Beck terbangun ketika mendengar suara mubil orangtuanya. Diliriknya jam meja yang berada tepat di depan matanya.
“Eh? Sudah jam satu ya?” tanya Beck dalam hati. Dikuceknya kedua matanya sambil bejalan keluar kamar. Rasanya lelah sekali, padahal dia sudah tidur sepagian.
Dengan malas Beck menuruni tangga. Matanya masih setengah terpejam.
“Loh? Beck? kamu kok di rumah? Tidak sekolah?” tanya Mr Rison bingung melihat anak semata wayangnya itu masih kusut dan tidak seperti baru pulang dari sekolah.
“Eh?” Beck bengong sesaat, kemudian dia ingat kalau orangtuanya tidak tahu kalau dia lagi di skors dan tidak boleh masuk sebelum orangtuanya memenuhi surat panggilan yang sampai sekarang masih utuh di kantongnya.
“Kenapa tidak dijawab, Beck?” tanya Mrs Rison pula.
“Anu Mi, Pi. Beck sebenarnya...” Beck masih setengah ragu untuk mengaku. Tapi dia tidak mungkin terus-terusan diam. “Beck di skors.”
“Apa? Di skors? Kenapa bisa?” tanya Mr dan Mrs Rison serentak.
“Soalnya kemaren Beck telat ke sekolahnya. Karena sudah terlalu sering jadi Beck dikasih surat panggilan. Nah, selama Mami sama Papi belum memenuhi surat panggilan itu Beck tidak boleh mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sekolah,” jelas Beck sesingkat mungkin.
“Sekarang mana suratnya?”
Beck merongoh saku celananya dan menyerahkan surat panggilan itu. Kepalanya tertunduk. Siap unruk menerima omelan dari Mr dan Mrs Rison.
“Kenapa tidak disampaikan dari kemaren-kemaren, Beck?”
“Soalnya Beck takut...”
“Takut Mami sama Papi marah? Atau takut Mami sama Papi gak perduli?” selidik Mrs Rison.
Beck tidak menjawab. Kepalanya kian jauh menekuk.
“Beck, mungkin Mami sama Papi selama ini terlalu cuek sama kamu,” ujar Mr Rison penuh wibawa seperti biasanya. “Tapi itu bukan berarti kami tidak mementingkan kamu.”
“Bagi kami kamulah yang paling penting. Papi sama Mami rela kok meng-cancel semua urusan Papi dan Mami,” jelas Mrs Rison pula. “Untuk apa Papi dibilang hebat dan Mami digelari Jenius kalau ternyata hanya membuat kamu kecewa?”
Beck memberanikan diri mengangkat wajahnya. Terharu. Itulah yang dia rasakan saat ini. Dia tidak menyadari betapa Papi dan Maminya menyayanginya selama ini.
“Maafin Beck ya Mi, Pi. Beck sudah meragukan Mami sama Papi,” pinta Beck tulus.
“Gak pa-pa sayang,” ujar Mr Rison sembari merangkul Beck Hangat. “Mami ngerti kok. Sekarang ini masa-masa sulit kamu. Mami gak bakal lagi mengekang kamu seperti anak kecil. Kamu sudah mulai dewasa. Kamu bukan lagi Beck kecilnya Mami sama Papi. Dan Mami harus mulai membiarkan kamu mengekpresikan diri.”
“Asal jangan melanggar batas saja. Ya kan, Mi?” timpal Mr Rison.
Beck mengangguk haru. Dia sayang pada kedua orangtuanya.
Dengan hangat dirangkulnya kedua orangtuanya itu. Sungguh orangtua yang membanggakan. Bahagia saja tidak cukup untuk memenuhi hatinya saat ini, rasanya sangat lapang dan menyenangkan.
Tapi suasana harmonis itu langsung buyar ketika tiba-tiba saja bel pintu berbunyi. Dengan sigap Beck meninggalkan kedua orangtuanya itu.
“Biar Beck yang buka,” ujarnya sembari berlari ke ruang depan.
Beck sangat terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di balik pintu.
“Debby?”
“Ng... Beck,” sapa Debby sambil mencoba tersenyum.
“Ada apa?” tanya Beck bingung. Tumben-tumbenan Debby datang ke rumahnya.
“Gue hanya mau minta maaf,” jelas Debby. “Kemaren kan gue sudah bikin loe kesal. Maafin gue ya!”
“Kesal?” Beck pun tertawa sendiri melihat tindakan Debby itu.
“Deb, Deb,” ujarnya mencoba menahan tawa. “Ada juga mestinya gue yang minta maaf. Kan gue yang buat loe nangis kemaren. Padahal niat loe baik. Jadi maafin gue ya!” pinta Beck lembut.
“Beck???” bisik Debby haru sangking bahagianya. Sesaat Debby terdiam mendengar ucapan Beck. Padahal dia pikir Beck bakal menutup pintu ketika tahu bahwa dia yang datang. Tapi nyatanya Beck justru dengan lembutnya minta maaf padanya.
Dalam hitungan detik Debby sudah merangkul Beck gemas. “Kamu manis banget.”
“Eh, sudah dong! Sesak nafas tau. Mau ngebunuh gue ya?” ronta Beck sembari melepaskan rangkulan Deby. Sedangkan Debby hanya tersenyum gemas melihat tingkah Beck itu.
“Maaf,” pinta Debby centil.
Sejenak Beck terdiam. Seakan ingat oleh sesuatu hal.
“Kok bengong?” tanya Debby sambil mengibaskan tangannya di depan mata Beck.
“Ng.. enggak,” kilah Beck. “Hanya saja gue kayak ingat sesuatu. Tapi gue gak tahu apa itu. Gamang sih.”
“O... kirain terpana gara-gara ngeliat gue,” goda Debby centil. Sifatnya kembali menjadi seperti biasa. Tidak lagi merasa takut ataupun sungkan karena Beck sudah tidak terlihat marah-marah seperti kemaren lagi.
“Gede rasa amat,” kilah Beck lagi.
Entah kenapa Beck merasa mulai nyaman saja dengan sifat Debby yang ajaib itu. Tidak lagi merasa risih ataupun jengkel.
“Eh, gue traktir makan ya,” tawar Beck membuat mata Debby berbinar penuh haru.
Beck yang selalu menolak ajakan makan siang barengnya sekarang justru menawarinya untuk makan siang? Tidak perlu ditanya lagi dia tentu akan menerimanya dengan sangat senang hati. Bahkan meski di tengah perang dunia sekalipun, Debby akan tetap memenuhi ajakan Beck itu.
“Jangan GR dulu! Ini hanya untuk menebus dosa gue kemaren.”
“Gak pa-pa kok,” jawab Debby senang.
“Ya udah. Gue mandi dulu. Loe duduk dulu deh! Tunggu bentar ya!” pinta Beck kemudian berbalik menuju kamarnya.
“Lama juga gak pa-pa kok, Beck. Gue tetap bakal nungguin loe kok,” jerit Debby terdengar penuh rasa bahagia. Rasanya tidak ada manusia lain yang lebih berbahagia dari dirinya saat itu. Seakan apapun itu tidak akan bisa mengusik ataupun merusak kebahagiaannya tersebut.
Beck tidak menanggapi jeritan Debby itu. Dia terus saja berjalan menuju kamarnya. Wajahnya memerah. Malu.
Beck and Balse the Witch City
Finish
“Eh? Sudah jam satu ya?” tanya Beck dalam hati. Dikuceknya kedua matanya sambil bejalan keluar kamar. Rasanya lelah sekali, padahal dia sudah tidur sepagian.
Dengan malas Beck menuruni tangga. Matanya masih setengah terpejam.
“Loh? Beck? kamu kok di rumah? Tidak sekolah?” tanya Mr Rison bingung melihat anak semata wayangnya itu masih kusut dan tidak seperti baru pulang dari sekolah.
“Eh?” Beck bengong sesaat, kemudian dia ingat kalau orangtuanya tidak tahu kalau dia lagi di skors dan tidak boleh masuk sebelum orangtuanya memenuhi surat panggilan yang sampai sekarang masih utuh di kantongnya.
“Kenapa tidak dijawab, Beck?” tanya Mrs Rison pula.
“Anu Mi, Pi. Beck sebenarnya...” Beck masih setengah ragu untuk mengaku. Tapi dia tidak mungkin terus-terusan diam. “Beck di skors.”
“Apa? Di skors? Kenapa bisa?” tanya Mr dan Mrs Rison serentak.
“Soalnya kemaren Beck telat ke sekolahnya. Karena sudah terlalu sering jadi Beck dikasih surat panggilan. Nah, selama Mami sama Papi belum memenuhi surat panggilan itu Beck tidak boleh mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sekolah,” jelas Beck sesingkat mungkin.
“Sekarang mana suratnya?”
Beck merongoh saku celananya dan menyerahkan surat panggilan itu. Kepalanya tertunduk. Siap unruk menerima omelan dari Mr dan Mrs Rison.
“Kenapa tidak disampaikan dari kemaren-kemaren, Beck?”
“Soalnya Beck takut...”
“Takut Mami sama Papi marah? Atau takut Mami sama Papi gak perduli?” selidik Mrs Rison.
Beck tidak menjawab. Kepalanya kian jauh menekuk.
“Beck, mungkin Mami sama Papi selama ini terlalu cuek sama kamu,” ujar Mr Rison penuh wibawa seperti biasanya. “Tapi itu bukan berarti kami tidak mementingkan kamu.”
“Bagi kami kamulah yang paling penting. Papi sama Mami rela kok meng-cancel semua urusan Papi dan Mami,” jelas Mrs Rison pula. “Untuk apa Papi dibilang hebat dan Mami digelari Jenius kalau ternyata hanya membuat kamu kecewa?”
Beck memberanikan diri mengangkat wajahnya. Terharu. Itulah yang dia rasakan saat ini. Dia tidak menyadari betapa Papi dan Maminya menyayanginya selama ini.
“Maafin Beck ya Mi, Pi. Beck sudah meragukan Mami sama Papi,” pinta Beck tulus.
“Gak pa-pa sayang,” ujar Mr Rison sembari merangkul Beck Hangat. “Mami ngerti kok. Sekarang ini masa-masa sulit kamu. Mami gak bakal lagi mengekang kamu seperti anak kecil. Kamu sudah mulai dewasa. Kamu bukan lagi Beck kecilnya Mami sama Papi. Dan Mami harus mulai membiarkan kamu mengekpresikan diri.”
“Asal jangan melanggar batas saja. Ya kan, Mi?” timpal Mr Rison.
Beck mengangguk haru. Dia sayang pada kedua orangtuanya.
Dengan hangat dirangkulnya kedua orangtuanya itu. Sungguh orangtua yang membanggakan. Bahagia saja tidak cukup untuk memenuhi hatinya saat ini, rasanya sangat lapang dan menyenangkan.
Tapi suasana harmonis itu langsung buyar ketika tiba-tiba saja bel pintu berbunyi. Dengan sigap Beck meninggalkan kedua orangtuanya itu.
“Biar Beck yang buka,” ujarnya sembari berlari ke ruang depan.
Beck sangat terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di balik pintu.
“Debby?”
“Ng... Beck,” sapa Debby sambil mencoba tersenyum.
“Ada apa?” tanya Beck bingung. Tumben-tumbenan Debby datang ke rumahnya.
“Gue hanya mau minta maaf,” jelas Debby. “Kemaren kan gue sudah bikin loe kesal. Maafin gue ya!”
“Kesal?” Beck pun tertawa sendiri melihat tindakan Debby itu.
“Deb, Deb,” ujarnya mencoba menahan tawa. “Ada juga mestinya gue yang minta maaf. Kan gue yang buat loe nangis kemaren. Padahal niat loe baik. Jadi maafin gue ya!” pinta Beck lembut.
“Beck???” bisik Debby haru sangking bahagianya. Sesaat Debby terdiam mendengar ucapan Beck. Padahal dia pikir Beck bakal menutup pintu ketika tahu bahwa dia yang datang. Tapi nyatanya Beck justru dengan lembutnya minta maaf padanya.
Dalam hitungan detik Debby sudah merangkul Beck gemas. “Kamu manis banget.”
“Eh, sudah dong! Sesak nafas tau. Mau ngebunuh gue ya?” ronta Beck sembari melepaskan rangkulan Deby. Sedangkan Debby hanya tersenyum gemas melihat tingkah Beck itu.
“Maaf,” pinta Debby centil.
Sejenak Beck terdiam. Seakan ingat oleh sesuatu hal.
“Kok bengong?” tanya Debby sambil mengibaskan tangannya di depan mata Beck.
“Ng.. enggak,” kilah Beck. “Hanya saja gue kayak ingat sesuatu. Tapi gue gak tahu apa itu. Gamang sih.”
“O... kirain terpana gara-gara ngeliat gue,” goda Debby centil. Sifatnya kembali menjadi seperti biasa. Tidak lagi merasa takut ataupun sungkan karena Beck sudah tidak terlihat marah-marah seperti kemaren lagi.
“Gede rasa amat,” kilah Beck lagi.
Entah kenapa Beck merasa mulai nyaman saja dengan sifat Debby yang ajaib itu. Tidak lagi merasa risih ataupun jengkel.
“Eh, gue traktir makan ya,” tawar Beck membuat mata Debby berbinar penuh haru.
Beck yang selalu menolak ajakan makan siang barengnya sekarang justru menawarinya untuk makan siang? Tidak perlu ditanya lagi dia tentu akan menerimanya dengan sangat senang hati. Bahkan meski di tengah perang dunia sekalipun, Debby akan tetap memenuhi ajakan Beck itu.
“Jangan GR dulu! Ini hanya untuk menebus dosa gue kemaren.”
“Gak pa-pa kok,” jawab Debby senang.
“Ya udah. Gue mandi dulu. Loe duduk dulu deh! Tunggu bentar ya!” pinta Beck kemudian berbalik menuju kamarnya.
“Lama juga gak pa-pa kok, Beck. Gue tetap bakal nungguin loe kok,” jerit Debby terdengar penuh rasa bahagia. Rasanya tidak ada manusia lain yang lebih berbahagia dari dirinya saat itu. Seakan apapun itu tidak akan bisa mengusik ataupun merusak kebahagiaannya tersebut.
Beck tidak menanggapi jeritan Debby itu. Dia terus saja berjalan menuju kamarnya. Wajahnya memerah. Malu.
Beck and Balse the Witch City
Finish
Tidak ada komentar:
Posting Komentar