Beribu-ribu pohon menjulang tingi di hutan itu. Pucuknya yang rimbun seakan tak mengizinkan cahaya matahari mengintip akarnya. Tak tampak aura kehidupan di sana. Seperti kuburan angker yang tak mungkin ada yang mau melewati. Tidak ada kicauan burung yang bertemngger di pepohonan rindang itu, tidak ada kelinci maupun kijang yang bermain dengan rerumputan yang rimbun. Bahkan bunga-bunga yang semestinya menimbulkan kesan indah dan ramah justru terlihat menakutkan.
Hanya tampak sebuah kastil tua di tengah hutan yang gelap itu. Kastil yang menjulang tinggi namun bersembunyi di balik rindangnya belantara. Di dalamnya, tiga penyihir yang berhasil meyelamatkan diri duduk terdiam seakan merenungi nasib mereka. Kehidupan yang dicekam rasa takut akan dibunuh dan diburu. Tanpa dapat memilih mereka harus menjalani hidup mengikuti garisNYA. Entah apa kesalahan yang telah mereka lakukan? Padahal mereka baru hidup selama lima belas tahun, tapi mengapa mereka harus menjalani sesuatu yang tak pernah mereka pilih. Andai boleh meminta, mungkin mereka akan meminta untuk dilahirkan di masa di mana mereka bisa hidup dengan tenang dikelilingi oleh keluarga yang mereka sayangi. Bukannya bersembunyi tanpa tahu keadaan diluar, bahkan kehilangan keluarga.
“Apa kita harus di sini terus? Bersembunyi dari dunia?” keluh penyihir yang bernama Norah.
“Kau selalu menanyakan itu. Apa kau mau keluar dan ditangkap oleh manusia murni itu? Kemudian dibunuh dan dipasung di tengah-tengah kota? Apa kau lupa kalau para manusia murni itu kini sedang menggila? Mereka jadi aneh dan penuh kebencian pada hatinya,” ujar penyihir seusianya yang bernama Drafisty.
“Tapi kalau seperti ini lama-lama juga kita pasti mati Karena kelaparan. Dan itu pasti lebih menyakitkan. Karena kita akan mati secara perlahan-lahan,” rengek Norah lagi dengan penekanan pada kata-kata terakhir. Cara bicaranya yang sok mendramatisir itulah salah satu dari sekian banyak hal yang Drafisty tidak sukai dari dirinya.
Drafisty menilai bahwa Norah sangat manja dan selalu mempermasalahkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Kesannya berpikiran matang dengan konsep ke depan, tapi nyatanya hanyalah rengekan cengeng yang tak lebih dari sikap pengecut.
“Apa kau tidak bisa menunggu. Menunggu thufry kembali dan membawa penolong kita?”
“Tapi, Sty. Apa kau yakin Thufry akan kembali? Bagaimana kalau Thufry tidak juga kembali? Apa kita akan terus menunggunya seperti ini?”
“Dia pasti kembali. Meskipun akan memakan waktu cukup lama. Tapi tenanglah! Kita tidak akan mati kelaparan karena kita punya banyak persediaan makanan. Kurasa cukup untuk mengisi perutmu yang takut lapar itu,” Drafisty memberitahukan dengan sedikit jengkel.
“Siapa bilang aku takut lapar. Hanya saja benar khan kalau orang bisa mati karena kelaparan?” sungut Norah tak kalah jengkel. Drafisty selalu berkata pedas padanya. “Dan pula kalau Thufry tidak kembali juga dalam seratus tahun bagaimana?”
“Itu tidak mungkin Norah,” ujar seorang penyihir yang satunya lagi.seorang penyihir yang tampak lebih dewasa. Dia bernama Alexandra. Semua memanggilnya Al, tapi Norah memanggilnya X2 . kalau ditanya kenapa norah selalu menjawab. “Nama X2 lebih lucu.”
“Meskipun Thufry masih pemula, dia tidak mungkin menghabiskan waktu sampai seratus tahun,” Alexandra menjelaskan.
“Tapi kemungkinan itu selalu ada,” bantah Norah tak mau kalah.
“Kau tau, Norah? Mendengar keluhanmu yang tak pernah ada selesainya itu justru akan membunuh kami secara sungguh sangat teramat perlahan sekali. Dan itu lebih menyiksa daripada kelaparan karena kehabisan bahan makanan,” ujar Drafisty jengkel sambil mencoba membuat lelucon.
Alexandra mencoba menahan tawanya. “Memang benar. Kau dapat membunuh kami dengan cara yang lebih menyiksa.”
“Itu tidak lucu, Sty. Dan itu tidak benar X2.”
“Ya-ya. Itu kan menurutmu,” olok Drafisty. “Kalau aku boleh kasih saran, sebaiknya kau berhenti mengeluh! Itu bisa membuat riasan di wajahmu retak karena cemberutmu itu.”
“Kau selalu menjengkelkan,” sungut Norah.
“Kau juga selalu mengatakan hal itu,” balas Drafisty pula.
Spontan Alexandra tertawa.
Yeah. Norah selalu manyun setiap kali mendapat sindiran dari Drafisty. Dan hal itu cukup lucu. Setidaknya ada yang dapat menghibur ketika mereka harus selalu waspada. Bahkan selalu takut untuk memejamkan mata karena takut tak dapat membukanya lagi.
Tak lama suasana mulai hening. Membosankan memang. Tapi suara gemuruh yang menandakan akan turun badai sedikit mengisi kekosongan itu.
Tiga penyihir yang tersisa itupun mulai sibuk dengan kegiatan mereka sendiri.
Drafisty yang mempunyai watak keras dan sedikit emosional ini sedang memainkan tongkat sihirnya hingga mengeluarkan percikan api kecil. Sesekali percikan itu mengenai Norah. Cewek manja yang selalu memperbesar masalah itupun bersungut kesal setiap percikan api itu mengenainya.
“Nanti bisa kebakaran, Sty.”
Norah memang manja dan selalu ingin mendapat perhatian lebih. Sifatnya memang agak menjengkelkan, tapi tidak ada yang membencinya. Bahkan Drafisty sekalipun, meski Drafisty selalu berkata pedas padanya, tapi itu bukan berarti ia membenci Norah. Pada dasarnya Norah adalah cewek baik yang cukup perhatian. Hanya saja sedikit rewel.
Selagi yang lain bersantai, Alexandra justru sibuk dengan telepatinya kepada Thufry yang tidak jelas keberadaannya. Alexandra terkesan lebih dewasa karenan pembawaannya yang tenang. Padahal mereka bertiga sepantaran.
“Al, istirahatlah sebentar! Semenjak Thufry pergi kau selalu mencoba menghubnginya melalui telepati. Kau terlalu banyak menguras tenagamu,” sery Drafisty tanpa behenti memainkan tongkat sihirnya. Lagi-lagi sepercik api mengenai kulit Norah.
“Sty! Lama-lama kulitku yang halus mulus ini jadi kasar,” teriak Norah jengkel. Tapi seperti biasa tak ada yang menanggapi omelannya.
“Kalian tahu? Aku sudah berkali-kali mencoba menghubungi Thufry, tapi tak pernah berhasil. Tidak pernah ada jawaban darinya,” Alexandra memberitahukan. Tersirat letih pada wajah mungilnya itu.
“Apa aku bilang. Thufry tuh gak bakal balik lagi. Dia tuh sudah gagal total.”
“Diamlah!!!” bentak Drafisty. Norah langsung menutup mulutnya rapat-rapat. “Kau selalu mengeluh dan mengeluh.”
“Sudahlah, Sty! Jangan ribut,”Alexandra mulai menasehati. “Dari sekian banyak penyihir di kota ini, hanya bersisa kita bertiga. Jadi kita harus bisa kompak dan rukun satu sama lainnya.”
Drafisty dan Norah hanya tertunduk. Seolah tersadar akan kesalahan yang telah mereka perbuat.
Tiba-tiba saja angin berhembus kencang. Pintu jendela terbuka kemudian terhempas kembali menimbulkan suara dentuman keras yang cukup mengagetkan. Sebuah benda masuk dengan kecepatan tinggi dan terlempar mengenai vas hingga vas itu terjatuh dari meja dan pecah berkeping-keping.
“X2, kamu tahu apa itu?” Tanya Norah dengan suara sedikit bergetar.
Benda itu bercahaya agak redup. Seolah menandakan rnergi yang sekarat.
“X2…?”
Alexandra melangkah mendekati benda itu. Langkahnya amat pelan seolah tak ingin menimbulkan decitan pada lantai. Tapi suasana yang amat hening itu tidak dapat menyembunyikan suara lantai kayu itu.
“Hati-hati!” bisik Drafisty memperingatkan.
Alexandra mencoba untuk mempercepat langkahnya. Tapi entah mengapa kakinya terasa amat berat.
Drafisty dan Norah menahan nafasnya. Alexandra sudah sangat dekat dengan benda itu. Sekarang tangannya sudah dapat menjangkaunya.
Alexandra membungkukkan tubuhnya untuk meraih benda itu, tapi…
Bersambung ke Bab 07, Hallo
Hanya tampak sebuah kastil tua di tengah hutan yang gelap itu. Kastil yang menjulang tinggi namun bersembunyi di balik rindangnya belantara. Di dalamnya, tiga penyihir yang berhasil meyelamatkan diri duduk terdiam seakan merenungi nasib mereka. Kehidupan yang dicekam rasa takut akan dibunuh dan diburu. Tanpa dapat memilih mereka harus menjalani hidup mengikuti garisNYA. Entah apa kesalahan yang telah mereka lakukan? Padahal mereka baru hidup selama lima belas tahun, tapi mengapa mereka harus menjalani sesuatu yang tak pernah mereka pilih. Andai boleh meminta, mungkin mereka akan meminta untuk dilahirkan di masa di mana mereka bisa hidup dengan tenang dikelilingi oleh keluarga yang mereka sayangi. Bukannya bersembunyi tanpa tahu keadaan diluar, bahkan kehilangan keluarga.
“Apa kita harus di sini terus? Bersembunyi dari dunia?” keluh penyihir yang bernama Norah.
“Kau selalu menanyakan itu. Apa kau mau keluar dan ditangkap oleh manusia murni itu? Kemudian dibunuh dan dipasung di tengah-tengah kota? Apa kau lupa kalau para manusia murni itu kini sedang menggila? Mereka jadi aneh dan penuh kebencian pada hatinya,” ujar penyihir seusianya yang bernama Drafisty.
“Tapi kalau seperti ini lama-lama juga kita pasti mati Karena kelaparan. Dan itu pasti lebih menyakitkan. Karena kita akan mati secara perlahan-lahan,” rengek Norah lagi dengan penekanan pada kata-kata terakhir. Cara bicaranya yang sok mendramatisir itulah salah satu dari sekian banyak hal yang Drafisty tidak sukai dari dirinya.
Drafisty menilai bahwa Norah sangat manja dan selalu mempermasalahkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Kesannya berpikiran matang dengan konsep ke depan, tapi nyatanya hanyalah rengekan cengeng yang tak lebih dari sikap pengecut.
“Apa kau tidak bisa menunggu. Menunggu thufry kembali dan membawa penolong kita?”
“Tapi, Sty. Apa kau yakin Thufry akan kembali? Bagaimana kalau Thufry tidak juga kembali? Apa kita akan terus menunggunya seperti ini?”
“Dia pasti kembali. Meskipun akan memakan waktu cukup lama. Tapi tenanglah! Kita tidak akan mati kelaparan karena kita punya banyak persediaan makanan. Kurasa cukup untuk mengisi perutmu yang takut lapar itu,” Drafisty memberitahukan dengan sedikit jengkel.
“Siapa bilang aku takut lapar. Hanya saja benar khan kalau orang bisa mati karena kelaparan?” sungut Norah tak kalah jengkel. Drafisty selalu berkata pedas padanya. “Dan pula kalau Thufry tidak kembali juga dalam seratus tahun bagaimana?”
“Itu tidak mungkin Norah,” ujar seorang penyihir yang satunya lagi.seorang penyihir yang tampak lebih dewasa. Dia bernama Alexandra. Semua memanggilnya Al, tapi Norah memanggilnya X2 . kalau ditanya kenapa norah selalu menjawab. “Nama X2 lebih lucu.”
“Meskipun Thufry masih pemula, dia tidak mungkin menghabiskan waktu sampai seratus tahun,” Alexandra menjelaskan.
“Tapi kemungkinan itu selalu ada,” bantah Norah tak mau kalah.
“Kau tau, Norah? Mendengar keluhanmu yang tak pernah ada selesainya itu justru akan membunuh kami secara sungguh sangat teramat perlahan sekali. Dan itu lebih menyiksa daripada kelaparan karena kehabisan bahan makanan,” ujar Drafisty jengkel sambil mencoba membuat lelucon.
Alexandra mencoba menahan tawanya. “Memang benar. Kau dapat membunuh kami dengan cara yang lebih menyiksa.”
“Itu tidak lucu, Sty. Dan itu tidak benar X2.”
“Ya-ya. Itu kan menurutmu,” olok Drafisty. “Kalau aku boleh kasih saran, sebaiknya kau berhenti mengeluh! Itu bisa membuat riasan di wajahmu retak karena cemberutmu itu.”
“Kau selalu menjengkelkan,” sungut Norah.
“Kau juga selalu mengatakan hal itu,” balas Drafisty pula.
Spontan Alexandra tertawa.
Yeah. Norah selalu manyun setiap kali mendapat sindiran dari Drafisty. Dan hal itu cukup lucu. Setidaknya ada yang dapat menghibur ketika mereka harus selalu waspada. Bahkan selalu takut untuk memejamkan mata karena takut tak dapat membukanya lagi.
Tak lama suasana mulai hening. Membosankan memang. Tapi suara gemuruh yang menandakan akan turun badai sedikit mengisi kekosongan itu.
Tiga penyihir yang tersisa itupun mulai sibuk dengan kegiatan mereka sendiri.
Drafisty yang mempunyai watak keras dan sedikit emosional ini sedang memainkan tongkat sihirnya hingga mengeluarkan percikan api kecil. Sesekali percikan itu mengenai Norah. Cewek manja yang selalu memperbesar masalah itupun bersungut kesal setiap percikan api itu mengenainya.
“Nanti bisa kebakaran, Sty.”
Norah memang manja dan selalu ingin mendapat perhatian lebih. Sifatnya memang agak menjengkelkan, tapi tidak ada yang membencinya. Bahkan Drafisty sekalipun, meski Drafisty selalu berkata pedas padanya, tapi itu bukan berarti ia membenci Norah. Pada dasarnya Norah adalah cewek baik yang cukup perhatian. Hanya saja sedikit rewel.
Selagi yang lain bersantai, Alexandra justru sibuk dengan telepatinya kepada Thufry yang tidak jelas keberadaannya. Alexandra terkesan lebih dewasa karenan pembawaannya yang tenang. Padahal mereka bertiga sepantaran.
“Al, istirahatlah sebentar! Semenjak Thufry pergi kau selalu mencoba menghubnginya melalui telepati. Kau terlalu banyak menguras tenagamu,” sery Drafisty tanpa behenti memainkan tongkat sihirnya. Lagi-lagi sepercik api mengenai kulit Norah.
“Sty! Lama-lama kulitku yang halus mulus ini jadi kasar,” teriak Norah jengkel. Tapi seperti biasa tak ada yang menanggapi omelannya.
“Kalian tahu? Aku sudah berkali-kali mencoba menghubungi Thufry, tapi tak pernah berhasil. Tidak pernah ada jawaban darinya,” Alexandra memberitahukan. Tersirat letih pada wajah mungilnya itu.
“Apa aku bilang. Thufry tuh gak bakal balik lagi. Dia tuh sudah gagal total.”
“Diamlah!!!” bentak Drafisty. Norah langsung menutup mulutnya rapat-rapat. “Kau selalu mengeluh dan mengeluh.”
“Sudahlah, Sty! Jangan ribut,”Alexandra mulai menasehati. “Dari sekian banyak penyihir di kota ini, hanya bersisa kita bertiga. Jadi kita harus bisa kompak dan rukun satu sama lainnya.”
Drafisty dan Norah hanya tertunduk. Seolah tersadar akan kesalahan yang telah mereka perbuat.
Tiba-tiba saja angin berhembus kencang. Pintu jendela terbuka kemudian terhempas kembali menimbulkan suara dentuman keras yang cukup mengagetkan. Sebuah benda masuk dengan kecepatan tinggi dan terlempar mengenai vas hingga vas itu terjatuh dari meja dan pecah berkeping-keping.
“X2, kamu tahu apa itu?” Tanya Norah dengan suara sedikit bergetar.
Benda itu bercahaya agak redup. Seolah menandakan rnergi yang sekarat.
“X2…?”
Alexandra melangkah mendekati benda itu. Langkahnya amat pelan seolah tak ingin menimbulkan decitan pada lantai. Tapi suasana yang amat hening itu tidak dapat menyembunyikan suara lantai kayu itu.
“Hati-hati!” bisik Drafisty memperingatkan.
Alexandra mencoba untuk mempercepat langkahnya. Tapi entah mengapa kakinya terasa amat berat.
Drafisty dan Norah menahan nafasnya. Alexandra sudah sangat dekat dengan benda itu. Sekarang tangannya sudah dapat menjangkaunya.
Alexandra membungkukkan tubuhnya untuk meraih benda itu, tapi…
Bersambung ke Bab 07, Hallo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar