Kamis, 09 Oktober 2008

Bab 12, Kenyataan yang Tersimpan

“Ratu, tolong jelaskan semua ini!” pinta Alexandra ketika mereka duduk dan berkumpul di sebuah ruangan di dalam istana yang tampak tidak begitu hancur.

Ratu Loja hanya diam. Pandangannya menerawang entah kemana.

“Ibu, jelaskanlah!” pinta Memon karena ratu hanya diam.

Ratupun menghela nafas. “Kau bukan anakku Alexandra.”

“Tapi ibu...”

“Kau pun juga bukan anakku, Me.”

Pernyataan ratu tadi tak hanya membuat Memon terbelalak, tapi mereka semua tak mengerti akan apa yang telah ratu katakan.

“Kalian berdua memang kembar. Alice, ibu kalian. Dia meninggal beberapa menit setelah melahirkan kalian.”

Satu lagi kenyataan yang membuat semua tercengang meluncur dari mulut ratu.

“Ibu, lelucon seperti apa lagi ini?” tanya Memon masih tidak percaya.

Sekali lagi ratu menghela nafas. Terasa amat berat.

“Ini kenyataan, Me. Bukan lelucon,” jelas ratu pelan.

“Bagaimana mungkin? Mengapa selama ini tidak ada yang beritahu aku?”

“Belum saatnya, Me.”

“Kapan? Harus sampai kapan?” jerit Memon kesal. “Apa harus menunggu saat seperti ini?”

Ratu Loja menunduk. Ada beribu perasaan berkecamuk di dalam kepalanya. Sedih. Itulah yang tercermin di wajahnya saat itu.

“Maaf, Me. Itulah janjiku pada Ayahmu, Raja Loja.”

Sekuat tenaga Memon menepis kursinya hingga terjatuh. Menimbulkan suara nyaring yang membuat semuanya terkejut.

“Ceritakan padaku!” bisik Memon lirih. “Ceritakan padaku semua yang kau ketahui sekarang!”

Tak terelakkan lagi. Memon sungguh kesal. Dia kecewa atas semua yang tidak dia ketahui selama ini. Dibohongi oleh orang-orang yang dia sayangi. Dia seperti orang bodoh. Selama ini dia tidak benar-benar mengenal orang di sekitarnya. Bahkan orangtuanya.

Disaat seperti ini biasanya Alexandra akan menarik kursi dan mempersilahkan orang tersebut duduk. Kemdian menenangkannya dengan segelas air. Tapi sekarang Alexandra hanya diam. Sesungguhnya dia sendiri sangat marah. Dalam hatinya berteriak. Memaki kedua orangtuanya yang telah tega membiarkan dirinya terbuang selama ini.

Sedangkan Drafisty, Norah dan Thufry tak berani berkata apa-apa. Mereka seperti penonton yang setia menunggu akhir cerita. Temperamen saat ini terlalu panas untuk mereka campuri. Bisa-bisa mereka justru kena semprot.

“Ini masalah keluarga, orang lain tidak boleh ikut campur,” batin mereka.

Ratu berdiri dari duduknya. Berjalan sembari menatap ke luar jendela.”Aku, Alice, Lotus dan Jack adalah teman baik,” Louis memulai ceritanya. “Tapi sesungguhnya sejak semula aku mencintai Lotus, ayah kalian,” Lois menggoreskan jarinya pada kaca jendela yang berembun. Seakan teringat pada kenangan yang hanya dia yang tahu. “Namun pada akhirnya Lotus memilih Alice. Mereka menikah,” suara Louis mulai terdengar parau. Meski dia membelakangi. Tapi mereka berlima menyadari air mata pada wajah Louis. “Aku patah hati saat itu. Ketika keadaanku kacau Jack muncul. Menemaniku, menghiburku. Hingga akhirnya perlahan aku bisa melupakan Lotus dan menggantikannya dengan Jack.”

Mereka tak bereaksi apa-apa. Mereka hanya diam mendengarkan Louis seolah mengerti untuk tidak menyela.

“Tapi Jack sangat terobsesi pada manusia terpilih. Tiba-tiba saja dia menghilang. Aku terus menunggunya tapi dia tak kunjung kembali.”

Louis menyeka air matanya.

“Saat itu aku kembali bertemu Lotus. Aku yang ditinggal Jack dan dia yang kehilangan Alice. Kami berdua merasakan kesedihan yang sama. Rasa sakit yang sama. Hal itu membuat kami saling mengerti dan merasa saling membutuhkan. Akhirnya aku dan Lotus menikah.”

“Dan Jack? Dia menganggupmu menghianatinya?”

“Aku tak pernah tahu bahwa Jack telah kembali hingga Lotus menyadari bahwa dia memiliki seorang putri lagi. Dan dia berada pada Jack.”

Ratu kembali menarik nafas dalam sekedar untuk meringankan paru-parunya yang terasa amat sesak.

“Lotus menyadari keberadaan putrinya itu setelah melihat cicin yang Memon kenakan.”

“Cincin?” bisik Memon bingung. “Maksudmu cincin ini?” memon menunjuk satu-satunya cincin yang melingkar di jarinya. Cincin permata merah yang berkilau indah.

Louis membalik tubuhnya. “Ya, cincin itu.”

“Bagaimana mungkin? Apa kau pikir cincin itu dapat bicara dan bilang pada raja kalau dia memiliki seorang putri lagi?” celutuk Norah.

“Secara tidak langsung, Alice lah yang mengatakannya.”

“Kau sendiri yang bilang, dia meninggal beberapa menit setelah melahirkan. Jadi bagaimana bisa?”

“Lagi pula cincin ini aku terima dari peramal istana.”

Louis mencoba tersenyum. Tapi tetap saja kesedihan yang terukir di wajahnya.

“Tepat satu hari sebelum melahirkan kalian, Alice menitipkan cincin itu pada peramal istana. Dia minta agar cincin itu diberikan pada putrinya bila telah berusia lima belas tahun.”

“Lantas apa anehnya cincin ini?”

“Itu adalah cincin yang dikenakan oleh Lotus dan Alice. Cincin yang akan membendung dan membantu mengendalikan kekuatan segel dan kunci pada diri mereka.”

“Tapi hanya ada satu cincin.”

“Kelihatannya. Tapi sesungguhnya ada dua cincin yang kau kenakan,” jelas Louis pada Memon.

Memon memandang cincin pada jarinya. Seakan tersadar oleh satu hal Memon melepas cincin itu hingga akhirnya terlepas menjadi dua buah cincin.

“Ini...”

“Ya. Alice menyadari bahwa dia mengandung dua orang putri. Dia menyadari bahwa telah ada segel dan kunci baru pada rahimnya. Tapi dia tidak punya cukup waktu untuk mengatakannya pada Lotus.”

“Saat kalian berdua lahir. Ada tanda kunci dan segel pada bahu kiri kalian. Karena itu putri yang terlahir sebagai kunci di buang tanpa Lotus ketahui.”

“Sebaliknya Alice ingin kalian tetap bersama. Karena itu dia melepas cincin yang membuat dia dan Lotus dapat terus bersama dan memberikannya pada kalian berdua.”

“Alice sang kunci?”

“Ya. Karena cincin itulah dia dan Lotus dapat bersama. Tapi semua berakhir saat cincin itu dilepas.”

Louis kembali duduk di kursinya.

“Kau pasti sering di rasuki kan, Me?” ujar Louis yakin.

Memon menatap bingung pada Louis. “Bagaimana kau tahu?”

“Itu Alice. Dia ingin tahu apakah Lotus berhasil mengambil Alexandra kembali. Dia ingin pastikan kalian dapat hidup bersama. Menjadi keluarga sebagaimana mestinya.”

“Mereka tidak pernah membuangmu, Al. Mereka meyayangimu lebih dari siapapun. Mereka ingin kalian bahagia,” jelas Louis pada Alexandra.

Alexandra tak bersuara sedikitpun sejak Louis bercerita. Dia terus diam. Dia bahkan tak tahu apa yang dia rasakan setelah mengetahui semua kenyataan ini. Haruskah dia merasa bahagia karena tahu bahwa dia tak pernah dibuang ataupun tak diinginkan? Atau haruskah dia merasa sedih karena kenyataannya dia benar-benar telah membunuh ayahnya? Dia bahkan tak sempat merasakan hidup di tengah keluarganya yang sebenarnya.

“Jadi benar?” lirih Alexandra akhirnya. “Jadi benar kalau akulah yang telah membunuh raja?” sebutir air mata menetes dan mengalir di pipinya. “Aku membunuh ayahku. Anak seperti apa aku ini?”

“Itu takdir, Al.”

Semua mata tertuju pada sumber suara yang entah sejak kapan berdiri di pintu ruangan itu.

“Takdir? Apa maksudmu, Charlie?” tanya Drafisty tidak mengerti. “Itu terlalu...”

“Terlalu kejam.” Potong Charlie sebelum Drafisty menyelesaikan perkataannya. “Itulah takdir mereka yang mewarisi simbol kunci dan segel.”

“Kau tahu sesuatu,” buru Alexandra pada Charlie. “Kau tahu sesuatu kan?”

“Tidak,” jawab Charlie tenang. Ditariknya sebuah kursi dan duduk bergabung dengan mereka. Semua mata tertuju padanya saat itu.

“Aku tahu segalanya,” jelas Charlie. “Aku keturunan cenayang biru. Penggores kisah awal semua ini.”

Charlie menyandarkan tubuhnya pada kursi. Tanpa diminta Charliepun menceritakan semuanya. Seakan tahu pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di dalam kepala mereka semua yang ada di ruangan itu.

“Berabad-abad yang lalu, dunia ini dihuni oleh berbagai makhluk. Mulai dari manusia, penyihir, cenayang dan rixions.”

“Rixions?” Norah merasa asing dengan kata-kata itu.

“Ya. Rixions. Sebuah makhluk yang dibenci oleh semua makhluk lainnya. Dia sangat sombong, rakus dan seenaknya. Tak ada hal baik padanya. Dia tidak memiliki bentuk. Hanya seperti bayangan hitam yang bervolume.”

“Entah bagaimana, cenayang biru pendahuluku merasa sangat kasihan pada rixions yang selalu sendiri itu. Secara perlahan akhirnya dia bersahabat dengan rixions. Dan lama-kelamaan para cenayang biru dapat menerimanya.”

“Menerima makhluk dengan sifat buruk seperti itu?”

Charlie mengangguk. “Kemudian rixions menanyakan apakah ada mansia yang dapat menerimanya seperti para cenayang biru menerimanya saat itu. Para pendahulukupun mencoba mencari tahu. Setelah mencari hingga keluar dimensi akhirnya mereka menemukan manusia itu. Dia memiliki sifat yang mendekati sifat para cenayang biru. Dan untuk menandainya para cenayang biru menyalurkan energi pada hatinya hingga dapat menarik batu gerbang dimensi. Energi itu akan terus diturunkan pada manusia yang memiliki sifat sepertinya. Dan itu hanya terjadi setiap seratus tahun.”

“Tapi pada akhirnya para cenayang biru menyadari bahwa rixions hanya memperalat mereka untuk mendapatkan tubuh. Kekuatan rixions akan sempurna bila dia memiliki tubuh. Karena itu dia memanfaatkan sifat ecnayang biru yang berhati polos.”

“Akhirnya mereka menebar dua simbol. Segel dan kunci untuk mengurung rixions dan kekuatannya. Simbol kunci ditanamkan pada penyihir dan segel pada manusia. Merekalah yang akan menahan rixions agar terkurung di perbatasan dimensi.”

“Tapi rixions sangat kuat. Meski telah terkurung dia masih bisa mengutuk para cenayang biru. Bahwa jiwa cenayang biru akan terlelap hingga mereka tidak menyadari darah cenayang mereka. Dan bila mereka membunuh manusia darah mereka akan berubah menjadi biru. Darah itu akan terus membiru dan menambah kekuatan rixions.”

“Lantas mengapa aku ditakdirkan untuk membunuh raja?”

“Karena tidak boleh ada dua kunci maupun segel di dunia ini,” jawab Charlie. “Sang kunci harus membunuh segel terdahulu untuk melindungi kekuatan segel yang baru. Begitu pula sebaliknya. Seharusnya hal itu tidak akan merusak segel hingga menyebabkan sixions dapat melepaskan kekuatannya. Namun segel terdahulu terbunuh saat segel baru mengenakan cincin permata merah. Hal itu membuat kekuatan segel terambang dan terbuka.”

“Tapi, Charlie. Bila memang begitu mengapa saat pertama kami bertemu Beck dia sama sekali tidak jahat? Bahkan dia tidak memiliki kekuatan apa-apa,” tanya Norah.

“Rixions tidak dapat merasuki manusia yang tidak menginginkan atau memanggilnya. Seharusnya Beck tidak akan terasuki karena dia tidak pernah tahu menahu akan rixions. Pasti ada sesuatu hal yang membuatnya memangil kekuatan itu.”

“Itu salahku,” bisik Drafisty. “Seandainya aku tidak memaksakannya, tidak terus-menerus mendesaknya. Dia pasti tidak akan...”

“Bukan salahmu, Sty,” hibur Norah. Tapi Drafisty sudah terlanjur merasa bersalah. Dia bangkit dan meninggalkan ruangan itu. Norah mencoba menyusulnya tapi Alexandra dengan sigap menarik tangan Norah.

“Biarkan dia menenangkan diri dengan caranya sendiri!”

Norahpun mengurungkan niatnya semula dan kembali duduk di kursinya.

“Jadi apa yang harus aku dan Memon lakukan untuk menyelesaikan semua ini?”

“Pakai cincin itu sesuai dengan simbol yang kalian miliki!”

“Kemudian?”

“Segel kembali kekuatan rixons. Karena tadi aku hanya menyadarkan jiwa Beck yang terlelap. Yang dapat menyegel rixions hanyalah sang simbol dan segel,” jelas Charlie. “Kemudian kembalikan Beck pada dimensinya! Mengenai ingatannya, dia tidak akan pernah tahu bahwa dia pernah nyaris menghancurkan dunia.”

“Kau masuk dan menghapus ingatannya sesukamu?” pekik Norah tak percaya. “Itu terlalu jahat. Beck bukan boneka yang dapat kau perlakukan sesukamu.”

“Itu lebih baik daripada dia tahu. Kau bisa bayangkan seberapa terpukulnya dia nanti,” Charlie membela perbuatannya. “Dia terlalu baik untuk mengetahui apa yang telah dia lakukan.”

Bersambung ke Bab 13, Pulang

Tidak ada komentar: