Pagi yang cerah telah datang. Matahari masih terbit dari peraduannya. Kokok ayam jantan dari jam mejapun terdengar lantang. Perlahan Beck membuka matanya.
“Ng... sudah siang ya?” (karena belum nyerahin surat panggilan ke mami dan papinya Beck belum bisa sekolah hari ini)
“Terang banget sih? Siapa yang buka tirai?” tanya Beck meskipun tidak mengharapkan jawaban.
Tapi di luar dugaan. Jawaban datang. Dan itu justru membuatnya kaget.
“Aku yang buka.”
Dalam sekejap bulu roma Beck berdiri semua.
“Siapa ya?” tanya Beck takut dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Ini aku,” jawab suara tadi.
“A-aku.. si-sia.. pa, ya?” tanya Beck tergagap.
“Aku ya aku,” jawab suara tadi lagi.
Beck jadi bingung. Apa maksudnya? Apa ada yang mencoba memperoloknya?
Sekarang rasa takut Beck telah berubah jadi jengkel.”Seseorang mencoba mempermainkan gue. Tak akan ku ampuni dia,” pikir Beck.
“Heh! Jangan coba takut-takutin gue ya! Loe pikir gue bisa ditakut-takutin dengan cara kuno dari zaman batu kayak gini apa?”
Baru saja rasa takutnya hilang. Tapi tiba-tiba muncul kembali saat dia melihat benda bersinar yang memantul-mantul di atas karpet kamarnya.
Beck mundur sembari berlari ke atas tempat tidurnya dan menyembunyikan dirinya dalam selimut tebal. Sesekali dia mencoba mengintip.
Benda bersinar itu semakin dekat dan semakin jelas. Ternyata benda itu...
“Loe?” jerit Beck tak percaya. “Loe batu itu? Gue udah ngebuang loe semalam.”
“Aku pulang. Aku pulang!” seru batu itu sambil terus memantul-mantul di atas karpet.
“Batu itu bicara? Batu bisa bicara? Oh tidak! Ini hanya mimpi kan? Kenapa mimpiku selalu aneh? Seseorang tolong bangunin gue dong...!!!!!”
Beck pun pingsan dengan suksesnya.
***
Di tempat lain. Tepatnya kamar seorang cewek bernama Debby. Tampaklah raut wajah yang sedang bermurung durja.
“Hua..!! Beck jahat!” teriaknya kesal.
Berisik memang. Tapi untunglah kamarnya dilengkapi peredam suara. Kalau tidak berisiknya pasti sudah nyampe ke tetangga.
Pendek kata Debby bolos sekolah karena kemarin dia dibentak oleh Beck. Dia pikir kalau dia gak sekolah Beck bakalan cemas dan datang atau minimal nelpon dia.
“Dia pasti minta maaf sama gue,” ujar Debby penuh keyakinan.
Sayangnya itu tidak mungkin terjadi sekarang. Karena Beck sendiri sedang sibuk dengan keanehan yang mengunjunginya.
“Tapi kok sudah jam segini belum ada telpon dari Beck juga sih? Padahal seharusnya sudah jam istirahat.
“Ah! Jangan mikir yang enggak-enggak. Mungkin aja Beck pingin datang ke sini. Pingin ngelihat keadaan gue secara langsung,” pikir Debby mencoba menghibur dirinya sendiri..
“Tapi mungkin aja ada cewek lain yang ngedekatin Beck selagi gue gak sekolah. Terus Beck lupa sama gue,” Debby pun mulai mengira-ngira lagi. “Gak! Gak boleh!!!” jerit Debby.
***
“Beck! Beck! Bangun!”
“Siapa sih? Masih ngantuk nih,” Beck memutar posisi tidurnya sambil menarik selimut.
“Suadah siang, Beck. Kita harus pergi!!”
Beck membuka matanya pelan.
“Tadi aku mimpi buruk,” ujar Beck tanpa ditanya.
“O.. Mimpi buruk.”
“Ya, tapi...” Beck terdiam
“Gue ngomong sama siapa?” batinnya.
“Tapi apa?” desak suara itu.
“Jangan-jangan yang tadi itu bukan mimpi,” tebaknya dalam hati.
Matanya menyusuri karpet kamar. Mencari apakah ada batu yang memantul itu. Tapi seperti biasa, karpet itu bersih tanpa ada noda.
“Kau cari apa?” tanya suara itu.
Beck mengangkat wajahnya.
“Huaaaa!!!!” jerit Beck. Ternyata tadi itu bukan mimpi. Sekarang batu itu punya dua sayap dan terbang tepat di depan matanya.
“Hei! Jangan pingsan lagi ya!” batu itu berseru. “Dan jangan teriaki aku. Dasar manusia tidak sopan.”
“Loe yang gak sopan. Masuk kamar gue sembarangan,” sungut Beck. “Lagian siapa yang gak kaget kalau melihat benda asing seperti loe hidup dan selalu berubah-ubah.”
“Siapa yang kau bilang benda asing? Aku Thufry si gerbang dimensi. lebih tepatnya lagi batu gerbang dimensi,” Thufry memperkenalkan dirinya.
“Thufry? Nama yang aneh.”
“Kau sendiri? Memangnya namamu tidak aneh? Beck Rison?”
“Terserah loe aja deh,” balas Beck. “Apa tujuan loe?”
“Jelas menjemputmu lah.”
“Ngejemput gue? Buat apa?” tanya Beck tak mengerti.
“Buat kami makan. Negriku kehabisan bahan makanan. Jadi...”
Tubuh Beck langsung kaku. “Dimakan?” tanyanya gemetar.
“hahaha...” Thufry melepas tawanya sambil terbang ke sana ke mari.“ Tenang saja. Aku bohong.”
“Untung saja,” ujar Beck dalam hati.
“Makasih sudah ngebuat gue kaget,” ujar Beck kesal.
“Kau takut, bukan kaget,” ejek Thufry.
Wajah Beck berubah merah.
“Boleh gue nanya lagi?”
Thufry berhenti terbang ke sana ke mari. “Ya.”
“Loe mau bawa gue kemana?”
“Ke tempatku,” jawab Thufry singkat lalu terbang kembali.
“Benar-benar makhluk yang menyebalkan,” batin Beck.
“Satu lagi. Loe ini makhluk apa sih? Dan kenapa dari tadi loe terbang ke man-mana?”
“Sudah jelas aku ini batu. Apa kau meragukannya?”
“Sejujurnya iya,” jawab Beck cepat, tegas, yakin dan tanpa berpikir lagi.
“Menyebalkan,” sungut Thufry. “Aku sedang mencari posisi jalan menuju tempatku.”
“Loe kan gerbang. Masa gak tau jalannya sih?”
“Aku kan masih pemula,” jawab Thufry ketus.
Tiba-tiba Thufry berhenti mengepakkan sayapnya.
“Loe sudah nemuin jalannya?”
“Aku... aku... aku...” Thufry seakan ragu. “Aku lapar,” akunya dengan sedikit malu-malu.
“Nyusahin banget sih!” gerutu Beck kesal. “Ya sudah. Loe makannya apa?”
“Kalau di tempatku, aku dikasih makan kapsul energi.”
“Kapsul energi? Gue gak punya. Bahkan gak pernah dengar. Ada juga suplemen,” jawab Beck. “Tapi gue punya makanan lain yang mungkin bisa loe makan. Ikut gue ke dapur!”
Beck pun mengajak Thufry ke dapur.
“Nah! Loe pilih deh mau makan yang mana!” seru Beck sambil membuka kulkas dapur yang penuh dengan makanan dan minuman kaleng.
Thufry terbang kemudian memeriksa makanan kaleng itu satu persatu. Dia mengetukkan sayapnya pada makanan itu. Tingkahnya itu lucu sekali.
“Keras begini memang bisa dimakan?” tanya Thufry kesal. “Jangan mempermainkan aku ya!” ancamnya.
“Loe ini batu dari zaman mana sih? Kalengnya dibuka dulu dong!” Beck memberitahukan.
“Kenapa tidak bilang dari tadi?” sungut Thufry. “Aku mau yang ini... yang ini juga... trus yang ini... dan ini... lalu...”
Dengan kekuatan telepatinya Thufry mengeluarkan makanan kaleng itu dari dalam kulkas dan meletakkannya ke atas meja.
Beck bengong. Ini pertamakalinya dia melihat makhluk serakus Thufry.
“Eh! Loe sudah berapa tahun gak makan?”
“Sembilan ribu enam ratus tiga puluh tujuh tahun,” jawab Thufry sambil terus memilih-milih makanan.
“Becanda mulu, ah! Yang serius dong!”
“Aku serius.”
“Gak makan selama itu? Kok bisa hidup ya?” pikir Beck dalam hati. “Tapi tunggu! Kalau dia sudah gak makan selama sembilan ribu sekian tahun umurnya sudah berapa dong? Terus tadi dia bilang kalau dia masih pemula. Jadi yang profesionalnya sudah berumur berapa?”
“Thufry, di tempat loe orangnya gimana sih?” tanya Beck penasaran.
“Mereka hampir sama dengan orang-orang di tempatmu ini,” jawab Thufry. “Hampir sama loh. Bukan sama,” tegas Thufry.
“Umur mereka rata-rata berapa? Apa mereka ramah? Mereka gak kanibal khan? Terus batu kayak loe ini ada berapa banyak? Dan...”
“Stop!” perintah Thufry pada Beck yang nyerocosnya gak abis-abis. Akhirnya Beck diam juga. “Aku sudah bilang kalau mereka hampir sama dengan orang-orang di sini. Dan mereka tidak kanibal. Tapi kalau orang yang mereka temui seperti kamu, bisa jadi mereka berubah jadi kanibal.”
Beck manyun. Apa mungkin dia yang sekurus itu bisa mengubah orang jadi kanibal? Sebegitu lezatnyakah penampilannya ini? Akhirnya Beck tidak bertanya apa-apa lagi. Dan Thufry bisa makan tanpa ada gangguan lagi dari Beck.
Tapi di luar dugaan. Imah yang baru pulang dari pasar melihat keanehan di dapurnya. Sebuah batu bersayap sedang memakan isi kulkas. Imah pun langsung tarik suara dengan teriakan histerisnya yang bisa memecahkan gendang telinga hingga berkeping-keping. Bahkan bisa mengalahkan ledakan di hirosima dan nagasaki.
“Huaaahhh!!! Ada monster!!!” Imah pun jatuh pingsan seperti adegan di film-film misteri yang doyan dia tonton sambil tutup mata.
“Thu, cepat kabur!” ajak Beck.
“Tapi aku belum makan ice cream-nya.”
“Kapan-kapan aja. Sekarang lebih baik kita ke atas!”
Beck menarik Thufry ke kamarnya sambil berlari.
“Lepaskan sayapku! Sakit tau,” sungut Thufry sambil mencoba melepaskan genggaman Beck terhadap sayapnya. “Aku bisa terbang sendiri ke atas. Jadi lepaskan aku sekarang!”
“Ya-ya, gue lepasin,” ujar Beck sambil melepaskan pegangannya.
“Padahal aku belum sempat makan ice cream-nya,” ujar Thufry kecewa ketika mereka telah sampai di kamar Beck.
“Bisa kapan aja khan? Yang lebih penting sekarang kita harus bagaimana? Imah sudah ngelihat loe. Mending loe minggat aja deh dari rumah gue. Gue gak ikut ke negri loe juga gak apa-apa deh, gue gak ngarep kok, justru itu lebih bagus. Lagian ortu gue gak ngizinin buat pergi sama orang asing apa lagi makhluk asing kayak loe,” usir Beck dengan teganya.
“Enak aja. Pokoknya kamu harus ikut. Satu-satunya cara ya segera mencari jalan menuju tempatku dan kita segera pergi,” Thufry mengepakkan sayapnya dan mulai mencari kesana-kemari.
“Beck, apa yang kau ketahui tentang aku?” tanya Thufry.
“Loe Thufry si batu gerbang dimensi. Benar khan?”
“Apa tidak ada yang lain? Yang lebih mengarah pada posisi jalan yang ku cari?”
“Apa ya?” Beck mulai berpikir. “Ah! Ada!” seru Beck sambil menjentikkan jari tangannya.
“Apa itu?”
“Gak penting sih,” ujar Beck kalah semangat ketika dia berseru tadi.. “Gue tau di mana pertanma kali loe muncul di kamar gue ini.”
Spontan Thufry berteriak histeris. “Itu sangat penting Beck. Sangat penting. Kenapa baru bilang sekarang?”
“Loe gak nanya,” jawab Beck cuek.
“Ya sudah! Dimana tempatnya?”
Beck menunjuk ke arah jendela. “Di situ.”
“Jalannya sudah ditemukan. Ok! Kita berangkat sekarang!”
Thufry kemudian berputar membentuk lingkaran pada jendela. Tak lama lingkaran itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Beck merasa tenggelam. Tertelan oleh cahaya itu.
Beck berteriak keras. Bukan karena takut. Tapi kaget. Kemudian tubuhnya terasa ringan. Dia merasa seolah-olah terbang. Dan semua gelap. Sangat gelap.
Bersambung Ke Bab 04, Balse
“Ng... sudah siang ya?” (karena belum nyerahin surat panggilan ke mami dan papinya Beck belum bisa sekolah hari ini)
“Terang banget sih? Siapa yang buka tirai?” tanya Beck meskipun tidak mengharapkan jawaban.
Tapi di luar dugaan. Jawaban datang. Dan itu justru membuatnya kaget.
“Aku yang buka.”
Dalam sekejap bulu roma Beck berdiri semua.
“Siapa ya?” tanya Beck takut dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Ini aku,” jawab suara tadi.
“A-aku.. si-sia.. pa, ya?” tanya Beck tergagap.
“Aku ya aku,” jawab suara tadi lagi.
Beck jadi bingung. Apa maksudnya? Apa ada yang mencoba memperoloknya?
Sekarang rasa takut Beck telah berubah jadi jengkel.”Seseorang mencoba mempermainkan gue. Tak akan ku ampuni dia,” pikir Beck.
“Heh! Jangan coba takut-takutin gue ya! Loe pikir gue bisa ditakut-takutin dengan cara kuno dari zaman batu kayak gini apa?”
Baru saja rasa takutnya hilang. Tapi tiba-tiba muncul kembali saat dia melihat benda bersinar yang memantul-mantul di atas karpet kamarnya.
Beck mundur sembari berlari ke atas tempat tidurnya dan menyembunyikan dirinya dalam selimut tebal. Sesekali dia mencoba mengintip.
Benda bersinar itu semakin dekat dan semakin jelas. Ternyata benda itu...
“Loe?” jerit Beck tak percaya. “Loe batu itu? Gue udah ngebuang loe semalam.”
“Aku pulang. Aku pulang!” seru batu itu sambil terus memantul-mantul di atas karpet.
“Batu itu bicara? Batu bisa bicara? Oh tidak! Ini hanya mimpi kan? Kenapa mimpiku selalu aneh? Seseorang tolong bangunin gue dong...!!!!!”
Beck pun pingsan dengan suksesnya.
***
Di tempat lain. Tepatnya kamar seorang cewek bernama Debby. Tampaklah raut wajah yang sedang bermurung durja.
“Hua..!! Beck jahat!” teriaknya kesal.
Berisik memang. Tapi untunglah kamarnya dilengkapi peredam suara. Kalau tidak berisiknya pasti sudah nyampe ke tetangga.
Pendek kata Debby bolos sekolah karena kemarin dia dibentak oleh Beck. Dia pikir kalau dia gak sekolah Beck bakalan cemas dan datang atau minimal nelpon dia.
“Dia pasti minta maaf sama gue,” ujar Debby penuh keyakinan.
Sayangnya itu tidak mungkin terjadi sekarang. Karena Beck sendiri sedang sibuk dengan keanehan yang mengunjunginya.
“Tapi kok sudah jam segini belum ada telpon dari Beck juga sih? Padahal seharusnya sudah jam istirahat.
“Ah! Jangan mikir yang enggak-enggak. Mungkin aja Beck pingin datang ke sini. Pingin ngelihat keadaan gue secara langsung,” pikir Debby mencoba menghibur dirinya sendiri..
“Tapi mungkin aja ada cewek lain yang ngedekatin Beck selagi gue gak sekolah. Terus Beck lupa sama gue,” Debby pun mulai mengira-ngira lagi. “Gak! Gak boleh!!!” jerit Debby.
***
“Beck! Beck! Bangun!”
“Siapa sih? Masih ngantuk nih,” Beck memutar posisi tidurnya sambil menarik selimut.
“Suadah siang, Beck. Kita harus pergi!!”
Beck membuka matanya pelan.
“Tadi aku mimpi buruk,” ujar Beck tanpa ditanya.
“O.. Mimpi buruk.”
“Ya, tapi...” Beck terdiam
“Gue ngomong sama siapa?” batinnya.
“Tapi apa?” desak suara itu.
“Jangan-jangan yang tadi itu bukan mimpi,” tebaknya dalam hati.
Matanya menyusuri karpet kamar. Mencari apakah ada batu yang memantul itu. Tapi seperti biasa, karpet itu bersih tanpa ada noda.
“Kau cari apa?” tanya suara itu.
Beck mengangkat wajahnya.
“Huaaaa!!!!” jerit Beck. Ternyata tadi itu bukan mimpi. Sekarang batu itu punya dua sayap dan terbang tepat di depan matanya.
“Hei! Jangan pingsan lagi ya!” batu itu berseru. “Dan jangan teriaki aku. Dasar manusia tidak sopan.”
“Loe yang gak sopan. Masuk kamar gue sembarangan,” sungut Beck. “Lagian siapa yang gak kaget kalau melihat benda asing seperti loe hidup dan selalu berubah-ubah.”
“Siapa yang kau bilang benda asing? Aku Thufry si gerbang dimensi. lebih tepatnya lagi batu gerbang dimensi,” Thufry memperkenalkan dirinya.
“Thufry? Nama yang aneh.”
“Kau sendiri? Memangnya namamu tidak aneh? Beck Rison?”
“Terserah loe aja deh,” balas Beck. “Apa tujuan loe?”
“Jelas menjemputmu lah.”
“Ngejemput gue? Buat apa?” tanya Beck tak mengerti.
“Buat kami makan. Negriku kehabisan bahan makanan. Jadi...”
Tubuh Beck langsung kaku. “Dimakan?” tanyanya gemetar.
“hahaha...” Thufry melepas tawanya sambil terbang ke sana ke mari.“ Tenang saja. Aku bohong.”
“Untung saja,” ujar Beck dalam hati.
“Makasih sudah ngebuat gue kaget,” ujar Beck kesal.
“Kau takut, bukan kaget,” ejek Thufry.
Wajah Beck berubah merah.
“Boleh gue nanya lagi?”
Thufry berhenti terbang ke sana ke mari. “Ya.”
“Loe mau bawa gue kemana?”
“Ke tempatku,” jawab Thufry singkat lalu terbang kembali.
“Benar-benar makhluk yang menyebalkan,” batin Beck.
“Satu lagi. Loe ini makhluk apa sih? Dan kenapa dari tadi loe terbang ke man-mana?”
“Sudah jelas aku ini batu. Apa kau meragukannya?”
“Sejujurnya iya,” jawab Beck cepat, tegas, yakin dan tanpa berpikir lagi.
“Menyebalkan,” sungut Thufry. “Aku sedang mencari posisi jalan menuju tempatku.”
“Loe kan gerbang. Masa gak tau jalannya sih?”
“Aku kan masih pemula,” jawab Thufry ketus.
Tiba-tiba Thufry berhenti mengepakkan sayapnya.
“Loe sudah nemuin jalannya?”
“Aku... aku... aku...” Thufry seakan ragu. “Aku lapar,” akunya dengan sedikit malu-malu.
“Nyusahin banget sih!” gerutu Beck kesal. “Ya sudah. Loe makannya apa?”
“Kalau di tempatku, aku dikasih makan kapsul energi.”
“Kapsul energi? Gue gak punya. Bahkan gak pernah dengar. Ada juga suplemen,” jawab Beck. “Tapi gue punya makanan lain yang mungkin bisa loe makan. Ikut gue ke dapur!”
Beck pun mengajak Thufry ke dapur.
“Nah! Loe pilih deh mau makan yang mana!” seru Beck sambil membuka kulkas dapur yang penuh dengan makanan dan minuman kaleng.
Thufry terbang kemudian memeriksa makanan kaleng itu satu persatu. Dia mengetukkan sayapnya pada makanan itu. Tingkahnya itu lucu sekali.
“Keras begini memang bisa dimakan?” tanya Thufry kesal. “Jangan mempermainkan aku ya!” ancamnya.
“Loe ini batu dari zaman mana sih? Kalengnya dibuka dulu dong!” Beck memberitahukan.
“Kenapa tidak bilang dari tadi?” sungut Thufry. “Aku mau yang ini... yang ini juga... trus yang ini... dan ini... lalu...”
Dengan kekuatan telepatinya Thufry mengeluarkan makanan kaleng itu dari dalam kulkas dan meletakkannya ke atas meja.
Beck bengong. Ini pertamakalinya dia melihat makhluk serakus Thufry.
“Eh! Loe sudah berapa tahun gak makan?”
“Sembilan ribu enam ratus tiga puluh tujuh tahun,” jawab Thufry sambil terus memilih-milih makanan.
“Becanda mulu, ah! Yang serius dong!”
“Aku serius.”
“Gak makan selama itu? Kok bisa hidup ya?” pikir Beck dalam hati. “Tapi tunggu! Kalau dia sudah gak makan selama sembilan ribu sekian tahun umurnya sudah berapa dong? Terus tadi dia bilang kalau dia masih pemula. Jadi yang profesionalnya sudah berumur berapa?”
“Thufry, di tempat loe orangnya gimana sih?” tanya Beck penasaran.
“Mereka hampir sama dengan orang-orang di tempatmu ini,” jawab Thufry. “Hampir sama loh. Bukan sama,” tegas Thufry.
“Umur mereka rata-rata berapa? Apa mereka ramah? Mereka gak kanibal khan? Terus batu kayak loe ini ada berapa banyak? Dan...”
“Stop!” perintah Thufry pada Beck yang nyerocosnya gak abis-abis. Akhirnya Beck diam juga. “Aku sudah bilang kalau mereka hampir sama dengan orang-orang di sini. Dan mereka tidak kanibal. Tapi kalau orang yang mereka temui seperti kamu, bisa jadi mereka berubah jadi kanibal.”
Beck manyun. Apa mungkin dia yang sekurus itu bisa mengubah orang jadi kanibal? Sebegitu lezatnyakah penampilannya ini? Akhirnya Beck tidak bertanya apa-apa lagi. Dan Thufry bisa makan tanpa ada gangguan lagi dari Beck.
Tapi di luar dugaan. Imah yang baru pulang dari pasar melihat keanehan di dapurnya. Sebuah batu bersayap sedang memakan isi kulkas. Imah pun langsung tarik suara dengan teriakan histerisnya yang bisa memecahkan gendang telinga hingga berkeping-keping. Bahkan bisa mengalahkan ledakan di hirosima dan nagasaki.
“Huaaahhh!!! Ada monster!!!” Imah pun jatuh pingsan seperti adegan di film-film misteri yang doyan dia tonton sambil tutup mata.
“Thu, cepat kabur!” ajak Beck.
“Tapi aku belum makan ice cream-nya.”
“Kapan-kapan aja. Sekarang lebih baik kita ke atas!”
Beck menarik Thufry ke kamarnya sambil berlari.
“Lepaskan sayapku! Sakit tau,” sungut Thufry sambil mencoba melepaskan genggaman Beck terhadap sayapnya. “Aku bisa terbang sendiri ke atas. Jadi lepaskan aku sekarang!”
“Ya-ya, gue lepasin,” ujar Beck sambil melepaskan pegangannya.
“Padahal aku belum sempat makan ice cream-nya,” ujar Thufry kecewa ketika mereka telah sampai di kamar Beck.
“Bisa kapan aja khan? Yang lebih penting sekarang kita harus bagaimana? Imah sudah ngelihat loe. Mending loe minggat aja deh dari rumah gue. Gue gak ikut ke negri loe juga gak apa-apa deh, gue gak ngarep kok, justru itu lebih bagus. Lagian ortu gue gak ngizinin buat pergi sama orang asing apa lagi makhluk asing kayak loe,” usir Beck dengan teganya.
“Enak aja. Pokoknya kamu harus ikut. Satu-satunya cara ya segera mencari jalan menuju tempatku dan kita segera pergi,” Thufry mengepakkan sayapnya dan mulai mencari kesana-kemari.
“Beck, apa yang kau ketahui tentang aku?” tanya Thufry.
“Loe Thufry si batu gerbang dimensi. Benar khan?”
“Apa tidak ada yang lain? Yang lebih mengarah pada posisi jalan yang ku cari?”
“Apa ya?” Beck mulai berpikir. “Ah! Ada!” seru Beck sambil menjentikkan jari tangannya.
“Apa itu?”
“Gak penting sih,” ujar Beck kalah semangat ketika dia berseru tadi.. “Gue tau di mana pertanma kali loe muncul di kamar gue ini.”
Spontan Thufry berteriak histeris. “Itu sangat penting Beck. Sangat penting. Kenapa baru bilang sekarang?”
“Loe gak nanya,” jawab Beck cuek.
“Ya sudah! Dimana tempatnya?”
Beck menunjuk ke arah jendela. “Di situ.”
“Jalannya sudah ditemukan. Ok! Kita berangkat sekarang!”
Thufry kemudian berputar membentuk lingkaran pada jendela. Tak lama lingkaran itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Beck merasa tenggelam. Tertelan oleh cahaya itu.
Beck berteriak keras. Bukan karena takut. Tapi kaget. Kemudian tubuhnya terasa ringan. Dia merasa seolah-olah terbang. Dan semua gelap. Sangat gelap.
Bersambung Ke Bab 04, Balse
Tidak ada komentar:
Posting Komentar