Kamis, 09 Oktober 2008

Cerita Tambahan, Never Alone

Dalam rintik hujan itu kutengadahkan wajahku menantang langit. Terlalu banyak rasa yang berkecamuk dalam hati membuatku tak mampu lagi menerjemahkannya. Terlalu menyedihkan untuk rasa haru, terlalu menyakitkan untuk kecewa, terlalu jauh dari keinginan, terlalu membingungkan untuk dimengerti.

“Cepat kita pergi dari sini, Sty!”

Aku sama sekali tak menyahut seruan Thufry itu. Rasanya terlalu enggan untuk bergeming.

“Sty!” panggil Thufry lagi. “Jangan bodoh, kau harus menyelamatkan diri!”

Ku pejamkan mataku. Sekeras apapun berpikir aku tak menemukan alasan untuk menyelamatkan diri.

“Sty!” Kali ini Thufry berteriak tepat di depan wajahku. “Kenapa?”

Ku buka mataku perlahan. Sehembus nafas ku hela dengan berat.

“Aku tak pernah ingin selamat, Thu,” jelasku.

“Jangan bercanda!”

“Aku sama sekali tidak bercanda,” ujarku datar.

Thufry hanya diam seakan menuntut penjelasan lebih. Ku alihkan pandanganku pada apa yang tergeletak dihadapanku. Aku yakin Thufry mengerti.

“Jangan bodoh, Sty!”

“Tak ada gunanya aku hidup. Untuk apa hidup kalau harus sendiri dan kehilangan segalanya?”

“Mereka mengorbankan nyawanya demi keselamatanmu. Mereka melindungimu agar kau dapat terus hidup. Kau harus hidup demi apa yang telah mereka korbankan.”

“Kau tak mengerti, Thu. Sekarang aku sudah kehilangan segalanya. Tak akan ada keluarga yang akan mengucapkan selamat pagi padaku, Thu. Tak ada keluarga yang akan menanyakan keadaanku. Tak ada lagi keluarga yang bisa ku buat bangga. Tak ada lagi keluarga yang akan memarahiku. Tak ada lagi keluarga yang akan berbagi tawa dan air mata denganku. Tak ada lagi, Thu. Semua telah tak ada.”

Hidup dalam kesendirian bukanlah pilihanku. Aku masih terlalu haus akan susana keluarga yang hangat itu. Rasanya esok tidak akan pernah menjemput lagi saat ini. Seakan setengah mati. Bukankah lebih baik mati saja sekalian? Toh saat ini tidak ada bedanya dengan kematian.

Sebuah tamparan terasa keras menghantam wajahku. Rasanya perih. Seakan menusuk hingga dasar hati yang sekarang kelabu.

“Tapi masih ada aku kan? Setiap pagi aku akan mengucapkan selamat pagi padamu. Aku juga akan menanyakan keadaanmu. Aku akan merasa bangga untuk setiap keberhasilanmu. Aku akan memarahi setiap tindakanmu yang salah. Dan akupun akan berbagi tawa dan air mata denganmu. Itu janjiku padamu, Sty. Makanya, jangan bilang kalau kau tidak punya siapa-siapa lagi!”

Hujan yang berangsur deras itu bercampur dengan tetes air mata yang mengalir dari sudut mataku. Rasanya sungguh perih. Lebih perih dari tamparan tadi.

Aku seperti bocah yang meringkuk ketakutan ketika cahaya di sekelilingku padam. Dalam gelap itu setitik cahaya muncul membawa keberanian. Akankah aku menggapai keberanian itu dan berlari menuju cahaya terang yang bersinar tanpa rasa takut?

“Hidupmu kini bukan hanya milikmu, Sty. Hidupmu kini adalah perjuangan dari mereka yang mati. Mereka yang berkorban untuk keselamatanmu. Seandainya kau tak perduli akan dirimu, setidaknya kau dapat menghargai kepercayaan yang mereka berikan padamu. Teruslah hidup selama kau mampu, Sty! Meski hanya sedetik lebih lama, teruslah berusaha untuk hidup!”

“Aku bodoh ya, Thu?”

“Tidak jika kau menyadarinya.”

Meski masih ada sedikit sepi dalam gelapnya diriku aku mencoba untuk beranjak dari gelimangan tubuh tak bernyawa di hadapanku. Meski masih dalam keadaan setengah ku coba melangkah untuk bertahan. Dapatkah aku menjadi setegar yang mereka percayakan?

Keraguan seakan masih membayangi langkahku. Namun kini aku tetap melangkah mngikuti Thufry menuju sebuah kastil di witch forest. Sebuah kastil tua yang dilindungi oleh segel sihir. Satu-satunya tempat yang aman untuk penyihir sepertiku. Karena kastil itu tertutup oleh pepohonan rimbun yang menjulang tinggi seakan berlomba untuk menggapai langit.

Dalam kebisuan perjalanan itu aku menangkap sosok yang menangis seakan tak berniat untuk berhenti. Aku mengenalnya. Dia Norah. Teman sekolahku yang cantik dan manja. Tapi aku tak pernah bersapa dengannya. Dia bukan tipe yang bisa jadi temanku.

Aku mencoba acuh dan berlalu. Namun sesosok bayangan mengendap dari arah belakangnya. Manusiakah?

Kucoba memastikan. Bayangan itu kian dekat. Kecurigaanku kian besar. Apakah dia akan dibunuh? Apa aku harus diam saja? Aku memang tak menyukainya, tapi bukan berarti aku membencinya.

Dengan segenap kekuatan ku hempaskan sosok mengendap itu dengan sihirku. Setidaknya aku yakin bahwa seranganku tak akan meleset. Tapi, sosok itu menangkisnya.

“Apa yang kau lakukan? Apa kau berniat mengurangi jumlah kaum yang sudah sekarat ini?” tanya sosok itu jengkel.

Dia penyihir juga?

Perlahan sosok itu kian jelas. “Alexandra?” bisikku.

Norah seakan sadar akan keadaan di sekelilingnya. Dangan waktu singkat tangisnya itu berhenti.

“Ah! Ku pikir aku tinggal sendiri. Senang bisa menemukan kalian disaat seperti ini,” sorak Norah lega. Tak tampak lagi sedih yang tadi disalurkannya dalam tangisan.

“Kau tidak menemukan kami. Kamilah yang menemukanmu,” protesku ketus.

“Kau Alexandra kan?” tanya Thufry memastikan pada sosok yang tadi ku serang. “Maaf, tadi temanku nyaris melukaimu,” pinta Thufry karena aku sama sekali tak mengucapkan kata maaf itu.

“Tak masalah. Toh tadi Drafisty hanya mencoba untuk melindungi Norah kan?”

Drafist katanya? Dia mengenalku? Sungguh sulit untuk dipercaya. Ku pikir Alexandra yang jenius tak berminat untuk mengenal aku yang selalu bersikap kasar ini.

“Kalian mau ke kastil ya?” tanya Alexandra membuatku kembali pada ragaku dan meninggalkan ketidak percayaan itu.

“Ya. Hanya tinggal tempat itu kan?” jawabku datar. Ada sedikit perih ketika mengatakannya. Seakan mengingatkanku pada kenyataan kalau setelah ini aku harus bersembunyi.

“Boleh aku ikut bersama kalian?”

“Kenapa tidak. Senang rasanya kalau bisa bersama di saat seperti ini,” ujar Thufry menyetujui.

“Aku juga boleh ikut kan?” pinta Norah cepat.

“Tentu saja kau juga.”

Awalnya aku sedikit tidak setuju dengan keputusan Thufry itu. Aku tidak begitu mengenal Norah dan Alexandra. Aku bahkan baru pertama kalinya bicara dengan mereka. Tak pernah terlintas di benakku untuk melalui waktu yang panjang bersama mereka.

Namun singkatnya aku yang awalnya hanya bersama Thufry kini telah ditemani oleh dua orang penyihir sebayaku. Meski awalnya aku tak mengenalnya secara baik, yang bahkan aku sempat berpikir buruk tentang mereka, tapi kini keadaan dan komunikasi menyebabkan kami dapat saling mengerti dan saling mengisi satu sama lain.

Aku tak lagi sendiri. Aku memiliki mereka yang ternyata tak seburuk yang aku bayangkan. Mereka justru sangat baik dan pengertian. Seakan menemukan sosok keluarga kembali. Aku mengerti mengapa aku harus tetap hidup. Aku telah menemukan alasan itu. Karena aku tidak sendiri. Tidak pernah sendiri.

Never alone finish

Tidak ada komentar: