Pagi itu sinar matahari menerobos melalui kaca jendela tak bertirai. Jatuh menyinari Beck yang pingsan sejak semalam. Di sampingnya Norah terduduk tidur sambil menyender di tepi tempat tidur. Tampaknya dia benar-benar mengantuk dan lelah karena merawat Beck semalaman.
Di pintu, tampak Drafisty berdiri mematung menatap keduanya. Di benaknya masih terasa beribu tanya. Apa benar Beck seorang manusia terpilih? Kenapa sangat tidak meyakinkan. Sungguh jauh dari bayangannya mengenai sosok manusia terpilih.
Drafisty melangkahkan kakinya menuju Beck. Decit langkahnya sama sekali tidak mengusik keduanya. Drafisty menatap Beck. Meneliti dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mencari keistimewaan yang dimiliki Beck hingga dia pantas disebut manusia terpilih.
“Polos… seperti putri tidur,” bisiknya.
Baru Drafisty sadari bahwa wajah Beck begitu bersih bagai bayi. Cahaya dari jendela yang tepat menyinari wajahnya membuatnya tampak seperti malaikat tak berdosa. Drafisty mendekatkan wajahnya pada Beck. Mencoba melihat lebih jelas. Diulurkannya tangannya menyentuh dahi Beck. Seketika Drafisty merasa Beck bersinar. Itu bukan cahaya dari jendela. Beck lah yang mengeluarkan sinar itu. Drafisty menarik wajahnya kembali.
“Ng... Sty? Itu kau?” tanya Norah yang masih setengah tidur.
“Emh... ya.”
“Ada apa?”
“Ng...” Drafisty berpikir mencari alasan. Terlalu gengsi baginya untuk mengakui bahwa dia ingin menjenguk Beck. Seketika ide menghampirinya. “Aku hanya ingin mengantarkan es ini,” ujarnya sambil menyodorkan baskom berisi es yang baru saja diciptakannya dengan sihir.
“Oh...” ujar Norah sambil menerima baskom berisi es tersebut. “Terima kasih.”
Drafisty langsung berbalik hendak keluar ruangan. Tapi Norah segera mencegahnya.
“Sty!” panggil Norah. “Bisa tolong gantikan aku sebentar? Aku mau ke kamar mandi. Mau cuci muka,” pinta Norah.
Drafisty diam sesaat kemudian mengangguk pelan.
“Terima kasih,”Norah langsung berlari ke luar kamar.
“Tapi hanya sebentar ya!” susul Drafisty. Norah hanya melambaikan tangan mengisyaratkan iya.
Drafisty duduk di tempat Norah tertidur tadi. Dipandanginya Beck. Tak ada yang berubah darinya. Masih manusia biasa. Kecuali sinar yang tadi sempat mengagetkannya. “Mungkin itu hanya halusinasiku saja,” elak Drafisty.
“Apa benar kamu manusia terpilih itu? Lantas kenapa kamu tidak punya kekuatan apa-apa? Perlihatkan padaku, apa keistimewaanmu!”
Drafisty menundukkan kepalanya. “Manusia terpilih itu istimewa. Hanya manusia terpilihlah harapan terakhir kami, agar kami bisa kembali hidup normal. Kalau memang kamu orangnya, perlihatkanlah kekuatanmu!”
Sebutir air mata menitik dari sudut matanya. Diseka dan ditengadahkannya wajahnya agar air mata itu tidak mengalir lebih banyak lagi.
“Aku sudah kehilangan orang-orang yang kusayangi. Aku sudah berkali-kali kecewa. Kumohon, jangan kecewakan aku!”
Drafisty meninggalkan Beck sebelum Norah kembali dan melihat sosoknya yang cengeng. Ini bukan dirinya yang biasa. Dia selalu tampil tegar dan keras. “Menangis bukanlah bagian dari hidupku selama ini.”
Drafisty bingung. Dia takut Beck bukan manusia terpilih. Dia ragu apa Beck bisa menyelesaikan semua ini. Dia sendiri tidak benar-benar mengerti akan apa yang terjadi padanya.
***
“X2, apa kau lihat Beck?” tanya Norah yang tiba-tiba saja muncul ke ruang baca dengan wajah paniknya.
“Bukankah kau dari tadi menjaganya?” tanya Drafisty tanpa terdengar cemas sedikitpun.
“Ya, tadi,” jawab Norah. “Tapi tadi lagi-lagi aku ketiduran. Terus waktu aku bangun dia sudah tidak ada.”
Alexandra bangkit dari duduknya kemudian tanpa kata-kata dia melangkah ke luar ruangan.
“Kenapa kau begitu bodoh, Norah?” sungut Drafisty.
“Jangan salahkan aku dong!” rutuk Norah tidak mau disalahkan.
“Tapi kalau bukan karena kelalaianmu dia tidak akan hilang.”
“Mana ku tahu kalau dia akan menghilang. Kalau aku tahu, aku pasti berusaha sekuat tenaga agar tidak tertidur,” ujar Norah hampir menangis. “Bagaimana ini?”
“Ng... Maaf.”
Norah langsung membalik tubuhnya. Tampak olehnya Beck berdiri di pintu dengan wajah polosnya. Langsung saja Norah menghampiri dan memeluk Beck. Diapun menangis sejadi-jadinya.
“Dasar cengeng. Sok manis,” sungut Drafisty kemudian melanjutkan membacanya.
Sementara itu Beck menjadi bingung sendiri. Tiba-tiba saja seorang cewek yang tidak dikenalnya memeluk dan menangis padanya.
“Tempat ini aneh,” batinnya.
“Tadi aku melihatnya bersama Thufry,” ujar Alexandra menjelaskan. “Ku kira kau sudah tau.”
“Sebenarnya aku ingin membangunkanmu. Tapi kau tampak lelah sekali, jadi...”
“Lain kali jangan menghilang seperti itu! Aku cemas,” rengek Norah tanpa melepas pelukannya.
“He-eh,” ujar Beck sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Norah. Sadar usahanya itu sia-sia akhirnya Beck memutuskan untuk pasrah.
“Ng... boleh aku tanya sesuatu? Aku tidak tahu siapa kalian dan sebenarnya apa yang telah terjadi?”
Drafisty berhenti membaca dan menatap Alexandra. Memintanya untuk menjelaskan semua pada Beck.
Alexandra duduk di kursinya. Di depan perapian.Beck menatapnya, menunggu penjelasan yang akan keluar dari mulut Alexandra. Alexandra menghela nafas berat. Dia bingung bagaimana cara menjelaskannya agar Beck mengerti dan tidak shock. Selain itu, dia sendiri bingung harus mamulai ceritanya dari mana. Semua yang terjadi terlalu tiba-tiba.
“Begini, Beck. Kami ini penyihir,” ujar Alexandra. Seperti yang sudah dia duga, Beck sangat terkejut. Sebelum Beck pingsan dia segera melanjutkan bicaranya. “Aku Alexandra, dia Drafisty, dan yang berada di dekatmu itu Norah,” Alexandra memulai perkenalan itu dengan singkat. “Saat ini kami nyaris musnah. Entah mengapa, tiba-tiba saja manusia murni menjadi sangat kejam. Mereka jadi egois dan tak memiliki akal. Mereka menghancurkan apa yang mereka temui. Mereka bahkan membunuh sesamanya demi materi yang tidak seberapa. Hati mereka seakan telah tertutup oleh dengki dan kegelapan. Menyedihkannya, pihak istana yang tidak mengalami perubahan justru beranggapan kalau semua itu ulah penyihir. Mereka berpikir bahwa penyihir ingin mengacaukan kota agar dapat menguasai kerajaan. Karenanya mereka memusuhi kami. Bila bertemu penyihir maka mereka menangkapnya, membunuh dan memasung penyihir itu. Tak hanya itu, belakangan mereka mulai memburu kami. Padahal kami tidak tahu apa kesalahan kami. Kami merasa tidak melakukan apapun hingga dapat merusak hubungan baik antara penyihir dan manusia murni. Sekarang Balse sudah benar-benar kacau. Bukan hanya tak mau menerima kehadiran penyihir, merekapun berusaha untuk memusnahkan kami.”
“Kenapa tidak gunakan sihir untuk membela diri? Lantas apa hubungan semua itu denganku?”
“Kami tidak bisa menggunakan sihir untuk itu. Ada beribu alasan yang tidak mungkin kau mengerti,” Alexandra menatap kosong ke langit-langit. “Beck, menurut ramalan penyihir tetua, akan datang manusia terpilih dari dimensi lain untuk menyelamatkan kami dan menyelesaikan semua ini.”
“Kau lah orangnya,” seru Norah yang masih menggandeng lengan Beck.
“Aku? Tapi aku bahkan tidak bisa sihir. Aku bisa apa?”
“Setiap manusia mempunyai kekuatannya sendiri. Kau pasti punya keistimewaan, Beck.”
“Kalian pasti salah orang. Aku hanya siswa SMA biasa. Hidup normal tanpa ada kelebihan.”
“Tidak mungkin salah, Beck,” ujar Thufry yang tiba-tiba muncul. “Hanya batu gerbang dimensi sepertiku dan manusia terpilih yang dapat menjelajah dimensi. Kau lah orangnya.”
“Tapi bagaimana aku menolong kalian? Aku tidak bisa apa-apa,” Beck bersikeras.
“Sekarang kita belum tahu apa yang bisa kau lakukan. Tapi aku yakin, nanti kita akan menemukan keistimewaan dalam dirimu,” jelas Alexandra.
Beck masih ragu. Semua terlalu aneh. Tiba-tiba saja Thufry muncul, kemudian dia berpindah ke Balse, dan sekarang dia harus menerima kenyataan bahwa nasib ketiga penyihir itu berada di tangannya. Terlalu menekan.
Drafisty sudah kehabisan kesabaran. Dihempaskannya buku yang tadi dia baca. Semua mata memandang ke arahnya.
“Kalian lihat sendiri kan? Dia sendiri meragukannya.”
Drafisty tampak sangat kesal. Harapan mereka hanyalah manusia terpilih. Tapi apa yang dia temui jauh dari harapannya.
“Kau memang tak layak jadi manusia terpilih. Kau manusia biasa. Kau tak layak!” Drafisty berseru nyaris berteriak. Wajahnya merah padam. Dia sungguh kesal. Beck terdiam mendengar semua itu.
“Sty, kata-katamu keterlaluan,” protes Norah.
“Kenapa masih mengharapkannya? Dia sendiri tak yakin bisa,” Drafisty bersikeras.
Alexandra tak bisa menemukan kata-kata untuk menenangkan Drafisty. Dia tahu Drafisty, bukanlah mudah untuk meyakinkannya.
“Waktu terus berjalan dan kita tidak melakukan apa-apa. Penantian kita selama ini bodoh, tak berarti, buang-buang waktu, tak ada hasilnya,” maki Drafisty kesal.
Drafisty menghambur ke luar. Alexandra menatap Thufry memberi isyarat agar Thufry menyusul Drafisty. Tanpa banyak komentar Thufry menurut.
***
Drafisty menenggelamkan wajahnya di bantal. Menjerit mengeluarkan semua kekesalannya. Menangis menyalurkan kecewanya. Sesekali dia teriak, padahal dia bukanlah cewek yang mudah mengalirkan air mata.
Thufry memandangnya beberapa saat sambil melayan-layang di atasnya. Menunggu Drafisty agak tenang agar dia bisa bicara.
“Sty,” tegur Thufry pelan ketika Drafisty mulai agak tenang.
Drafisty membalik badannya menatap Thufry yang masih melayang. Disekanya air matanya agar bisa melihat dengan jelas.
“Sty, apa sebegitu kecewanya dirimu?”
Drafisty tidak menjawab pertanyaan Thufry. Dia justru memalingkan wajahnya, menatap kosong ke luar jendela.
“Maaf kalau manusia terpilih yang ku bawa ternyata mengecewakanmu.”
“Bukan begitu, Thu,” jawab Drafisty lirih tanpa beralih menatap Thufry. “Aku tidak kecewa pada siapa pun,” Drafisty kemudian bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya. “Mungkin akulah yang sangat bahagia saat manusia terpilih ditemukan. Kau tahu khan, Thu? Semua keluarga dan orang-orang yang kusayangi telah dibunuh. Dan sekarang, aku tidak bisa hidup dengan damai. Satu-satunya harapanku hanyalah manusia terpilih,” Drafisty kembali menyaka air matanya yang mulai mengalir lagi, suaranya pun mulai terdengar serak dan tenggelam. “Tapi manusia terpilih itu justru pesimis. Harapanku habis sudah.”
Drafisty kembali menangis. Kali ini dia tidak menyeka air matanya. Dibiarkannya saja agar pandangannya kabur. Dia tidak ingin melihat apapun.
“Thufry merendahkan terbangnya hingga sejajar dengan wajah Drafisty.
“Sty, Beck itu manusia. Dia tidak punya kekuatan seperti kita,” Thufry mencoba menjelaskan. “Tapi percayalah, Sty! Beck itu manusia terpilih. Dia pasti punya keistimewaan untuk menyelesaikan masalah kita ini.”
Drafisty memalingkan pandangannya dari Thufry lagi. “Dia tidak yakin.”
“Kita lah yang harus meyakinkannya! Kita lah yang harus menyemangatinya!”
“Thu... aku ingin sendiri.”
Thufry mengerti keadaan Drafisty. Dia pun berbalik meninggalkannya.
Bersambung ke Bab 10, Bangkitnya Manusia Terpilih
Di pintu, tampak Drafisty berdiri mematung menatap keduanya. Di benaknya masih terasa beribu tanya. Apa benar Beck seorang manusia terpilih? Kenapa sangat tidak meyakinkan. Sungguh jauh dari bayangannya mengenai sosok manusia terpilih.
Drafisty melangkahkan kakinya menuju Beck. Decit langkahnya sama sekali tidak mengusik keduanya. Drafisty menatap Beck. Meneliti dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mencari keistimewaan yang dimiliki Beck hingga dia pantas disebut manusia terpilih.
“Polos… seperti putri tidur,” bisiknya.
Baru Drafisty sadari bahwa wajah Beck begitu bersih bagai bayi. Cahaya dari jendela yang tepat menyinari wajahnya membuatnya tampak seperti malaikat tak berdosa. Drafisty mendekatkan wajahnya pada Beck. Mencoba melihat lebih jelas. Diulurkannya tangannya menyentuh dahi Beck. Seketika Drafisty merasa Beck bersinar. Itu bukan cahaya dari jendela. Beck lah yang mengeluarkan sinar itu. Drafisty menarik wajahnya kembali.
“Ng... Sty? Itu kau?” tanya Norah yang masih setengah tidur.
“Emh... ya.”
“Ada apa?”
“Ng...” Drafisty berpikir mencari alasan. Terlalu gengsi baginya untuk mengakui bahwa dia ingin menjenguk Beck. Seketika ide menghampirinya. “Aku hanya ingin mengantarkan es ini,” ujarnya sambil menyodorkan baskom berisi es yang baru saja diciptakannya dengan sihir.
“Oh...” ujar Norah sambil menerima baskom berisi es tersebut. “Terima kasih.”
Drafisty langsung berbalik hendak keluar ruangan. Tapi Norah segera mencegahnya.
“Sty!” panggil Norah. “Bisa tolong gantikan aku sebentar? Aku mau ke kamar mandi. Mau cuci muka,” pinta Norah.
Drafisty diam sesaat kemudian mengangguk pelan.
“Terima kasih,”Norah langsung berlari ke luar kamar.
“Tapi hanya sebentar ya!” susul Drafisty. Norah hanya melambaikan tangan mengisyaratkan iya.
Drafisty duduk di tempat Norah tertidur tadi. Dipandanginya Beck. Tak ada yang berubah darinya. Masih manusia biasa. Kecuali sinar yang tadi sempat mengagetkannya. “Mungkin itu hanya halusinasiku saja,” elak Drafisty.
“Apa benar kamu manusia terpilih itu? Lantas kenapa kamu tidak punya kekuatan apa-apa? Perlihatkan padaku, apa keistimewaanmu!”
Drafisty menundukkan kepalanya. “Manusia terpilih itu istimewa. Hanya manusia terpilihlah harapan terakhir kami, agar kami bisa kembali hidup normal. Kalau memang kamu orangnya, perlihatkanlah kekuatanmu!”
Sebutir air mata menitik dari sudut matanya. Diseka dan ditengadahkannya wajahnya agar air mata itu tidak mengalir lebih banyak lagi.
“Aku sudah kehilangan orang-orang yang kusayangi. Aku sudah berkali-kali kecewa. Kumohon, jangan kecewakan aku!”
Drafisty meninggalkan Beck sebelum Norah kembali dan melihat sosoknya yang cengeng. Ini bukan dirinya yang biasa. Dia selalu tampil tegar dan keras. “Menangis bukanlah bagian dari hidupku selama ini.”
Drafisty bingung. Dia takut Beck bukan manusia terpilih. Dia ragu apa Beck bisa menyelesaikan semua ini. Dia sendiri tidak benar-benar mengerti akan apa yang terjadi padanya.
***
“X2, apa kau lihat Beck?” tanya Norah yang tiba-tiba saja muncul ke ruang baca dengan wajah paniknya.
“Bukankah kau dari tadi menjaganya?” tanya Drafisty tanpa terdengar cemas sedikitpun.
“Ya, tadi,” jawab Norah. “Tapi tadi lagi-lagi aku ketiduran. Terus waktu aku bangun dia sudah tidak ada.”
Alexandra bangkit dari duduknya kemudian tanpa kata-kata dia melangkah ke luar ruangan.
“Kenapa kau begitu bodoh, Norah?” sungut Drafisty.
“Jangan salahkan aku dong!” rutuk Norah tidak mau disalahkan.
“Tapi kalau bukan karena kelalaianmu dia tidak akan hilang.”
“Mana ku tahu kalau dia akan menghilang. Kalau aku tahu, aku pasti berusaha sekuat tenaga agar tidak tertidur,” ujar Norah hampir menangis. “Bagaimana ini?”
“Ng... Maaf.”
Norah langsung membalik tubuhnya. Tampak olehnya Beck berdiri di pintu dengan wajah polosnya. Langsung saja Norah menghampiri dan memeluk Beck. Diapun menangis sejadi-jadinya.
“Dasar cengeng. Sok manis,” sungut Drafisty kemudian melanjutkan membacanya.
Sementara itu Beck menjadi bingung sendiri. Tiba-tiba saja seorang cewek yang tidak dikenalnya memeluk dan menangis padanya.
“Tempat ini aneh,” batinnya.
“Tadi aku melihatnya bersama Thufry,” ujar Alexandra menjelaskan. “Ku kira kau sudah tau.”
“Sebenarnya aku ingin membangunkanmu. Tapi kau tampak lelah sekali, jadi...”
“Lain kali jangan menghilang seperti itu! Aku cemas,” rengek Norah tanpa melepas pelukannya.
“He-eh,” ujar Beck sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Norah. Sadar usahanya itu sia-sia akhirnya Beck memutuskan untuk pasrah.
“Ng... boleh aku tanya sesuatu? Aku tidak tahu siapa kalian dan sebenarnya apa yang telah terjadi?”
Drafisty berhenti membaca dan menatap Alexandra. Memintanya untuk menjelaskan semua pada Beck.
Alexandra duduk di kursinya. Di depan perapian.Beck menatapnya, menunggu penjelasan yang akan keluar dari mulut Alexandra. Alexandra menghela nafas berat. Dia bingung bagaimana cara menjelaskannya agar Beck mengerti dan tidak shock. Selain itu, dia sendiri bingung harus mamulai ceritanya dari mana. Semua yang terjadi terlalu tiba-tiba.
“Begini, Beck. Kami ini penyihir,” ujar Alexandra. Seperti yang sudah dia duga, Beck sangat terkejut. Sebelum Beck pingsan dia segera melanjutkan bicaranya. “Aku Alexandra, dia Drafisty, dan yang berada di dekatmu itu Norah,” Alexandra memulai perkenalan itu dengan singkat. “Saat ini kami nyaris musnah. Entah mengapa, tiba-tiba saja manusia murni menjadi sangat kejam. Mereka jadi egois dan tak memiliki akal. Mereka menghancurkan apa yang mereka temui. Mereka bahkan membunuh sesamanya demi materi yang tidak seberapa. Hati mereka seakan telah tertutup oleh dengki dan kegelapan. Menyedihkannya, pihak istana yang tidak mengalami perubahan justru beranggapan kalau semua itu ulah penyihir. Mereka berpikir bahwa penyihir ingin mengacaukan kota agar dapat menguasai kerajaan. Karenanya mereka memusuhi kami. Bila bertemu penyihir maka mereka menangkapnya, membunuh dan memasung penyihir itu. Tak hanya itu, belakangan mereka mulai memburu kami. Padahal kami tidak tahu apa kesalahan kami. Kami merasa tidak melakukan apapun hingga dapat merusak hubungan baik antara penyihir dan manusia murni. Sekarang Balse sudah benar-benar kacau. Bukan hanya tak mau menerima kehadiran penyihir, merekapun berusaha untuk memusnahkan kami.”
“Kenapa tidak gunakan sihir untuk membela diri? Lantas apa hubungan semua itu denganku?”
“Kami tidak bisa menggunakan sihir untuk itu. Ada beribu alasan yang tidak mungkin kau mengerti,” Alexandra menatap kosong ke langit-langit. “Beck, menurut ramalan penyihir tetua, akan datang manusia terpilih dari dimensi lain untuk menyelamatkan kami dan menyelesaikan semua ini.”
“Kau lah orangnya,” seru Norah yang masih menggandeng lengan Beck.
“Aku? Tapi aku bahkan tidak bisa sihir. Aku bisa apa?”
“Setiap manusia mempunyai kekuatannya sendiri. Kau pasti punya keistimewaan, Beck.”
“Kalian pasti salah orang. Aku hanya siswa SMA biasa. Hidup normal tanpa ada kelebihan.”
“Tidak mungkin salah, Beck,” ujar Thufry yang tiba-tiba muncul. “Hanya batu gerbang dimensi sepertiku dan manusia terpilih yang dapat menjelajah dimensi. Kau lah orangnya.”
“Tapi bagaimana aku menolong kalian? Aku tidak bisa apa-apa,” Beck bersikeras.
“Sekarang kita belum tahu apa yang bisa kau lakukan. Tapi aku yakin, nanti kita akan menemukan keistimewaan dalam dirimu,” jelas Alexandra.
Beck masih ragu. Semua terlalu aneh. Tiba-tiba saja Thufry muncul, kemudian dia berpindah ke Balse, dan sekarang dia harus menerima kenyataan bahwa nasib ketiga penyihir itu berada di tangannya. Terlalu menekan.
Drafisty sudah kehabisan kesabaran. Dihempaskannya buku yang tadi dia baca. Semua mata memandang ke arahnya.
“Kalian lihat sendiri kan? Dia sendiri meragukannya.”
Drafisty tampak sangat kesal. Harapan mereka hanyalah manusia terpilih. Tapi apa yang dia temui jauh dari harapannya.
“Kau memang tak layak jadi manusia terpilih. Kau manusia biasa. Kau tak layak!” Drafisty berseru nyaris berteriak. Wajahnya merah padam. Dia sungguh kesal. Beck terdiam mendengar semua itu.
“Sty, kata-katamu keterlaluan,” protes Norah.
“Kenapa masih mengharapkannya? Dia sendiri tak yakin bisa,” Drafisty bersikeras.
Alexandra tak bisa menemukan kata-kata untuk menenangkan Drafisty. Dia tahu Drafisty, bukanlah mudah untuk meyakinkannya.
“Waktu terus berjalan dan kita tidak melakukan apa-apa. Penantian kita selama ini bodoh, tak berarti, buang-buang waktu, tak ada hasilnya,” maki Drafisty kesal.
Drafisty menghambur ke luar. Alexandra menatap Thufry memberi isyarat agar Thufry menyusul Drafisty. Tanpa banyak komentar Thufry menurut.
***
Drafisty menenggelamkan wajahnya di bantal. Menjerit mengeluarkan semua kekesalannya. Menangis menyalurkan kecewanya. Sesekali dia teriak, padahal dia bukanlah cewek yang mudah mengalirkan air mata.
Thufry memandangnya beberapa saat sambil melayan-layang di atasnya. Menunggu Drafisty agak tenang agar dia bisa bicara.
“Sty,” tegur Thufry pelan ketika Drafisty mulai agak tenang.
Drafisty membalik badannya menatap Thufry yang masih melayang. Disekanya air matanya agar bisa melihat dengan jelas.
“Sty, apa sebegitu kecewanya dirimu?”
Drafisty tidak menjawab pertanyaan Thufry. Dia justru memalingkan wajahnya, menatap kosong ke luar jendela.
“Maaf kalau manusia terpilih yang ku bawa ternyata mengecewakanmu.”
“Bukan begitu, Thu,” jawab Drafisty lirih tanpa beralih menatap Thufry. “Aku tidak kecewa pada siapa pun,” Drafisty kemudian bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya. “Mungkin akulah yang sangat bahagia saat manusia terpilih ditemukan. Kau tahu khan, Thu? Semua keluarga dan orang-orang yang kusayangi telah dibunuh. Dan sekarang, aku tidak bisa hidup dengan damai. Satu-satunya harapanku hanyalah manusia terpilih,” Drafisty kembali menyaka air matanya yang mulai mengalir lagi, suaranya pun mulai terdengar serak dan tenggelam. “Tapi manusia terpilih itu justru pesimis. Harapanku habis sudah.”
Drafisty kembali menangis. Kali ini dia tidak menyeka air matanya. Dibiarkannya saja agar pandangannya kabur. Dia tidak ingin melihat apapun.
“Thufry merendahkan terbangnya hingga sejajar dengan wajah Drafisty.
“Sty, Beck itu manusia. Dia tidak punya kekuatan seperti kita,” Thufry mencoba menjelaskan. “Tapi percayalah, Sty! Beck itu manusia terpilih. Dia pasti punya keistimewaan untuk menyelesaikan masalah kita ini.”
Drafisty memalingkan pandangannya dari Thufry lagi. “Dia tidak yakin.”
“Kita lah yang harus meyakinkannya! Kita lah yang harus menyemangatinya!”
“Thu... aku ingin sendiri.”
Thufry mengerti keadaan Drafisty. Dia pun berbalik meninggalkannya.
Bersambung ke Bab 10, Bangkitnya Manusia Terpilih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar