Sore itu langit sungguh hitam. Angin bertiup kencang seolah memperingati dunia bahwa akan turun badai.
Sementara itu, Beck seakan menikmati hempasan angin yang menerpanya. Dia berdiri menatap langit dengan hampa. Sedangkan Thufry lebih memilih untuk berlindung di balik tiang penyangga menara yang cukup tinggi.
“Thu, menurutmu apa keistimewaanku?” tanya Beck tanpa berpaling.
“Kenapa? Kau masih ragu pada takdirmu?” Thufry balik bertanya.
Beck menghela nafas sesaat kemudian membalikkan tubuhnya. “Bukan begitu, hanya saja...” pandangan Beck kembali menerawang. Bayangan kehidupannya dulu melintas silih berganti. Dengan seragam yang biasa dikenakan oleh anak-anak lain sebayanya. “Hanya saja selama ini aku hidup sebagai manusia biasa. Ini terlalu berat.”
“Kau mungkin masih ragu karena ini terlalu tiba-tiba,” jelas Thufry.
“Entahlah, Thu. Mungkin Drafisty benar. Aku tak layak menjadi manusia terpilih.”
“Jangan terlalu diambil hati. Drafisty memang berwatak keras, bicaranya juga tidak manis. Tapi dia baik,” hibur Thufry.
“Dia selalu mencoba tampak kuat seakan tidak memerlukan orang lain, tapi kenyataannya dia sangat lemah. Dia butuh perlindungan. Meskipun dia tak pernah menunjukkan air matanya dengan mudah, tapi dia menangis dalam setiap detik hidupnya. Tak ada yang dapat mengerti apa yang dia rasakan. Karena rasa sakit dan sepi itu telah dia terjemahkan menjadi sesuatu yang sulit untuk dimasuki oleh orang lain,” jelas Thufry panjang lebar.”Meski tampak kuat dan tegar, sesungguhnya dia sangat rapuh.”
Kembali angin kencang itu menghembus. Kini diiringi dengan curahan air langit. Setitik demi setitik akhirnya langit menumpahkan hujan. Kian lama angin pun bertiup lebih kencang lagi menggoyangkan ujung-ujung dedaunan. Sesekali kilat menampakkan cahayanya dari sela-sela puncak pohon yang rindang itu.
“Beck, hujan,” ujar Thufry. “Ayo masuk! Sebelum kau lebih basah lagi.”
Beck tidak menjawab, tapi diturutinya kata-kata Thufry. Diapun melangkahkan kakinya menuju menara. Tapi....
“BECK!!!”
Beck tak cukup cepat untuk menghindari petir yang menyambarnya. Seperti bom nuklir di hirosima. Di sekeliling Beck seolah tertutup oleh kubah udara. Meledak dan menghempaskan semua yang ada di dekatnya. Thufry mencoba bertahan dengan cara mengepakkan sayapnya sekuat mungkin. Meski itu sia-sia dan membuatnya tetap terhempas membentur dinding.
Saat ledakan itu mulai reda Thufry dapat melihat Beck. Berdiri seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
“Beck?” lirih Thufry. Didekatinya Beck. Diperhatikannya dengan seksama. Masih utuh tanpa segores luka pun. “Beck, kau baik-baik saja?” tanya Thufry sekedar untuk meyakinkan dirinya bahwa Beck masih hidup.
Tapi Beck tidak menjawab. Dia justru beralik. Thufry sempat mendengar gumaman aneh dari mulut Beck.
“Aku harus ke istana.”
Kemudian Beck melompat turun dari menara itu.
Thufry hanya terdiam. “Ini cukup tinggi, Beck,” bisiknya. Seketika dia menyadari apa yang telah dia saksikan. “Manusia terpilih?”
Secepat mungkin Thufry masuk, tanpa sempat menyadari apa saja yang dilintasinya. Sekarang harus menemui semuanya.
“Thufry?” seru Norah sambil mengangkat Thufry yang terjatuh karena menabraknya. “Kenapa buru-buru?”
“Beck. Ah! Bukan. Tapi manusia terpilih. Dia bangkit.”
“Aku tidak mengerti, Thu. Coba bicarakan pada X2 saja ya!”
“Ugh! Dasar payah,” Thufry langsung terbang mencari Alexandra dan Drafisty. Norah pun mengekor di belakangnya.
“Um... Thu. Bukankah Beck dan manusia terpilih itu satu?” gumam Norah.
Thufry sama sekali tidak menjawab. Setelah menyusuri beberapa ruangan akhirnya Thufry berhasil menemukan Alexandra dan Drafisty.
“Ada apa?” tanya Alexandra bingung ketika melihat pemandangan aneh itu. Thufry dengan Norah yang mengekorinya.
“Manusia terpilih, Al,” ujar Thufry menggebu-gebu. “Dia bangkit.”
“Maksudmu?” tanya Drafisty yang tiba-tiba tertarik. “Bagaimana ceritanya?”
“Entah lah. Tadi tiba-tiba saja petir menyambar Beck. Lalu sebuah ledakan dan Beck seolah menjadi orang lain.”
“Tunggu! Ledakan?” potong Norah bingung. “Aku sama sekali tidak merasakan ada ledakan tadi.”
“Kurasa kami juga tidak merasakannya,” ujar Alexandra disusul anggukan Drafisty. “Mungkin kau mengigau, Thu.”
“Aku tidak mengigau. Itu terjadi.”
“Lantas di mana Beck sekarang?”
“Dia...” Thufry mencoba mengingat-ingat apa yang didengarnya tadi. “Ah! Istana!”
“Istana?” mereka bertiga nyaris berteriak serentak.
“Ya. Tadi Beck sempat bilang, dia harus ke istana. Lalu dia langsung pergi.”
Drafisty langsung bangkit dan menghambur keluar mencoba mengejar Beck. Alexandra, Norah dan Thufry pun langsung mengikutinya.
“Manusia terpilih. Dia bangkit. Sekarang harapan itu mulai bertiup pada kami,” batin Drafisty. Ya! Saat-saat seperti inilah yang sudah cukup lama dia tunggu. “Kebangkitan manusia terpilih yang akan menyelesaikan masalah ini.”
Bersambung ke Bab 11, Ternyata Sebaliknya
Sementara itu, Beck seakan menikmati hempasan angin yang menerpanya. Dia berdiri menatap langit dengan hampa. Sedangkan Thufry lebih memilih untuk berlindung di balik tiang penyangga menara yang cukup tinggi.
“Thu, menurutmu apa keistimewaanku?” tanya Beck tanpa berpaling.
“Kenapa? Kau masih ragu pada takdirmu?” Thufry balik bertanya.
Beck menghela nafas sesaat kemudian membalikkan tubuhnya. “Bukan begitu, hanya saja...” pandangan Beck kembali menerawang. Bayangan kehidupannya dulu melintas silih berganti. Dengan seragam yang biasa dikenakan oleh anak-anak lain sebayanya. “Hanya saja selama ini aku hidup sebagai manusia biasa. Ini terlalu berat.”
“Kau mungkin masih ragu karena ini terlalu tiba-tiba,” jelas Thufry.
“Entahlah, Thu. Mungkin Drafisty benar. Aku tak layak menjadi manusia terpilih.”
“Jangan terlalu diambil hati. Drafisty memang berwatak keras, bicaranya juga tidak manis. Tapi dia baik,” hibur Thufry.
“Dia selalu mencoba tampak kuat seakan tidak memerlukan orang lain, tapi kenyataannya dia sangat lemah. Dia butuh perlindungan. Meskipun dia tak pernah menunjukkan air matanya dengan mudah, tapi dia menangis dalam setiap detik hidupnya. Tak ada yang dapat mengerti apa yang dia rasakan. Karena rasa sakit dan sepi itu telah dia terjemahkan menjadi sesuatu yang sulit untuk dimasuki oleh orang lain,” jelas Thufry panjang lebar.”Meski tampak kuat dan tegar, sesungguhnya dia sangat rapuh.”
Kembali angin kencang itu menghembus. Kini diiringi dengan curahan air langit. Setitik demi setitik akhirnya langit menumpahkan hujan. Kian lama angin pun bertiup lebih kencang lagi menggoyangkan ujung-ujung dedaunan. Sesekali kilat menampakkan cahayanya dari sela-sela puncak pohon yang rindang itu.
“Beck, hujan,” ujar Thufry. “Ayo masuk! Sebelum kau lebih basah lagi.”
Beck tidak menjawab, tapi diturutinya kata-kata Thufry. Diapun melangkahkan kakinya menuju menara. Tapi....
“BECK!!!”
Beck tak cukup cepat untuk menghindari petir yang menyambarnya. Seperti bom nuklir di hirosima. Di sekeliling Beck seolah tertutup oleh kubah udara. Meledak dan menghempaskan semua yang ada di dekatnya. Thufry mencoba bertahan dengan cara mengepakkan sayapnya sekuat mungkin. Meski itu sia-sia dan membuatnya tetap terhempas membentur dinding.
Saat ledakan itu mulai reda Thufry dapat melihat Beck. Berdiri seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
“Beck?” lirih Thufry. Didekatinya Beck. Diperhatikannya dengan seksama. Masih utuh tanpa segores luka pun. “Beck, kau baik-baik saja?” tanya Thufry sekedar untuk meyakinkan dirinya bahwa Beck masih hidup.
Tapi Beck tidak menjawab. Dia justru beralik. Thufry sempat mendengar gumaman aneh dari mulut Beck.
“Aku harus ke istana.”
Kemudian Beck melompat turun dari menara itu.
Thufry hanya terdiam. “Ini cukup tinggi, Beck,” bisiknya. Seketika dia menyadari apa yang telah dia saksikan. “Manusia terpilih?”
Secepat mungkin Thufry masuk, tanpa sempat menyadari apa saja yang dilintasinya. Sekarang harus menemui semuanya.
“Thufry?” seru Norah sambil mengangkat Thufry yang terjatuh karena menabraknya. “Kenapa buru-buru?”
“Beck. Ah! Bukan. Tapi manusia terpilih. Dia bangkit.”
“Aku tidak mengerti, Thu. Coba bicarakan pada X2 saja ya!”
“Ugh! Dasar payah,” Thufry langsung terbang mencari Alexandra dan Drafisty. Norah pun mengekor di belakangnya.
“Um... Thu. Bukankah Beck dan manusia terpilih itu satu?” gumam Norah.
Thufry sama sekali tidak menjawab. Setelah menyusuri beberapa ruangan akhirnya Thufry berhasil menemukan Alexandra dan Drafisty.
“Ada apa?” tanya Alexandra bingung ketika melihat pemandangan aneh itu. Thufry dengan Norah yang mengekorinya.
“Manusia terpilih, Al,” ujar Thufry menggebu-gebu. “Dia bangkit.”
“Maksudmu?” tanya Drafisty yang tiba-tiba tertarik. “Bagaimana ceritanya?”
“Entah lah. Tadi tiba-tiba saja petir menyambar Beck. Lalu sebuah ledakan dan Beck seolah menjadi orang lain.”
“Tunggu! Ledakan?” potong Norah bingung. “Aku sama sekali tidak merasakan ada ledakan tadi.”
“Kurasa kami juga tidak merasakannya,” ujar Alexandra disusul anggukan Drafisty. “Mungkin kau mengigau, Thu.”
“Aku tidak mengigau. Itu terjadi.”
“Lantas di mana Beck sekarang?”
“Dia...” Thufry mencoba mengingat-ingat apa yang didengarnya tadi. “Ah! Istana!”
“Istana?” mereka bertiga nyaris berteriak serentak.
“Ya. Tadi Beck sempat bilang, dia harus ke istana. Lalu dia langsung pergi.”
Drafisty langsung bangkit dan menghambur keluar mencoba mengejar Beck. Alexandra, Norah dan Thufry pun langsung mengikutinya.
“Manusia terpilih. Dia bangkit. Sekarang harapan itu mulai bertiup pada kami,” batin Drafisty. Ya! Saat-saat seperti inilah yang sudah cukup lama dia tunggu. “Kebangkitan manusia terpilih yang akan menyelesaikan masalah ini.”
Bersambung ke Bab 11, Ternyata Sebaliknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar