Di dalam ruang makan yang tenang itu Memon, Raja dan Ratu Loja beserta Charlie sedang menikmati makan malam mereka. Suasana yang sangat sunyi tidak seperti di luar yang sedang diguyur badai.
Sesekali terdengar dengusan putri Memon setiap kali matanya bertemu pandang dengan Charlie yang duduk di hadapannya. Memon tambah kesal terhadap Charlie. Apalagi sejak Beck menghilang. Charlie jadi lebih sok akrab dengan orangtuanya. Memon yakin, Charlie ada di balik hilangnya Beck. Tapi dia tidak punya bukti.
“Huh!” dengus Memon lagi saat dia memergoki Charlie mencuri pandang padanya. “Berhentilah menatapku!” bentak Memon yang sudah hilang kesabarannya.
“Memon..” bisik ratu Loja memperingati.
Memon mendelik kesal pada Charlie. Tapi Charlie justru tersenyum melihat reaksi Memon yang menurutnya sangat manis itu.
Suasana kembali tenang hingga akhirnya pintu ruangan itu terbuka dengan sangat kasar.
BRUK!!!
Tiba-tiba saja seluruh jendela terhempaskan oleh angin hingga terbuka. Sesosok tubuh tampak berdiri di balik pintu itu.
“Beck?” seru Memon yang bingung sekaligus bahagia. “Kau kembali, Beck?”
Charlie menatap Beck tak percaya. “Tidak mungkin. Kau masih hidup?” bisiknya pelan. Sangat pelan hingga hanya dia yang dapat mendengar bisikan itu.
Putri Memon yang sangat senang bisa bertemu Beck lagi langsung menghambur pada Beck tanpa perduli dengan acara makan malamnya. Tapi Beck sama sekali tidak memperdulikan Memon. Beck justru melaluinya. Memon cukup shock untuk apa yang baru saja terjadi. Beck yang biasanya ramah kini begitu dingin. Memon membalikkan tubuhnya dan menatap Beck yang saat itu mengacungkan tangannya ke arah raja Loja. Kemudian perlahan diangkatnya tangannya ke atas. Raja terangkat dari kursinya. Seolah tercekik sesuatu raja Loja mencoba meraih lehernya.
“Beck?” bisik Memon tak percaya akan penglihatannya. “Beck! Apa yang kau lakukan?” teriak Memon pada Beck yang sama sekali tidak perduli.
***
“Al, sekarang bagaimana? Kita harus kemana?” tanya Thufry yang sedari tadi mengekor pada ketiga penyihir itu.
“Entahlah. Mungkin kita harus mengikuti perkataan Beck yang kau dengar. Kita harus langsung ke istana, tempat di mana merupakan pusat kekuatan Balse” jawab alkexandra seadanya.
“Lihat! Cahaya seakan terserap ke suatu tempat!” seru Norah.
“Manusia terpilih. Dia pasti sudah berada di istana. Cahaya itu pasti terserap ke istana,” bisik Drafisty. “Kurasa kita harus menuju ke istana secepat mungkin. Kita tidak boleh terlambat. Firasatku buruk sekali.”
“Baiklah. Kita harus lebih cepat lagi!” seru Alexandra mulai berlari.
“Stop!” cegah Norah tiba-tiba. Alexandra, Drafisty dan Thufry pun menghentikan langkah mereka.
“Kenapa? Kita tidak punya banyak waktu,” protes Drafisty.
“Kita memang tidak punya banyak waktu. Tapi kalau ingin ke istana berarti kita harus melewati kota. Apa kalian lupa alasan mengapa kita bersembunyi? Para manusia murni itu. Mereka memburu dan membunuh kita, para penyihir. Kita bahkan akan kehilangan segalanya bila melewati kota,” jelas Norah menggebu.
“Maaf. Aku terlalu gegabah,” sesal Alexandra.
“Bukan salahmu, X2. kita semua jadi bersemangat karena menusia terpilih bangkit,” hibur Norah.
“Jadi bagaimana kita bisa melalui kota? Kita belum bisa terbang seperti para penyihir senior.”
“Tenang, Sty! Kita memang belum bisa terbang. Tapi kita sudah mempelajari teleportasi,” jelas Norah.
“Tidak, Norah! Kita bahkan belum pernah mencobanya,” tolak Alexandra tegas.
“Tidak ada pilihan. Lagi pula bila kita menggabungkan kekuatan kita dan berkonsentrasi kita pasti bisa berhasil. Kita hanya butuh sedikit keberanian,” Norah bersikeras. Sesaat Norah tampak lebih dewasa dari biasanya.
Memang benar. Tidak ada pilihan bagi mereka. Alexandra menatap teman-temannya.
“Baiklah. Kita akan coba. Tapi bila kalian merasa ada keanehan. Segera hentikan!” ujar Alexandra akhirnya.
Mereka mengangguk serentak. Tanpa perdebatan lagi merekapun mulai menggabungkan kekuatan. Seberkas cahaya jingga menyelimuti mereka.
***
Tubuh Beck terhempas ke dinding. Seketika darah mengalir dari pelipisnya. Raja Loja kembali menyerangnya dengan sihir. Sebuah cahaya biru membungkus Beck. Kesadarannya hilang.
Memon tak percaya melihat apa yang terjadi. “Raja seorang penyihir?” belum sempat bingung itu hilang tiba-tiba saja bola api menghantam raja Loja saat dia hendak menyerang Beck kembali.
“Hentikan, Raja!” perintah Alexandra. “Kau menyakiti manusia terpilih.”
“Alexandra, Norah dan Drafisty. Akhirnya kalian muncul,” ujar raja Loja. “Sudah kuduga. Masih ada witch yang tersisa.”
“Apa maksud perkataan yang mulia?”
“Kalian harus lenyap,” raja Loja mengacungkan tangannya kepada ketiga penyihir itu. Mereka bertigapun terhempas oleh kekuatan yang sangat besar.
“Tidak boleh ada witch yang tersisa. Kalian hanya akan menggagalkan rencanaku.”
“Jangan bercanda! Aku bertahan selam ini untuk hidup,” seru Drafisty sambil mengarahkan sihirnya pada raja Loja. Dia terhempas.
“Aku juga tidak mencita-citakan untuk mati!” susul Norah.
Tiba-tiba saja raja mengerang seakan menahan sakit yang teramat perih. Dia menggeliat selayaknya hewan buruan yang terpanah. Perlahan dia mengelupas seperti seekor ular. Berubah menjadi sosok orang lain. Perlahan sosok itu mulai jelas.
“Ayah?” bisik Alexandra tak percaya. “Ternyata kau...”
“Cukup, Al! Aku bukan ayahmu,” ujarnya sambil bangkit. “Kau sangat bodoh. Tak ku sangka sangat mudah mengendalikan dirimu.”
“Aku tidak mengerti atas apa yang ayah bicarakan.”
“Apa kau tak pernah menyadari bahwa kau dan Memon sangat mirip. Terlalu mirip untuk menjadi orang lain.”
“Apa maksudmu?” Alexandra semakin bingung dengan omongan lelaki tersebut.
“Kalian kembar. Kau putri Alexandra yang dibuang sejak lahir,” ujar lelaki itu. Alexandra hanya terdiam. Dia tidak pernah berpikir akan hal itu.
“Bukan begitu, Lois? Kau sudah lama tahu bukan?” ujarnya pada Ratu.
“Aku...” Ratu tak berani berpendapat.
“Aku tidak percaya!” seru Alexandra. “Ini hanya omong kosong. Kau bohong.”
“Aku tidak bohong, Al. Semua yang kukatakan benar,” ujar lelaki itu lagi. “Kau dibuang oleh penasehat istana karena memiliki simbol kunci itu. Kau terlahir sebagai pembuka segel. Aku megetahui semua itu. Oleh sebab itu aku memungutmu. Membuatmu berpikir bahwa akulah ayahmu.”
“Kau bohong,” Alexandra menghantamkan sihirnya.
“Aku tidak pernah bohong,” elak lelaki itu sambil mematahkan sihir Alexandra. “Tanpa kau sadari kau telah menjadi senjataku untuk membunuh raja. Sang segel.”
“Itu tidak mungkin,” bantah Norah. “X2 tidak pernah membunuh raja. Kau hanya ingin menjatuhkannya, iya kan?”
“Hahaha..” seringainya tampak sangat menjijikkan. Lelaki itu melangkah hingga berada tepat di depan Alexandra yang mematung. “Kau ingat? Kau pernah menyerang seorang pria. Kau pikir orang itu mencoba membunuhku. Kau ingat kan?”
“Tidak mungkin,” lirih Alexandra tak percaya.
“Saat itu raja Loja tahu bahwa putrinya yang hilang ada padaku. Dia mencoba memintanya. Tapi aku menolak,” senyum licik terukir pada wajah lelaki itu. “Pertengkaran pun terjadi. Dan akhirnya, tanpa kau sadari kau telah membunuh raja. Ayahmu. Dan menghancurkan segel yang mengunci manusia terpilih beserta kekuatan jahat itu. Kau lah yang menimbulkan kehancuran ini.”
“TIDAK!!”
“Itulah kebenarannya. Kenyataan yang harus kau terima.”
Udara berat menghantam lelaki itu hingga membentur dinding. “Alexandra tidak seperti itu. Bukan dia yang salah.”
“Seberapa besarpun ketidakpercayaanmu itu tidak akan dapat merubah kenyataan,” ujar lelaki itu. “Alexandra, kau lah yang membebaskan kekuatan jahat ini. Dan dunia akan hancur karenanya.”
“Tidak! Manusia terpilih, dia akan menyelesaikan semua ini,” bantah Drafisty.
“Hahaha... dasar bodoh,” lelaki itu kembali menarik ujung bibirnya. Seolah merasa menang. “Kalian terlalu tidak tahu. Kalian pikir untuk apa manusia terpilih itu muncul?”
“Dia akan menyelamatkan kami.”
Lelaki itu kembali bangkit. Mendekati Beck yang masih belum sadarkan diri dan terbungkus cahaya. “Memang, manusia terpilih akan menarik kembali kekuatan jahat yang telah merasuki hati manusia,” lelaki itu menatap penuh kemenangan. “Tapi dengan kembalinya kekuatan jahat itu padanya justru akan membangkitkan sisi iblis manusia terpilih.”
“Itu tidak mungkin.”
“Manusia terpilih justru akan menghancurkan dunia.”
“Kau bohong.”
“Menyakitkan memang. Tapi itulah kenyataannya.”
“Itu tidak benar,” Drfisty tidak dapat lagi membendung emosinya. Bangunan itu begetar. Membuat semua yang ada di dalam ruangan itu porak poranda.
“Tenang, Sty!” bujuk thufry yang sejak tadi diam. “Pasti ada jalan keluar.”
Drafisty sama sekali tidak memperdulikan Thufry. Semua yang dia harapkan hancur. Ternyata selama ini benar-benar sia-sia. Drafisty terduduk. Tubuhnya lemas karena tenaganya cukup banyak terkuras.
“Beck tidak mungkin menghancurkan dunia. Dia bukan orang jahat sepertimu,” ujar Memon dengan suara bergetar.
Lelaki itu tidak menjawab. Dai hanya menatap angkuhlah tidak memperdulikan apa yang telah Memon katakan.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan?” akhirnya ratu Loja angkat bicara. “Apa yang kau inginkan, Jack?”
“Jangan pernah sebut nama itu lagi!” ujarnya sembari menghempaskan ratu. “Kau yang membuat kebencian itu lahir dalam diriku, Louis. Kau yang menghianatiku.”
“Kebencian itulah dirimu.”
“Diamlah! Aku ingin kau hidup untuk menyaksikan kehancuran ini.”
Perlahan cahaya biru yang menyelubungi Beck memudar. Seakan terserap ke dalam tubuhnya. Beck membuka matanya. Saat itu pula gncangan besar meretakkan tanah. Membuat istana perlahan mulai tenggelam.
“Manusia terpilih. Kemarilah! Bekerjasamalah denganku dan ikuti perintahku!”
Beck menatapnya. Mendekat dan kemudian...
BRUK!!!
Jack terhempas dengan sangat keras. Nafasnya terhenti seketika.
“Aku tak butuh perintah,” ujar Beck dengan suara yang asing. Suara itu kasar dan penuh kebencian. Sungguh dalam seakan berasal dari dasar neraka. “Manusia dan penyihir terlalu lemah untuk menjalani kehidupan,” ujar Beck seranya menatap mereka semua. “Aku akan bantu kalian untuk mengakhirinya.”
Beck mengacungkan tangannya pada Memon. Seberkas sinar meluncur dari ujung jarinya. Sinar itu melaju sambil terus menyerap cahaya di sekitarnya.
Memon menutup matanya. Dia takut. Tak mampu bergerak meski hanya untuk mengelak. “Aku akan mati,” bisiknya dalam hati. Memon merasakan tubuhnya terhempas kebelakang. Dia membentur dinding istana yang tak berhenti bergetar karena terus tenggelam. Punggungnya terasa sakit. Tapi hanya itu. Dia tidak mati.
“Charlie???” pekik Memon tak percaya. Dihadapannya Charlie tergeletak tak sadarkan diri. Dia tidak terluka. Tapi cahaya di sekitarnya kian redup seakan terhisap oleh sesuatu.”Charlie, kenapa menolongku? Padahal tak sedetikpun aku pernah baik padamu,” Memon merangkul Charlie. Air mata tak kuasa lagi untuk ditahannya. “Jangan mati Charlie!!”
“Anak bodoh. Padahal nanti dia juga akan ku bunuh,” ujar Beck yang telah berada di depan Memon.
“Jangan bunuh dia!” seru ratu Loja sambil menghantamkan kursi pada Beck. Kursi itu patah. Beberapa serpihannya menancap pada tubuh Beck. Tapi sedikitpun Beck tidak terlihat merasa sakit.
“Manusia bodoh. Aku tidak selemah manusia sepertimu,” Beck menggenggam leher ratu Loja kemudian menghempaskannya hingga terjerumus menghantam tiang ruangan itu.
Alexandra mengarahkan sihirnya pada Beck. Tapi Norah justru menepis sihir itu.
“Apa-apaan kau ini Norah?” tanya Alexandra tak percaya. “Kenapa melindunginya?”
“Maaf, X2,” bisik Norah sembari menunduk. “Aku tidak bisa bila Beck harus terluka.”
“Dia bukan lagi Beck yang kita kenal. Dia penghancur. Dia kekuatan jahat yang terkumpul.”
“Justru karena itu. Beck tidak melakukan semua ini. Karena itu aku tak ingin tubuhnya dilukai,” Norah menatap Alexandra penuh kebimbangan. “Mengertilah!”
“Tidak ada waktu untuk mengerti, Norah!” seru Drafisty sambil menghantamkan sihirnya. Beck pun tergeser beberapa langkah.
“Penyihir bodoh. Sebesar apapun kekuatanmu takkan mampu mengalahkanku.”
Beck tampak mulai gusar. Diacungkannya tangannya keudara seakan memanggil petir. Saat itu pula angin berhembus lebih kencang. Udara di ruangan itu terasa sangat penuh hingga mereka semua merasa udara di sekitarnya memberat. Terus-menerus menekan mereka. Sungguh menyesakkan.
Mereka tak mampu lagi untuk berdiri. Lutut mereka gemetar. Bukan karena takut, tapi mereka merasa benar-benar berat. Terlalu berat meski hanya untuk menopang tubuh. Satu persatu dari mereka mulai jatuh. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa mereka mencoba menopang tubuh mereka dengan kedua lengan mereka yang sudah mulai gemetar pula.
“Sty, X2, Thu,” bisik Norah. “Maafkan semua kesalahanku, ya!”
“Apa maksud perkataanmu?” tanya Drafisty, suaranya bergetar.
“Tak ada harapan, Sty,” jawab Norah. Suaranya terbata. Air mata menetes dari kedua sudut matanya. Tubuhnya mulai jatuh, tangannya tak mampu lagi menopang tubuh kecilnya itu.
“Aku tak pernah ingin kita mati sebelum aku menebus kesalahanku,” bisik Alexandra pada dirinya sendiri.
Beberapa kali dengan berharap pada sisa tenaganya dia mencoba mematahkan sihir Beck. Tapi hasilnya hanya sia-sia. Udara di ruangan itu justru terasa semakin penuh dan berat. Oksigennya seakan tak mengalir. Rasanya sesak. Lebih menyesakkan ketimbang kenyataan atas kesalahan. Apakah semua akan berakhir dalam kesedihan. Apakah ini tidak bisa berakhir seperti dongeng-dongeng yang selalu berakhir bahagia dengan kemenangan di pihak yang baik?
Tangisan Norah mulai terdengar. Isakan dan sedu sedannya tak lagi terdengar menjengkelkan di telinga Drafisty. Norah memang cengeng. Tapi di saat nyawa berada pada ambang batas, seorang pemberani sekalipun dapat menangis bukan?
Drafisty tak membentak ataupun mengejek Norah. Justru tatapan ibalah yang diperlihatkannya. Sebenarnya dia sangat ingin menangis. Tapi harga dirinya yang tinggi itu tidak akan dia relakan untuk runtuh di saat-saat terakhir. Menangispun tak akan mengubah kenyataan. Mereka tidak bisa apa-apa. Hanya menunggu kehancuran. Kematian.
Entah mengapa Drafisty merasa berat untuk semua itu. Padahal sejak masalah itu muncul. Sejak para manusia memburu penyihir, dia sudah menyiapkan mental untuk mati. Saat itu Drafisty memang sendiri dalam sepi, hingga hidup seakan tak berharga. Tapi kini dia punya sesuatu yang berarti, sesuatu yang akan selalu menemaninya mengusir sepi. Hingga ketika harus berhadapan dengan kematian itu sendiri, rasa berat dan tak rela justru menyelubunginya.
Dalam ambang akhir di mana pasrah telah meradang itu pikiran Alexandra terbang. Kenangan akan pertemuannya dengan Drafisty dan Norah seakan terputar ulang. Ketika dia hanya sendiri karenan kekacauan Balse itu, ketika dia berpikir tidak punya siapa-siapa sehingga bila dia matipun tak akan ada yang menangisi bahkan mungkin tak ada yang akan menyadari. Saat di mana dia berpikir kalau air matanya tidak akan pernah mengalir lagi karena tidak akan ada lagi yang dapat membuatnya menangis ataupun sesuatu yang dapat ditangisinya. Saat itu matipun tak mengapa. Karena tidak akan ada yang ditinggalkan. Tapi sekarang? Alexandra tak rela untuk mati. Dia mempunyai sahabat yang menopangnya. Yang meyakinkannya bahwa dia tak lagi sendiri.
“Hidupku tak lagi tidak berarti. Aku punya tujuan. Aku punya keinginan dan impian.”
Tiba-tiba saja angin berhembus. Seolah ada kipas angin raksasa di lantai sehingga mengalirkan angin yang sangat kencang itu. Hanya dalam hitungan detik angin kencang itu hilang dan udara kembali normal. Tak lagi terasa berat. Tidak lagi terasa sesak. Beban itu seakan lenyap oleh kesungguhan yang meringankan. Akankah semua kembali berjalan sesuai dengan harapan?
Beck sangat terkejut menyaksikan semua itu. “Sihir apa itu? Kenapa bisa mematahkan sihirku?” teriaknya gusar.
Kembali untuk kedua kalinya beck mengacungkan tangannya seperti pertama yang dia lakukan. Tapi...
“Tak perlu kau coba lagi!” seru Charlie yang entah sejak kapan telah sadar. “Itu bukanlah sihir. Itu kekuatan yang sama dengan kekuatan yang telah mengalahkanmu dulu.”
“Kau?” bisik Beck seakan tersadar oleh sesuatu.
“Ya. Akulah salah satu keturunan cenayang biru,” ujar Charlie. “Kau mengutuk kaumku karena telah berpaling darimu dan berbalik membela manusia dan penyihir. Kau menyiksa kaumku dan generasi mereka karena kami menyadari kebusukan hatimu. Iblis yang kini berada dalam tubuh manusia terpilih.”
“Charlie yang menyebalkan itu seorang cenayang biru?” pekik Norah tak percaya.
Namun tak satupun dari mereka yang menanggapi ucapan Norah. Mereka sudah cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Alexandra seorang putri dan manusia terpilih bukanlah pahlawan seperti yang mereka bayangkan, justru sosok yang akan membuat semua menjadi berantakan. Kini mereka mengetahui bahwa Charlie adalah cenayang biru.
“Bukankah cenayang biru hanyalah legenda?” tanya Memon bingung.
“Manusia terpilih juga legenda. Tapi keduanya kini jadi nyata,” bisik Thufry kakjub.
Entah bagaimana mulanya pertarungan itupun terjadi. Beck pun mencoba menghantamkan sihirnya pada Charlie. Tapi lagi-lagi muncul hal aneh yang membuat semua tak habis pikir.
“Bagaimana mungkin? Kenapa aku tidak bisa mengeluarkan sihirku?”
Beck sungguh gusar. Berkali-kali dia mencoba mengeluarkan sihirnya, tapi tak satupun sesuai dengan apa yang dia harapkan.
“Kau belum menyadarinya juga?” lirih Charlie tenang. “Kekuatanmu adalah rasa benci, sakit hati, takut, marah, dendam, tamak, munafik dan hal busuk lainnya yang kau tanam di hati setiap makhluk,” Charlie mendekati Beck perlahan. “Tapi manusia, penyihir dan makhluk lainnya memiliki rasa sayang, perasaan cinta, kesetiakawanan dan tanggung jawab. Kekuatanmu lemah akan hal itu. Selama rasa itu masih mereka miliki, kau masih terkalahkan.”
Charlie tepat berada di depan Beck. Disentuhnya dahi Beck pelan. Sangat pelan seakan Beck terbuat dari berlian yang rapuh. Saat itu pula seakan ada yang berteriak dari tubuhnya. Sungguh gelap dan berbau busuk. Membuat ruangan itu terasa dingin dan hampa. Seakan jatuh ke dasar dunia dan kehilangan segalanya.
Perlahan semua kembali normal. Bumi berhenti bergetar. Istana pun tak lagi tenggelam. Tapi Beck dan Charlie jatuh pungsan. Mereka telah kehabisan tenaga sepertinya.
Dengan sigap mereka menopang keduanya ke kamar.
“Ini seperti mimpi,” Lirih Norah.
Drafisty menarik tongkat sihirnya dan memercikan api ke pada Norah.
“Sakit, Sty,” protes Norah.
“Berarti bukan mimpi, kan?”
Bersambung ke Bab 12, Kenyataan yang Tersimpan
Sesekali terdengar dengusan putri Memon setiap kali matanya bertemu pandang dengan Charlie yang duduk di hadapannya. Memon tambah kesal terhadap Charlie. Apalagi sejak Beck menghilang. Charlie jadi lebih sok akrab dengan orangtuanya. Memon yakin, Charlie ada di balik hilangnya Beck. Tapi dia tidak punya bukti.
“Huh!” dengus Memon lagi saat dia memergoki Charlie mencuri pandang padanya. “Berhentilah menatapku!” bentak Memon yang sudah hilang kesabarannya.
“Memon..” bisik ratu Loja memperingati.
Memon mendelik kesal pada Charlie. Tapi Charlie justru tersenyum melihat reaksi Memon yang menurutnya sangat manis itu.
Suasana kembali tenang hingga akhirnya pintu ruangan itu terbuka dengan sangat kasar.
BRUK!!!
Tiba-tiba saja seluruh jendela terhempaskan oleh angin hingga terbuka. Sesosok tubuh tampak berdiri di balik pintu itu.
“Beck?” seru Memon yang bingung sekaligus bahagia. “Kau kembali, Beck?”
Charlie menatap Beck tak percaya. “Tidak mungkin. Kau masih hidup?” bisiknya pelan. Sangat pelan hingga hanya dia yang dapat mendengar bisikan itu.
Putri Memon yang sangat senang bisa bertemu Beck lagi langsung menghambur pada Beck tanpa perduli dengan acara makan malamnya. Tapi Beck sama sekali tidak memperdulikan Memon. Beck justru melaluinya. Memon cukup shock untuk apa yang baru saja terjadi. Beck yang biasanya ramah kini begitu dingin. Memon membalikkan tubuhnya dan menatap Beck yang saat itu mengacungkan tangannya ke arah raja Loja. Kemudian perlahan diangkatnya tangannya ke atas. Raja terangkat dari kursinya. Seolah tercekik sesuatu raja Loja mencoba meraih lehernya.
“Beck?” bisik Memon tak percaya akan penglihatannya. “Beck! Apa yang kau lakukan?” teriak Memon pada Beck yang sama sekali tidak perduli.
***
“Al, sekarang bagaimana? Kita harus kemana?” tanya Thufry yang sedari tadi mengekor pada ketiga penyihir itu.
“Entahlah. Mungkin kita harus mengikuti perkataan Beck yang kau dengar. Kita harus langsung ke istana, tempat di mana merupakan pusat kekuatan Balse” jawab alkexandra seadanya.
“Lihat! Cahaya seakan terserap ke suatu tempat!” seru Norah.
“Manusia terpilih. Dia pasti sudah berada di istana. Cahaya itu pasti terserap ke istana,” bisik Drafisty. “Kurasa kita harus menuju ke istana secepat mungkin. Kita tidak boleh terlambat. Firasatku buruk sekali.”
“Baiklah. Kita harus lebih cepat lagi!” seru Alexandra mulai berlari.
“Stop!” cegah Norah tiba-tiba. Alexandra, Drafisty dan Thufry pun menghentikan langkah mereka.
“Kenapa? Kita tidak punya banyak waktu,” protes Drafisty.
“Kita memang tidak punya banyak waktu. Tapi kalau ingin ke istana berarti kita harus melewati kota. Apa kalian lupa alasan mengapa kita bersembunyi? Para manusia murni itu. Mereka memburu dan membunuh kita, para penyihir. Kita bahkan akan kehilangan segalanya bila melewati kota,” jelas Norah menggebu.
“Maaf. Aku terlalu gegabah,” sesal Alexandra.
“Bukan salahmu, X2. kita semua jadi bersemangat karena menusia terpilih bangkit,” hibur Norah.
“Jadi bagaimana kita bisa melalui kota? Kita belum bisa terbang seperti para penyihir senior.”
“Tenang, Sty! Kita memang belum bisa terbang. Tapi kita sudah mempelajari teleportasi,” jelas Norah.
“Tidak, Norah! Kita bahkan belum pernah mencobanya,” tolak Alexandra tegas.
“Tidak ada pilihan. Lagi pula bila kita menggabungkan kekuatan kita dan berkonsentrasi kita pasti bisa berhasil. Kita hanya butuh sedikit keberanian,” Norah bersikeras. Sesaat Norah tampak lebih dewasa dari biasanya.
Memang benar. Tidak ada pilihan bagi mereka. Alexandra menatap teman-temannya.
“Baiklah. Kita akan coba. Tapi bila kalian merasa ada keanehan. Segera hentikan!” ujar Alexandra akhirnya.
Mereka mengangguk serentak. Tanpa perdebatan lagi merekapun mulai menggabungkan kekuatan. Seberkas cahaya jingga menyelimuti mereka.
***
Tubuh Beck terhempas ke dinding. Seketika darah mengalir dari pelipisnya. Raja Loja kembali menyerangnya dengan sihir. Sebuah cahaya biru membungkus Beck. Kesadarannya hilang.
Memon tak percaya melihat apa yang terjadi. “Raja seorang penyihir?” belum sempat bingung itu hilang tiba-tiba saja bola api menghantam raja Loja saat dia hendak menyerang Beck kembali.
“Hentikan, Raja!” perintah Alexandra. “Kau menyakiti manusia terpilih.”
“Alexandra, Norah dan Drafisty. Akhirnya kalian muncul,” ujar raja Loja. “Sudah kuduga. Masih ada witch yang tersisa.”
“Apa maksud perkataan yang mulia?”
“Kalian harus lenyap,” raja Loja mengacungkan tangannya kepada ketiga penyihir itu. Mereka bertigapun terhempas oleh kekuatan yang sangat besar.
“Tidak boleh ada witch yang tersisa. Kalian hanya akan menggagalkan rencanaku.”
“Jangan bercanda! Aku bertahan selam ini untuk hidup,” seru Drafisty sambil mengarahkan sihirnya pada raja Loja. Dia terhempas.
“Aku juga tidak mencita-citakan untuk mati!” susul Norah.
Tiba-tiba saja raja mengerang seakan menahan sakit yang teramat perih. Dia menggeliat selayaknya hewan buruan yang terpanah. Perlahan dia mengelupas seperti seekor ular. Berubah menjadi sosok orang lain. Perlahan sosok itu mulai jelas.
“Ayah?” bisik Alexandra tak percaya. “Ternyata kau...”
“Cukup, Al! Aku bukan ayahmu,” ujarnya sambil bangkit. “Kau sangat bodoh. Tak ku sangka sangat mudah mengendalikan dirimu.”
“Aku tidak mengerti atas apa yang ayah bicarakan.”
“Apa kau tak pernah menyadari bahwa kau dan Memon sangat mirip. Terlalu mirip untuk menjadi orang lain.”
“Apa maksudmu?” Alexandra semakin bingung dengan omongan lelaki tersebut.
“Kalian kembar. Kau putri Alexandra yang dibuang sejak lahir,” ujar lelaki itu. Alexandra hanya terdiam. Dia tidak pernah berpikir akan hal itu.
“Bukan begitu, Lois? Kau sudah lama tahu bukan?” ujarnya pada Ratu.
“Aku...” Ratu tak berani berpendapat.
“Aku tidak percaya!” seru Alexandra. “Ini hanya omong kosong. Kau bohong.”
“Aku tidak bohong, Al. Semua yang kukatakan benar,” ujar lelaki itu lagi. “Kau dibuang oleh penasehat istana karena memiliki simbol kunci itu. Kau terlahir sebagai pembuka segel. Aku megetahui semua itu. Oleh sebab itu aku memungutmu. Membuatmu berpikir bahwa akulah ayahmu.”
“Kau bohong,” Alexandra menghantamkan sihirnya.
“Aku tidak pernah bohong,” elak lelaki itu sambil mematahkan sihir Alexandra. “Tanpa kau sadari kau telah menjadi senjataku untuk membunuh raja. Sang segel.”
“Itu tidak mungkin,” bantah Norah. “X2 tidak pernah membunuh raja. Kau hanya ingin menjatuhkannya, iya kan?”
“Hahaha..” seringainya tampak sangat menjijikkan. Lelaki itu melangkah hingga berada tepat di depan Alexandra yang mematung. “Kau ingat? Kau pernah menyerang seorang pria. Kau pikir orang itu mencoba membunuhku. Kau ingat kan?”
“Tidak mungkin,” lirih Alexandra tak percaya.
“Saat itu raja Loja tahu bahwa putrinya yang hilang ada padaku. Dia mencoba memintanya. Tapi aku menolak,” senyum licik terukir pada wajah lelaki itu. “Pertengkaran pun terjadi. Dan akhirnya, tanpa kau sadari kau telah membunuh raja. Ayahmu. Dan menghancurkan segel yang mengunci manusia terpilih beserta kekuatan jahat itu. Kau lah yang menimbulkan kehancuran ini.”
“TIDAK!!”
“Itulah kebenarannya. Kenyataan yang harus kau terima.”
Udara berat menghantam lelaki itu hingga membentur dinding. “Alexandra tidak seperti itu. Bukan dia yang salah.”
“Seberapa besarpun ketidakpercayaanmu itu tidak akan dapat merubah kenyataan,” ujar lelaki itu. “Alexandra, kau lah yang membebaskan kekuatan jahat ini. Dan dunia akan hancur karenanya.”
“Tidak! Manusia terpilih, dia akan menyelesaikan semua ini,” bantah Drafisty.
“Hahaha... dasar bodoh,” lelaki itu kembali menarik ujung bibirnya. Seolah merasa menang. “Kalian terlalu tidak tahu. Kalian pikir untuk apa manusia terpilih itu muncul?”
“Dia akan menyelamatkan kami.”
Lelaki itu kembali bangkit. Mendekati Beck yang masih belum sadarkan diri dan terbungkus cahaya. “Memang, manusia terpilih akan menarik kembali kekuatan jahat yang telah merasuki hati manusia,” lelaki itu menatap penuh kemenangan. “Tapi dengan kembalinya kekuatan jahat itu padanya justru akan membangkitkan sisi iblis manusia terpilih.”
“Itu tidak mungkin.”
“Manusia terpilih justru akan menghancurkan dunia.”
“Kau bohong.”
“Menyakitkan memang. Tapi itulah kenyataannya.”
“Itu tidak benar,” Drfisty tidak dapat lagi membendung emosinya. Bangunan itu begetar. Membuat semua yang ada di dalam ruangan itu porak poranda.
“Tenang, Sty!” bujuk thufry yang sejak tadi diam. “Pasti ada jalan keluar.”
Drafisty sama sekali tidak memperdulikan Thufry. Semua yang dia harapkan hancur. Ternyata selama ini benar-benar sia-sia. Drafisty terduduk. Tubuhnya lemas karena tenaganya cukup banyak terkuras.
“Beck tidak mungkin menghancurkan dunia. Dia bukan orang jahat sepertimu,” ujar Memon dengan suara bergetar.
Lelaki itu tidak menjawab. Dai hanya menatap angkuhlah tidak memperdulikan apa yang telah Memon katakan.
“Sebenarnya apa yang kau inginkan?” akhirnya ratu Loja angkat bicara. “Apa yang kau inginkan, Jack?”
“Jangan pernah sebut nama itu lagi!” ujarnya sembari menghempaskan ratu. “Kau yang membuat kebencian itu lahir dalam diriku, Louis. Kau yang menghianatiku.”
“Kebencian itulah dirimu.”
“Diamlah! Aku ingin kau hidup untuk menyaksikan kehancuran ini.”
Perlahan cahaya biru yang menyelubungi Beck memudar. Seakan terserap ke dalam tubuhnya. Beck membuka matanya. Saat itu pula gncangan besar meretakkan tanah. Membuat istana perlahan mulai tenggelam.
“Manusia terpilih. Kemarilah! Bekerjasamalah denganku dan ikuti perintahku!”
Beck menatapnya. Mendekat dan kemudian...
BRUK!!!
Jack terhempas dengan sangat keras. Nafasnya terhenti seketika.
“Aku tak butuh perintah,” ujar Beck dengan suara yang asing. Suara itu kasar dan penuh kebencian. Sungguh dalam seakan berasal dari dasar neraka. “Manusia dan penyihir terlalu lemah untuk menjalani kehidupan,” ujar Beck seranya menatap mereka semua. “Aku akan bantu kalian untuk mengakhirinya.”
Beck mengacungkan tangannya pada Memon. Seberkas sinar meluncur dari ujung jarinya. Sinar itu melaju sambil terus menyerap cahaya di sekitarnya.
Memon menutup matanya. Dia takut. Tak mampu bergerak meski hanya untuk mengelak. “Aku akan mati,” bisiknya dalam hati. Memon merasakan tubuhnya terhempas kebelakang. Dia membentur dinding istana yang tak berhenti bergetar karena terus tenggelam. Punggungnya terasa sakit. Tapi hanya itu. Dia tidak mati.
“Charlie???” pekik Memon tak percaya. Dihadapannya Charlie tergeletak tak sadarkan diri. Dia tidak terluka. Tapi cahaya di sekitarnya kian redup seakan terhisap oleh sesuatu.”Charlie, kenapa menolongku? Padahal tak sedetikpun aku pernah baik padamu,” Memon merangkul Charlie. Air mata tak kuasa lagi untuk ditahannya. “Jangan mati Charlie!!”
“Anak bodoh. Padahal nanti dia juga akan ku bunuh,” ujar Beck yang telah berada di depan Memon.
“Jangan bunuh dia!” seru ratu Loja sambil menghantamkan kursi pada Beck. Kursi itu patah. Beberapa serpihannya menancap pada tubuh Beck. Tapi sedikitpun Beck tidak terlihat merasa sakit.
“Manusia bodoh. Aku tidak selemah manusia sepertimu,” Beck menggenggam leher ratu Loja kemudian menghempaskannya hingga terjerumus menghantam tiang ruangan itu.
Alexandra mengarahkan sihirnya pada Beck. Tapi Norah justru menepis sihir itu.
“Apa-apaan kau ini Norah?” tanya Alexandra tak percaya. “Kenapa melindunginya?”
“Maaf, X2,” bisik Norah sembari menunduk. “Aku tidak bisa bila Beck harus terluka.”
“Dia bukan lagi Beck yang kita kenal. Dia penghancur. Dia kekuatan jahat yang terkumpul.”
“Justru karena itu. Beck tidak melakukan semua ini. Karena itu aku tak ingin tubuhnya dilukai,” Norah menatap Alexandra penuh kebimbangan. “Mengertilah!”
“Tidak ada waktu untuk mengerti, Norah!” seru Drafisty sambil menghantamkan sihirnya. Beck pun tergeser beberapa langkah.
“Penyihir bodoh. Sebesar apapun kekuatanmu takkan mampu mengalahkanku.”
Beck tampak mulai gusar. Diacungkannya tangannya keudara seakan memanggil petir. Saat itu pula angin berhembus lebih kencang. Udara di ruangan itu terasa sangat penuh hingga mereka semua merasa udara di sekitarnya memberat. Terus-menerus menekan mereka. Sungguh menyesakkan.
Mereka tak mampu lagi untuk berdiri. Lutut mereka gemetar. Bukan karena takut, tapi mereka merasa benar-benar berat. Terlalu berat meski hanya untuk menopang tubuh. Satu persatu dari mereka mulai jatuh. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa mereka mencoba menopang tubuh mereka dengan kedua lengan mereka yang sudah mulai gemetar pula.
“Sty, X2, Thu,” bisik Norah. “Maafkan semua kesalahanku, ya!”
“Apa maksud perkataanmu?” tanya Drafisty, suaranya bergetar.
“Tak ada harapan, Sty,” jawab Norah. Suaranya terbata. Air mata menetes dari kedua sudut matanya. Tubuhnya mulai jatuh, tangannya tak mampu lagi menopang tubuh kecilnya itu.
“Aku tak pernah ingin kita mati sebelum aku menebus kesalahanku,” bisik Alexandra pada dirinya sendiri.
Beberapa kali dengan berharap pada sisa tenaganya dia mencoba mematahkan sihir Beck. Tapi hasilnya hanya sia-sia. Udara di ruangan itu justru terasa semakin penuh dan berat. Oksigennya seakan tak mengalir. Rasanya sesak. Lebih menyesakkan ketimbang kenyataan atas kesalahan. Apakah semua akan berakhir dalam kesedihan. Apakah ini tidak bisa berakhir seperti dongeng-dongeng yang selalu berakhir bahagia dengan kemenangan di pihak yang baik?
Tangisan Norah mulai terdengar. Isakan dan sedu sedannya tak lagi terdengar menjengkelkan di telinga Drafisty. Norah memang cengeng. Tapi di saat nyawa berada pada ambang batas, seorang pemberani sekalipun dapat menangis bukan?
Drafisty tak membentak ataupun mengejek Norah. Justru tatapan ibalah yang diperlihatkannya. Sebenarnya dia sangat ingin menangis. Tapi harga dirinya yang tinggi itu tidak akan dia relakan untuk runtuh di saat-saat terakhir. Menangispun tak akan mengubah kenyataan. Mereka tidak bisa apa-apa. Hanya menunggu kehancuran. Kematian.
Entah mengapa Drafisty merasa berat untuk semua itu. Padahal sejak masalah itu muncul. Sejak para manusia memburu penyihir, dia sudah menyiapkan mental untuk mati. Saat itu Drafisty memang sendiri dalam sepi, hingga hidup seakan tak berharga. Tapi kini dia punya sesuatu yang berarti, sesuatu yang akan selalu menemaninya mengusir sepi. Hingga ketika harus berhadapan dengan kematian itu sendiri, rasa berat dan tak rela justru menyelubunginya.
Dalam ambang akhir di mana pasrah telah meradang itu pikiran Alexandra terbang. Kenangan akan pertemuannya dengan Drafisty dan Norah seakan terputar ulang. Ketika dia hanya sendiri karenan kekacauan Balse itu, ketika dia berpikir tidak punya siapa-siapa sehingga bila dia matipun tak akan ada yang menangisi bahkan mungkin tak ada yang akan menyadari. Saat di mana dia berpikir kalau air matanya tidak akan pernah mengalir lagi karena tidak akan ada lagi yang dapat membuatnya menangis ataupun sesuatu yang dapat ditangisinya. Saat itu matipun tak mengapa. Karena tidak akan ada yang ditinggalkan. Tapi sekarang? Alexandra tak rela untuk mati. Dia mempunyai sahabat yang menopangnya. Yang meyakinkannya bahwa dia tak lagi sendiri.
“Hidupku tak lagi tidak berarti. Aku punya tujuan. Aku punya keinginan dan impian.”
Tiba-tiba saja angin berhembus. Seolah ada kipas angin raksasa di lantai sehingga mengalirkan angin yang sangat kencang itu. Hanya dalam hitungan detik angin kencang itu hilang dan udara kembali normal. Tak lagi terasa berat. Tidak lagi terasa sesak. Beban itu seakan lenyap oleh kesungguhan yang meringankan. Akankah semua kembali berjalan sesuai dengan harapan?
Beck sangat terkejut menyaksikan semua itu. “Sihir apa itu? Kenapa bisa mematahkan sihirku?” teriaknya gusar.
Kembali untuk kedua kalinya beck mengacungkan tangannya seperti pertama yang dia lakukan. Tapi...
“Tak perlu kau coba lagi!” seru Charlie yang entah sejak kapan telah sadar. “Itu bukanlah sihir. Itu kekuatan yang sama dengan kekuatan yang telah mengalahkanmu dulu.”
“Kau?” bisik Beck seakan tersadar oleh sesuatu.
“Ya. Akulah salah satu keturunan cenayang biru,” ujar Charlie. “Kau mengutuk kaumku karena telah berpaling darimu dan berbalik membela manusia dan penyihir. Kau menyiksa kaumku dan generasi mereka karena kami menyadari kebusukan hatimu. Iblis yang kini berada dalam tubuh manusia terpilih.”
“Charlie yang menyebalkan itu seorang cenayang biru?” pekik Norah tak percaya.
Namun tak satupun dari mereka yang menanggapi ucapan Norah. Mereka sudah cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Alexandra seorang putri dan manusia terpilih bukanlah pahlawan seperti yang mereka bayangkan, justru sosok yang akan membuat semua menjadi berantakan. Kini mereka mengetahui bahwa Charlie adalah cenayang biru.
“Bukankah cenayang biru hanyalah legenda?” tanya Memon bingung.
“Manusia terpilih juga legenda. Tapi keduanya kini jadi nyata,” bisik Thufry kakjub.
Entah bagaimana mulanya pertarungan itupun terjadi. Beck pun mencoba menghantamkan sihirnya pada Charlie. Tapi lagi-lagi muncul hal aneh yang membuat semua tak habis pikir.
“Bagaimana mungkin? Kenapa aku tidak bisa mengeluarkan sihirku?”
Beck sungguh gusar. Berkali-kali dia mencoba mengeluarkan sihirnya, tapi tak satupun sesuai dengan apa yang dia harapkan.
“Kau belum menyadarinya juga?” lirih Charlie tenang. “Kekuatanmu adalah rasa benci, sakit hati, takut, marah, dendam, tamak, munafik dan hal busuk lainnya yang kau tanam di hati setiap makhluk,” Charlie mendekati Beck perlahan. “Tapi manusia, penyihir dan makhluk lainnya memiliki rasa sayang, perasaan cinta, kesetiakawanan dan tanggung jawab. Kekuatanmu lemah akan hal itu. Selama rasa itu masih mereka miliki, kau masih terkalahkan.”
Charlie tepat berada di depan Beck. Disentuhnya dahi Beck pelan. Sangat pelan seakan Beck terbuat dari berlian yang rapuh. Saat itu pula seakan ada yang berteriak dari tubuhnya. Sungguh gelap dan berbau busuk. Membuat ruangan itu terasa dingin dan hampa. Seakan jatuh ke dasar dunia dan kehilangan segalanya.
Perlahan semua kembali normal. Bumi berhenti bergetar. Istana pun tak lagi tenggelam. Tapi Beck dan Charlie jatuh pungsan. Mereka telah kehabisan tenaga sepertinya.
Dengan sigap mereka menopang keduanya ke kamar.
“Ini seperti mimpi,” Lirih Norah.
Drafisty menarik tongkat sihirnya dan memercikan api ke pada Norah.
“Sakit, Sty,” protes Norah.
“Berarti bukan mimpi, kan?”
Bersambung ke Bab 12, Kenyataan yang Tersimpan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar