Beck tersentak bangun dari tidurnya. Nafasnya tidak teratur. Keringat bercucuran membasahi piama hijaunya. Padahal di luar hujan turun dengan deras, tapi entah mengapa keringat itu membanjir seakan ada mata air di kulitnya. Di luar sana sesekali petir menggelegar memecah keheningan. Diiringi oleh hembusan angin yang tak henti memainkan tirai jendela yang terbuka.
“Mimpi aneh lagi,” bisik Beck masih dengan nafasnya yang tak teratur.
Diliriknya jam meja yang berada di samping bantal. “Masih jam dua malam.”
“Tidur lagi ah!”
Baru saja Beck memejamkan mata, angin berhembus sangat kencang. Yang tadinya hanya memainkan tirai kini justru menghentakkan jendela tanpa kasih. Diselingi dengan menelusupnya udara dingin yang membuat perasaan tidak nyaman.
“Mengganggu saja,” sungut Beck sambil berjalan menuju jendela.
Beck baru saja hendak menutup jendela kamarnya itu, tapi tiba-tiba saja sebuah benda melesat dari luar. Terlalu cepat untuk dihindari. Karenanya dengan pasrah Beck menerima benda itu mengenai dahinya.
“Aduh! Sakit,” rintihnya sambil menggosok-gosok dahinya yang baru saja menjadi landasan benda asing tak berperasaan. “Apa sih itu?”
Beck mencari benda yang telah tega menyakiti dahinya itu. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Beck dengan sigap menutup jendela kamarnya. Cuaca di luar sana semakin tidak berperasaan saja. Udara juga sudah semakin dingin. Lagi pula dia tidak mau ada benda lain lagi yang datang dari luar dan menimpuknya.
Saat melangkahkan kakinya Beck merasa telah menendang sesuatu. Mana mungkin kamar seorang Beck Rison yang terkenal sangat rapi tanpa celah terdapat benda lain di lantainya kecuali karpet yang bersih bahkan mungkin tak berdebu.
“Apa lagi sih?”
Dipungutnya benda itu. Sebuah batu yang cantik.
“Mungkin ini yang sudah nimpuk gue tadi,” pikir Beck dalam hati. “Bentuk loe sih bagus, tapi kelakuan loe jelek banget. Gak tau apa loe kalo ditimpuk itu sakit. Loe gak bisa ngerasain sakit sih,” sungut Beck. Kelakuannya seperti orang gila saja. Apa guna sih ngomong sama batu?
Awalnya Beck berpikir untuk membuangnya. Tapi segera dibatalkannya niat itu. Entah kenapa batu itu seperti memelas. Beck jadi teringat pada kardus di perempatan jalan kompleks yang baru-baru ini dia lewati ketika ngabur dari rumah. Di kardus itu ada empat ekor anak anjing kampung, sepertinya dibuang oleh majikannya. Wajah mereka memelas minta dipungut. Tapi apa daya? Mami alergi anjing dan hewan-hewan lain yang berbulu seperti itu.
“Apa loe juga dibuang ya? Kasihan,” gumam Beck lagi. “Ya sudah lah, karena gue punya rasa prikemanusiaan yang tinggi dan gue juga gak tegaan, gue pungut loe deh, meskipun loe sudah dengan teganya nyakitin dahi gue, gue gak permasalahkan. Lagian mami gak alergi sama batu.”
Kalau diperhatikan batu itu memang cukup unik. Bentuknya bulat seperti kelereng, warnanya bening. Kalau diperhatikan lebih seksama lagi akan terlihat rongga didalamnya, sebuah ruang kosong yang sepertinya dapat mengeluarkan cahaya warna-warni bila disinari.
Dimasukkannya batu itu ke dalam laci mejanya dan secepat mungkin kembali tidur.
***
Surti, pembantu rumah tangga yang sudah mengabdi di keluarga Rison sejak putus SD. Yang ngotot gak mau dipanggil dengan ‘Surti’ karena terkesan kampungan, sehingga misuh-misuh mesti dipanggil ‘Titi”. Yang suka nyanyi meski mesti dapat lemparan sepatu dari pembantu sebelah, sekarang sedang sibuk membereskan sarapan pagi sambil mendendangkan lagu pandangan pertamanya Slank. Lagi asik-asiknya mendendang, tiba-tiba terdengar teriakan histeris campur kesal dari kamar tuan mudanya.
Spontan Titi berlari menuju kamar Beck dengan kecepatan penuhnya dan dengan hebohnya menggedor pintu kamar Beck sesampainya di sana.
“Mas Beck, ada apa? Apa ada tikus? Kecoak? Laba-laba? Atau sejenisnya?” tanya Titi sambil tak berhenti menggedor pintu.
Tiba-tiba pintu terbuka. Titi yang lagi asik-asiknya menggedor pintu jatuh mendaratkan hidung terlebih dahulu dengan suksesnya.
“Apa-apaan kamu?” bentak Beck galak.
“Aduh, mas Beck. Tadi tiba-tiba teriak, trus tiba-tiba buka pintu, nah sekarang tiba-tiba marah. Seharusnya saya yang nanya, ada apa dengan mas Beck?” ujar Titi sewot sembari berdiri.
Beck mendengus kesal. “Kenapa tidak ada yang bangunkan saya?”
“Lha? Biasanya kalau hari minggu seperti ini mas Beck pesan gak boleh dibangunkan. Jadi ya gak ada yang berani bangunkan,” Titi menjelaskan dengan sewot, bahkan lebih sewot dari yang tadi.
“Kok jadi kamu yang marahi saya?” Beck jadi kesal. “Sudah. Sana buat sarapan untuk saya!”
“Iya, mas,” ujar Titi patuh dan berbalik mau membuat sarapan.
Beck langsung menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya.
Sebenarnya Beck marah-marah karena dia harus ke rumah Debby pagi ini, tapi tak seorangpun yang membangunkannya sehingga dia jadi kesiangan.
Debby adalah teman sekolahnya yang bisa dibilang cukup aneh. Bagaimana tidak? Ada banyak cowok cakep nan keren bertaburan di SMA elit itu, tapi entah mengapa Debby selalu bersikap genit bin manja terhadap Beck. Terkadang hal itu membuat Beck cukup risih. Namun Debby seakan tak perduli. Nah! Hari ini Debby janji mau kasih lihat sesuatu yang menarik pada Beck. Awalnya sih Beck gak tertarik, tapi karena usaha keras Debby meyakinkan Beck, akhirnya Beck jadi penasaran juga.
Beck mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Mau mandi pagi biar segar.
***
“Mas Beck, ini sarapannya,” panggil Titi sambil mengetuk pintu kamar Beck. Tak ada jawaban. Titi kembali menarik nafas dalam, kemudian...
“Mas Beck... yuhuuu... mas Beck...” panggil Titi dengan aksen monyongnya yang dia bilang bisa mengalahkan keseksian bibir cewek keren pemeran utama di Tom Rider.
Akhirnya pintu terbuka.
“Makasih,” ujar Beck singkat sambil mengambil sarapan dari Titi. Tapi Titi masih saja berdiri di depan pintu membuat Beck jengkel.
“Ada apa lagi, Ti?” tanya Beck kesal. “kenapa masih di sini?”
“Ya nungguin mas Beck makan,” jawab Titi polos.
“Kenapa gak sekalian nyuapin saya makan saja?” tawar Beck kesal. Bayangkan! Makan saja mesti diawasi.
Tapi Titi justru gak ngerti sama kata-kata Beck tadi.
“Mas Beck mau saya suapin? Sini biar saya suapin.”
“Apa-apaan sih kamu? Gak usah! Enek saya makan kalau lihat tampang kamu. Pergi sana!” usir Beck galak.
“Tapi benar ya, mas. Dimakan.”
“Iya. Sana pergi! Cerewet amat.”
Sesudah Titi pergi Beck meletakkan sarapannya ke atas meja, kemudian pergi keluar. Yah, meski sarapan itu tadi dia sendiri yang nyuruh bikin, tapi Beck sama sekali tak berniat untuk memakannya.
Beck berjalan dengan hati-hati. Ini hari minggu, hari keluarga, mami sama papi pasti gak ngizinin Beck keluar. Makanya harus menendap-endap seperti maling begini di rumah sendiri. Sesampainya di gerbang Beck langsung berlari dengan kecepatan penuh.
“Untung gak ada yang lihat,” ujar Beck dalam hati.
Sebuah taksi berhenti di hadapan Beck. Seperti di film-film action yang korbannya lagi dikejar-kejar sama penjahat, Beck dengan cepat masuk ke dalam taksi tersebut..
“Cempaka putih ya!”
“Baik,” ujar si supir taksi.
Di jalan Beck gak ngomong apa-apa. Si supir taksi kayaknya gak biasa ngobrol.
Sesampainya di rumah Debby, Beck langsung disambut oleh celotehan Debby yang tampaknya sudah dari tadi mondar-mandir di teras.
“Beck, lama banget sih datangnya? Loe tuh terlambat satu jam tau gak? Atau enam puluh menit, atau tiga ribu enam ratus detik, atau lagi satu per dua puluh empat hari...”
“Sorry deh, tadi macet,” Beck ngasih alasan asal.
“Macet? Tau gak, jalan ke rumah gue ini bebas dari yang namanya macet,” ujar Debby sewot.
“Berarti jalan di rumah gue yang macet,” timpal Beck asal lagi. “Sudah deh, mending to the point aja, apa yang mau loe kasih liat ke gue?”
“Jangan keburu-buru gitu, makan dulu yuk!” ajak Debby. Yang pasti dia mau nahan Beck lebih lama di rumahnya. Maklum, Debby lagi pdkt tanpa henti sama Beck.
“Gue sudah sarapan,” jawab Beck bohong.
“Gak pa-pa dong makan lagi, biar loe gemukan dikit,” goda Debby iseng.
Beck jadi keki juga ngeliat tingkah Debby. Gak tau apa kalau bukanlah sesuatu yang mudah untuk keluar rumah di hari minggu seperti ini. Eh, Debby nya malah gak jelas gini.
“Mau kasih liat gak sih sebenarnya? Kalo gak gue pulang nih,” ancam Beck.
“Eh, jangan dong!” cegah Debby sambil narik tangan Beck. “Jangan ngambek gitu dong!”
Beck tetap pasang muka bete se-bete-bete-nya.
“Ya udah, yuk masuk! Kita lihat sekarang,” ajak Debby akhirnya.
Mereka masuk ke ruang nonton yang cukup luas dengan nuansa pink. Girly banget lah. Home teather terpampang di tengah. Disebelahnya sebuah lemari penuh dengan CD-CD film tersusun rapi.
‘Duduk dulu!” seru Debby sembari meninggalkan Beck.
Gak lama Debby datang sambil membawa sesuatu di tangannya. Seperti kaset CD, kayaknya sih emang kaset CD.
“Apaan tuh?” tanya Beck heran. “Ngapain loe bawa-bawa kaset CD?”
“Ya ini yang mau gue kasih lihat.”
“Hanya sekedar kaset CD? Jadi ini yang loe bilang menarik?” tanya Beck kecewa. Dia pikir Debby mau kasih lihat batu luar angkasa atau penemuan hebat. Tapi ternyata hanya kaset film berdurasi dua jam. Seharusnya Beck sadar dengan apa yang Debby anggab menarik. Debby memiliki sel otak yang cukup berbeda untuk menterjemahkan arti menarik yang sebenarnya.
“Ini bukan film biasa, Beck. Ini kisah nyata yang difilmkan, legenda gitu.”
“Tetap aja ini hanya film.”
“Nonton aja dulu yuk!”
“Gak ah! Loe nonton aja sendiri. Gue mau pulang,” tolak Beck sembari berbalik untuk meninggalkan ruang pink itu.
“Beck!”
Beck tak mengacuhkan panggilan Debby itu. Dia terus saja melangkah menuju pintu. Tapi Debby bukan cewek berwatak manis seperti wajahnya. Ada beribu strategi licik yang telah disusunnya dengan menyelidiki kelemahan lawan. Haha, Debby kok terkesan seperti iblis yang tak mau melepaskan manusia tak berdosa untuk mencicipi surga.
“Beck, loe kok gak menghargai gue banget sih?” rengek Debby dengan pilihan nada yang tepat dan seratus persen pasti menusuk sampai relung hati paling dalam siapapun yang mendengarnya. Termasuk juga Beck. Mendengar rengekan itu Beck menghentikan langkahnya.
“Yes, berhasil,” seru Debby dalam hati. Tapi Beck seakan masih enggan untuk memenuhi ajakan Debby itu.
“Padahal gue sudah berusaha susah payah untuk ngebuat loe merasa senang,” lanjut Debby lagi. “Emang sih salah gue, mestinya gue cari tahu dulu apa sih yang loe suka dan yang loe gak suka,” tanpa mengalihkan perhatiannya dari Beck yang memunggunginya, Debby meneteskan obat tetes mata dengan cekatan. Seperti sudah profesional. “Kalau loe emang mau pulang ya pulang aja. Biar aja gue menyesali kesalahan gue ini sendirian.”
Beck pun berbalik. Meski dia tahu kalau itu adalah salah satu sifat Debby, tapi dia tetap saja gak tega mendengarnya.
“Ya udah, gue ikut nonton.”
“Hore...!!!!” teriak Debby menang.
Langsung saja diseretnya Beck ke sofa pink di depan TV. Debby mulai nyetel film side A. Takutnya kalau-kalau Beck berubah pikiran.
“Makasih ya Beck, loe mau ngerti.”
Beck cuak aja tak menanggapi celotehan Debby itu. Matanya terus saja fokus pada TV yang sedang memutarkan film yang direkomendasikan oleh Debby tadi. Dia takut kalau-kalau yang kata Debby menarik itu terlewatkan.
“Film ini menceritakan tentang kehidupan penyihir pada abad ke tujuh belas. Dimana saat itu penyihir ditangkap dan dipasung, kemudian dibunuh oleh manusia... bla... bla... bla...” cerita Debby panjang lebar. Tapi Beck sama sekali tidak mendengarkan celotehan Debby. Dia asik sendiri nonton. Tapi yang namanya Debby tuh emang mati rasa hatinya. Meski dicuekin tetap aja gak mau diam.
Ternyata untuk kali ini Debby benar. Filmnya memang sangat menarik. Beck jadi kepingin hidup di masa itu. Masa dimana ada penyihir, cenayang, monster bahkan hewan-hewan ajaib yang takkan pernah ada di dunia ini.
***
Sesampainya di rumah Beck masih kepikiran terus dengan film yang ditontonnya tadi. Beck masih mikirin film itu hingga akhirnya Titi yang norak muncul di monitor kamarnya.
“Yuhuuu... mas Beck. Waktunya makan malam,” Titi memberi informasi.
“Iya, bentar lagi saya turun,” jawab Beck singkat.
Beck membuka pintu kamarnya dan turun ke ruang makan. Di sana Mr dan Mrs Rison sudah menunggu. Beck pun duduk di kursinya tanpa suara.
“Ke mana kamu tadi? Dari pagi sampai sore ngilang gak jelas,” Mrs Rison langsung angkat bicara.
“Ke rumah teman, Mi,” jawab Beck sambil menunduk.
“Mami benar-benar kecewa sama kamu, Beck. Tadi siang mami itu ada undangan makan siang. Mami mau kamu ikut, tapi gara-gara kamu ngilang mami jadi tidak bisa datang ke acara itu,” Mrs Rison mulai sewot.
“Kenapa gara-gara Beck?” protes Beck. Dia langsung berdiri dari duduknya. “Kalau mami mau pergi, ya pergi saja! Jangan nunggu-nunggu Beck! Beck gak pernah bilang kalau Beck mau ikut.”
Mrs Rison jadi kaget melihat kelakuan Beck.
“Jangan seperti itu dengan mami, Beck!” Tegur Mr Rison tenang.
“Kamu ini, cobalah mengerti mami!” pinta Mrs Rison akhirnya.
“Mami selalu ingin Beck ngertiin mami, tapi mami gak pernah mau ngertiin Beck. Beck juga kecewa sama mami.”
Beck langsung beranjak meninggalkan meja makan. Gara-gara peristiwa tadi nafsu makannya hilang entah kemana.
“Mami keterlaluan, bisanya hanya ngomel. Mami sendiri sering pergi ke luar negri, sering gak bisa hadir dalam rapat-rapat sekolah Beck, tapi Beck gak pernah marah.”
Di kamar Beck terus termenung, apakah benar yang telah dilakukannya ini? Dia marah-marah sama mami pada saat jam makan malam bersama yang jarang-jarang ada. Dasar malin kundang.
“Mungkin gue harus minta maaf sama mami. Tapi besok aja lah. Malam ini gue mau menenangkan diri dulu. Kalau gak bisa-bisa masalahnya bukan jadi tuntas malah jadi tambah parah.”
Entah mengapa sekarang Beck jadi mudah marah, mungkin karena dia jenuh pada kehidupannya yang terlalu monoton. Rasanya ingin deh pergi ke tempat yang menyenangkan, penuh petualangan tapi nyaman, tenang, tanpa ada yang ngelarang ini-itu, tanpa ada yang nyuruh begini-begitu. Tapi tempat seperti itu ada di mana? Mungkin hanya ada dalam mimpi yang sering dikunjunginya meski hanya sebentar.
Beck mulai bete. Dia pergi ke meja, dibukanya laci mejanya itu. Niatnya sih mau ambil hape, tapi matanya menangkap sesuatu.
“Batu ini yang semalam ya?”
Itu batu yang ditemukannya kemarin malam, batu yang unik. Beck mengangkat batu itu tinggi-tinggi dan meneranginya dengan cahaya. Ternyata benar, rongga di dalamnya mengeluarkan cahaya warna-warni seperti pelangi.
Bagai terhipnotis Beck terus-menerus memandangi cahaya itu hingga akhirnya dia merasa kepalanya begitu berat dan pandangannya kacau. Kepalanya pusing, apa yang dipandangnya seakan berputar-putar.
“Ada apa ini? Apa mag gue kambuh?”
Pandangannya semakin kacau, sekarang dia justru melihat suatu keanehan. Wanita dengan pakaian yang tak mungkin ditemukan di butik maupun toko-toko baju bahkan di tempat obral sekalipun meminta pertolongan padanya.
“Tolong! Tolong kami! Tolong...!”
Beck sudah tidak sanggub lagi. Dia terjatuh dan tidak sadarkan diri. Batu itu terlepas dari tangannya dan menggelinding sebentar diatas meja. Perlahan cahayanya menghilang. Redup seakan terhisap ke dalam rongga.
Bersambung ke Bab 02, Sial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar