beck?” ujar Debby lagi. Tapi Beck masih tetap cuek. Hal ini membuat Debby merasa ada yang janggal pada diri Beck.

“Beck, loe kenapa sih? Jangan diam aja dong!” desaknya.

“Loe kenapa sih? Mau sok perhatian sama gue? Gue gak butuh perhatian dari siapapun,” bentak Beck kesal.

Seisi kantin menoleh ke arah mereka berdua. Debby pun sangat kaget atas reaksi Beck yang diluar dugaannya. Beck yang dia kenal selama ini, Beck yang pendiam, Beck yang gak pernah bisa marah, Beck yang selalu memenuhi keinginannya meski dengan terpaksa, Beck yang selalu sabar di matanya, sekarang memarahinya. Debby pun akhirnya tak kuasa menahan air mata yang memaksa untuk keluar. Ini bukan obat tetes mata seperti biasanya.

“Maaf. Gue bukannya mau sok perhatian sama, loe,” ujar Debby di balik isak tangisnya. “Gue hanya ingin loe tau kalau gue perduli sama loe. Gue gak tega ngelihat loe susah sendiri, sedih sendiri, menung sendiri, nanggung beban sendiri. Gue hanya ingin ikut ngerasain apa yang loe rasain. Gue cuma pingin loe tau kalo loe tuh punya gue yang selalu siap sedia jadi tempat keluh kesah loe.”

Debby menyeka air mata yang mulai mengganggu penglihatannya. “Mestinya gue sadar,” terusnya. “gue ini bukan siapa-siapa loe. Gue seharusnya gak berhak ikut campur. Sekali lagi gue minta maaf.”

Sehabis mengatakan itu semua Debby beranjak dari kantin. Masih dengan menangis.

Beck sungguh menyesali apa yang telah dia perbuat pada Debby tadi. Tak seharusnya dia membentak Debby.

Beberapa pasang mata menatap Beck seakan berkata “Sombong banget sih? Sudah untung ada yang merhatiin.” Hingga membuat Beck merasa tak nyaman lagi dengan suasana kantin itu. Tanpa berpikir lagi Beck beranjak minggat dari kantin yang seakan mencibiri kelakuannya tadi.

***

Kejadian di sekolah membuat Beck bete. Sekarang dia hanya terdiam di kamar sambil memperhatikan surat panggilan dari pak Anwar tadi.

“Gue sampein gak ya?” pikirnya.

“Kalau gue sampein bisa-bisa kena marah habis-habisan. Trus belum tentu pula mami sama papi bakal datang atau nggak. Tapi kalau gak gue sampein gue gak bakal bisa ke sekolah.”

Beck sungguh bingung. Dalam kebingungannya itu dia teringat pada batu aneh yang pernah dia temukan. Batu yang bercahaya indah. Memang dasar otak gak bisa diajak kompromi, lagi dalam keadaan seperti ini sempat-sempatnya kepikiran batu yang gak ada hubungannya.

“Masih ada gak ya?” pikir Beck. “Batunya dimana sih?”

Dibukanya laci meja di mana batu itu diletakkan, dan...

“Wow! Batunya masih ada. Bahkan jadi terlihat lebih indah saja. Tapi kok bisa ya? Sepertinya... terjadi perubahan pada batu ini. Tapi apanya ya?”

Beck terus mengamati batu itu. Sesaat kemudian dia tersentak menyadari sesuatu.

“Rongganya membesar. Batu itu tampak lebih tipis hingga terkesan rapuh”

“Bagaimana mungkin. Batu kan benda mati. Tapi mengapa batu ini seakan-akan hidup?”

Diarahkannya batu itu pada cahaya lampu. Satu hal yang mengejutkanpun muncul lagi.

“Cahayanya kok jadi lebih terang? Hampir lima kali lipat dari semula,” pikirnya. “Apa hanya perasaanku saja?”

Berpikir sekeras apapun Beck tetap saja tidak mengerti.

“ Batu aneh. Jangan-jangan batu ini...”

Beck sadar. Tidak ada untungnya ngurusin batu kayak beginian. Lebih baik cari cara yang tepat buat nyampein surat panggilan ke mami dan papinya.

Saat Beck sedang berusaha mencari ide, tiba-tiba saja suara Titi yang serak-serak becek dan tidak seksi sama sekali itu terdengar memanggil dari luar.

“Mas Beck... waktunya makan malam nih.... Mami sama papinya sudah nungguin di meja makan tuh...”

“Makan malam? Hm... mungkin ini waktu yang tepat untuk menyerahkan surat panggilan ini,” batinnya.

“Iya. Saya bentar lagi turun.”

Beck langsung mengambil surat panggilan yang terletak di atas mejanya dan memasukkannya ke dalam saku celana. Tanpa buang-buang waktu lagi Beck segera turun ke ruang makan.

“Bagai mana sekolahmu tadi pagi Beck?” tanya Mr Rison sesampainya Beck di kursinya.

“Ng... biasa-biasa aja kok, pi,” jawab Beck bohong.

“Beck. Mami minta maaf soal kemarin ya!” ujar Mrs Rison. “Mami yang salah. Mami sudah ngebikin kamu kesal. Mami terlalu maksain kehendak mami.”

“Gak pa-pa kok, Mi. Beck juga salah. pergi gak ngasih tau mami. Gak minta izin dulu.”

“Ya sudah. Yang penting sekaran kita makan dulu. Papi sudah lapar,” ujar Mr Rison.

Akhirnya makan malam berakhir dengan damai. Tapi di satu sisi lain, Beck jadi semakin bingung. Gimana caranya buat ngasih surat panggilan itu ke mami dan papi. Rencananya sih waktu makan malam tadi. Tapi Beck langsung mengurungkan niatnya. Soalnya makan malam tadi terlalu damai dan dia gak mau merusak kedamaian itu menjadi kerusuhan.

“Apa gak usah gue kasih aja ya?” pikir Beck lagi. “Tapi kalau gak gue kasih gue gak bisa ke sekolah dong.”

“Huah...!!!” jerit Beck dalam hati.

“Sial banget sih nasib gue. Sekarang ini gue kayak disuguhi buah simalakama. Dimakan salah, gak dimakan juga salah. Nih surat buah simalakamanya,” rutuk Beck makin kesal.

Beck menghempaskan tubuhnya ke atas kasur air yang empuk di kamarnya. Mencoba untuk mencari jalan keluar. Tapi otaknya masih saja buntu. Gak nemuin sedikit ide pun. Biasanya otaknya untuk masalah seperti ini agak jalan juga dikit.

“Kenapa sih gue mesti dikasih otak yan pas-pasan kayak begini? Kenapa gak dikasih otak yang jenius kayak Einstein aja? Kan jadi susah mikirnya. Susah cari jalan keluarnya.”

Sekilas. Tanpa sengaja Beck melihat sinar dari atas meja komputernya.

“Batu tadi ya?”

Beck bangun dan beranjak menuju meja komputernya.

“Benar!” serunya. “Antik banget sih nih batu.”

Beck menimang batu itu dan mulai mengamatinya lagi.”Batu jenis apa ya? Kok rada-rada mirip kaca?” pikir Beck. “Apa dari luar angkasa?”

“Mana mungkin ya. Gak mungkin ini batu asing.”

Tiba-tiba saja batu itu semakin terang. Beck bisa merasakan ada panas yang menjalar dari batu itu ke telapak tangannya. Hangat dan menakutkan.

Cahaya itu semakin terang hingga menyilaukan mata. Tidak seperti kemarin. Cahaya ini tidak membuat kepalanya pusing. Tapi sedikit membuatnya bingung.

Sekarang Beck tidak tahu dimana dia berada. Di sekelilingnya tertutup asap tebal yang warnanya putiiihhh bangeeettt.

“Pasti gue tadi ketiduran terus kemimpi. Dan ini mimpi gue,” Beck mencoba berpikir positif untuk menghilangkan rasa takut yang mulai menjalari perasaannya.

Baru saja Beck mau percaya kalau ini mimpi. Sebuah suara yang rasanya pernah dia dengar terdengar di telinganya. Hingga dia jadi ragu. “Apa ini benar-benar mimpi?”

“Tolong kami...”

“Loe siapa sih? Kenapa ganggu gue?” tanya Beck dengan suara yang bergetar karena mencoba menekan rasa takutnya.

“Tolong kami... tolong kami... tolong..!”

“Tolong apaan? Gue ini bukan seorang hero. Gue bukan superman yang punya kekuatan super, juga bukan batman, apalagi spiderman. Gue cuma Beck Rison. Manusia biasa. Jadi apa yang bisa gue bantu?” Beck mulai bingung.

Tapi Beck tidak memperoleh jawaban yang dapat membuatnya mengerti. Dia hanya memperoleh kata ‘tolong kami’ yang terus-menerus terulang-ulang. Seakan menggema tanpa diketahui sumbernya dengan jelas.

“Kalian minta tolong apa sih? Jangan buat gue bingung!”

“Hei kalian! Dengar gue gak sih? Hei!!!” jerit Beck kesal.

“Jangan permainkan gue ya! Kalian pikir gue takut apa?” teriak Beck semakin jengkel.

“Heiii!!! Tunjukin wujud loe dong!”

Entah kemana perginya rasa takutnya tadi. Sekarang justru dialah yang menakutkan. Perlahan-lahan keadaan di sekeliling Beck kembali seperti semula. Asap tebal itupun telah menghilang entah kemana. Dia bisa melihat dinding kamarnya yang berwarna hijau cerah dan tempat tidurnya yang nyaman. Intinya dia sudah mengenali sekitarnya yang merupakan kamarnya yang rapi tanpa celah.

Sesaat pandangan Beck tertuju pada batu yang sekarang berada di telapak tangannya.

Fantastic! Sekarang rongga yang ada pada batu itu terisi penuh oleh asap ptih.

“Oh, no!” jerit Beck tidak percaya. “Gue manusia normal. Gue gak mungkin mengalaminya. Gak mungkin tadi gue masuk ke dalam batu ini. Gak mungkin.” Beck benar-benar tidak percaya.

“Kenapa mesti gue yang mengalami hal ini? Kenapa mesti gue yang jadi orang aneh?”

Dilemparnya batu yang tadi berada di tangannya jauh keluar melalui jendela.

“Gue gak mau dianggab aneh. Gue ini normal,” batinnya.

Batu aneh itu hilang dalam gelapnya malam. Melesat cepat seperti ketika dia muncul.

“Semua akan kembali berjalan normal setelah gue bangun dari tidur besok pagi. Gue gak bakal mengalami keanehan lagi. Ini semua mimpi. Hanya mimpi.”

Beck langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur airnya dan tidur pulas. Berharap besok akan kembali normal. Tanpa batu aneh itu lagi. Semoga.

Bersambung ke Bab 03, Thufry si Batu Gerbang Dimensi

2 komentar:

Hanafi mengatakan...

bisa bikin novel juga ya?
wow

adhe mengatakan...

bknx bs c han,
cm doyan nulis ja . . .
hehe
:p