Kamis, 09 Oktober 2008

Bab 04, Balse

Dimana ini? Kenapa aku di sini? Hm... udaranya segar sekali... aneh.... kenapa aku bisa ada di sini? Uh! Kepalaku sakit. Kenapa jadi gelap? Ada apa ini? Tolong aku!

***

Di dalam sebuah ruangan seorang putri cantik termenung di depan cermin. Menatap bayangan dirinya.

Sebuah benda bersinar di depannya. Sinar merah yang berasal dari batu permata di cincinnya.

Diambilnya cincin itu dan dipasangkannya pada jarinya.

“Cantik sekali,” pujinya. “Cincin ini pemberian peramal istana. Katanya untuk melindungiku.”

Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Dua orang prajurit tampak di depan pintu.

“Apa kalian tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?” bentak Putri itu.

“Maaf tuan putri,” pinta mereka memohon.

“Baiklah, ku maafkan,” ujarnya sambil membalikkan tubuhnya menghadap kedua prajurit itu. “Ada apa?”

“Kami menemukan seseorang yang berpenampilan aneh di taman tulip,” lapor prajurit itu.

“Bukankah seharusnya kalian beritahukan pada raja dan ratu?”

“Maaf tuan putri. Raja dan ratu sedang keluar istana. Katanya mau menyelidiki para penyihir yang tertangkap itu,” salah satu dari prajurit itu menjelaskan.

“Apa? Keluar tanpa mengajakku? Meninggalkan aku di istana? Takkan ku maafkan,” sungut putri itu kesal.

“Sudahlah! Jadi di mana orang itu sekarang?” tanya putri itu akhirnya.

“Dia masih di taman.”

“Bawa aku ke sana!”

Merekapun berjalan menuju taman. Dan kurasa kalian tahu siapa yang dimaksud dengan orang asing berpenampilan aneh itu.

Yup! Dia memang Beck yang sekarang berada di tempat itu karena memasuki jalan dimensi.

“Dia orangnya tuan putri,” prajurit tadi memberitahukan.

“Kurasa dia mata-mata,” ujar seseorang.

“Pangeran Charlie? Kapan kau datang?” tanya putri itu tidak senang.

“Barusan,” jawabnya. “benar bukan? Dia mata-mata. Mata-mata para penyihir.”

Putri itu pura-pura tidak mendengar ucapan pangeran Charlie. Dia menyentuh ujung jari teluntuk kanan Beck.

“Kurasa kau salah Charlie. Prajurit, bawa dia ke dalam!”

Para prajurit itu patuh dan membawa Beck ke dalam istana.

“Kenapa kau begitu ceroboh? Bagaimana kalau dia itu mata-mata?”

“Charlie, kau lihat sendiri khan? Batu cincin ini tidak bereaksi apa-apa. Itu artinya dia tidak punya kekuatan sihir.”

“Aku tau, tapi...”

“Kau ke sini bukan untuk mempersalahkan ini semua kan?” putri itu cepat memotong perkataan Charlie.

“Putri Memon. Kau tau tujuanku kan?”

“Raja dan ratu sedang pergi. Kembalilah lain waktu!” usirnya ketus. “Dan buanglah semua mimpimu itu!” Memon berbalik dan meninggalkan Charlie.

“Aku tidak akan menyerah,” bisik Charlie.

***

Memon berjalan menuju kamar dimana Beck berada. Memon mebuka pintu kamar itu, tapi ruangan itu kosong. Tidak ada seorangpun..

“Dimana orang asing tadi?” tanya Memon pada prajurit yang berada di dekat kamar itu.

“Tadi pangeran Charlie menyuruh kami memindahkannya ke penjara bawah tanah,” prajurit itu menjelaskan.

“Apa? Kenapa kalian mau saja diperintah olehnya?”

“Dia bilang orang asing itu mata-mata penyihir.”

“Kalian bodoh!” teriaknya kesal.

Memon meninggalkan prajurit tadi dan segera beranjak menuju penjara bawah tanah.

“Dasar prajurit bodoh. Kenapa mau saja diperintah oleh Charlie,” makinya kesal. “Entah apa lagi yang ingin dia lakukan.”

Memon memasuki ruang gelap itu. Dua orang pengawal di pintu penjara mencoba menghentikannya. Melarangnya masuk.

“Maaf. Tuan putri tidak boleh masuk ke penjara ini!”

“Aku harus masuk. Ini penting!” bentaknya.

“Tapi putri, tempat ini dilarang.”

“Kalian tau? Raja dan ratu sedang keluar. Jadi aku berhak memberi perintah,” bentaknya lagi. “Jadi minggirlah!”

“Tapi putri...”

“Kalian mau melawan perintah?”

Pengawal itu tampak bingung. Mereka harus menjalankan perintah yang berlawanan dengan tugasnya. Akhirnya mereka putuskan untuk mengalah.

Memon pun akhirnya dapat masuk ke dalam penjara dimana Beck berada sekarang. Entah mengapa dia merasa sangat tidak rela Beck diperlakukan sebagai tahanan. Padahal dia idak mengenal Beck.

“Tuan putri?” seru penjaga yang berada di dalam penjara tak percaya. “Anda tidak boleh masuk.”

“Sudahlah! Toh sekarang aku sudah di sini. Lebih baik kau bantu aku membawa seseorang keluar dari tempat ini!”

“Seseorang? Siapa?”

“Orang yang baru saja diantar ke sini,” jelasnya. “Bawa dia ke sini sekarang!”

Pengawal itu membawa Beck keluar. “Dia masih pingsan putri.”

“Bawa saja dia ke kamar tamu. Jangan lupa panggil tabib istana untuk mengobatinya!”

Pengawal itu mengangguk. Kemudian membawa Beck pergi, menuruti kata-kata Memon.

***

Hingga sore Beck masih pingsan. Tabib istanapun tidak tahu apa penyebabnya.

Memon memandangi Beck. Dia duduk di samping Beck yang diyakininya bukan orang jahat.

“Kau pasti orang baik. Ya kan?”

“Dia mata-mata,” ujar Charlie yang tiba-tiba muncul. “Mata-mata penyihir.”

Memon memandang kesal pada Charlie. “Apa kau tak bisa mengetuk pintu dulu? Dasar penguping,” sungut Memon. “Apa kau tidak pernah belajar sopan santun?”

“Jangan seperti itu! Kau sendiri di sini hanya berdua saja dengan orang asing itu.”

“Beraninya kau...”

“Kau mau mengusirku? Silahkan saja. Tapi ingat! Aku tidak akan pernah pergi.”

“Terserah kau saja,” sungut memon ketus.

“Kenapa kau begitu baik pada mata-mata itu?”

“Dia bukan mata-mata.”

“Kau menyukainya kan?”

“Itu bukan urusanmu,” Memon mulai kesal. “Bisakah kau pergi sekarang?”

Charlie tersenyum menjengkelkan. “Baiklah, ku tunggu di meja makan.”

Charlie meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan Memon dan Beck.

“Sudah kuduga. Kau menyukai orang asing itu memon. Tapi itu tidak akan ku biarkan.”

***

Keesokan harinya. Hujan turun dengan sangat deras. Beck yang sudah seharian penuh tak sadarkan diri terbangun. Bukan karena berisiknya hujan, melainkan karena sudah capek tidur. Dia mencoba bangkit dari tempat tidur. Tapi tidak bisa.

“Kenapa rasanya capek banget ya?” pikirnya. “Ugh... kepala gue sakit banget. Ti... ambilin obat dong!!!” Beck mencoba memanggil Titi.

“Surtiiiiiiiiii... kepala saya sakit nih.... nanti saya bisa mati...” panggil Beck lagi.

Beck mendengar suara pintu dibuka. Saat itulah dia sadar kalau itu bukan kamarnya. Ini bukan rumahnya. Susana hijau terang itu luput dari matanya.

“Kau sudah sadar?” sapa Memon.

“Kau siapa? Aku dimana?”

Memon memandang Beck sejenak. “Kau tidak tahu ini dimana?”

Beck menggeleng. “Ini dimana?”

Memon menghela napasnya. “Bagaimana caramu masuk ke taman tulipku?”

Beck menggeleng lagi. “Aku gak tau. Tolong jawab, ini dimana?”

“Kau ini aneh. Kau bisa masuk ke dalam taman tulipku tapi tidak tau bagaimana caranya. Dan kaupun tidak tau ini dimana.”

Memon menutup pintu kemudian melangkah ke arah Beck. “Kau benar-benar tidak tahu?”

Beck semakin takut. Rasanya mau pingsan. Tapi tidak bisa. Ugh!!!!!

“Kau benar-benar tidak tahu ya?”

Beck menggeleng.

Memon duduk di samping Beck. “Ini kerajaanku. Kerajaan Balse.”

“Balse itu dimananya Indonesia?” tanya Beck bingung. Otaknya memang tidak encer-encer amat. Tapi dia yakin kalau tidak pernah dengar kerajaan Balse di Indonesia.

Memon menatap heran ke arah Beck. “Apa dia benar-benar tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu?” pikirnya dalam hati.

“Kamu ini sebenarnya siapa? Apa kau mata-mata penyihir itu?”

“Penyihir gue jadi tambah bingung. Disini kok aneh banget ya?” batin Beck.

“Kenapa diam?” desak memon.

“Eh, anu. Aku ini Beck Rison. Panggil saja Beck. Dan sepertinya aku bukan berasal dari kota ini,” ujar Beck sambil memperhatikan sekelilingnya. “Tapi aku bukan mata-mata penyihir.”

Memon menatap Beck ragu.

“Apa kau tidak percaya?”

“Aku percaya. Karena kau tak terlihat berbahaya,” jawab Memon seranya tersenyum. “Oh ya! Namaku Memon Loja. Panggil saja aku Memon. Atau Me juga boleh.”

“y-ya... Me,” ujar Beck tergagap.

Memon tersenyum. “Kau lapar kan?”

Beck mengangguk ragu. Memang sih dia merasa sangat lapar. “Ya, sedikit,” ujarnya berbohong.

“Kalau begitu ikut aku ke ruang makan!” ajak Memon. “Akan ku temani kau makan.”

Beck pun mengekor pada Memon yang menuntunnya ke ruang makan di lantai tiga. Sepanjang perjalanannya menuju lantai tiga bangunan itu matanya tak henti-hentinya menyelidik. Ini seperti istana sungguhan. Teksturnya yang alami, perabotannya yang antik dan tampaknya terbuat dari logam murni, bahkan prajurit hampir ada setiap tiga meternya. Pada dindingnya terdapat ukiran yang simple tapi mewah, terkesan kuno tapi mahal pastinya. Belum lagi foto keluarga yang terpampang rapi dari generasi ke generasi. Bahkan sekarangpun karpet yang menjadi alas jalannya yang membentang sepanjang koridor tampak mewah. Terlalu glamour bahkan. Wah! Bangunan ini pasti butuh banyak biaya untuk membuatnya. Apa mungkin ini sebuah lokasi shooting?

“Kau sudah sadar ya? Mata-mata,” ejek Charlie sinis saat mereka bertemu di tangga lantai dua.

“Dia bukan mata-mata Charlie. Dia hanya orang asing yang tersesat.”

“Jangan terlalu percaya dong, Memon.”

“Beck, jangan dengarkan perkataannya,” ujar Memon kesal. “Kita tinggalkan saja dia! Toh dia bukan siapa-siapa kok di istana ini.”

Memon menarik tangan Beck dan menyeretnya ke lantai atas.

“Kenapa sih kalian berpikir kalau aku ini mata-mata?”

“Itu karena para penyihir itu. Mereka menebar mantra yang membuat manusia saling menyerang. Para penyihir itu ingin menghancurkan kesejahteraan dan kemudian merebut istana,” jelas Memon cepat. “Hal itu membuat kami mencurigai setiap orang asing.”

Beck mengernyitkan dahinya. “Penyihir? Di sini ada penyihir?”

“Memang di tempatmu tidak ada?”

Beck menggeleng.

“Tempatmu aneh.”

“Tempat inilah yang aneh,” batin Beck pada dirinya sendiri.

***

Seusai makan malam, Memon harus berhadapan dengan Raja dan Ratu Loja. Itu semua karena Charlie. Memon yakin itu. Charlie pasti telah menyampaikan cerita yang bukan-bukan pada mereka.

Memon duduk di kursinya. Diliriknya Charlie dengan seluruh rasa kesal yang dimilikinya. Tapi Charlie hanya duduk tenang seolah tak menyadari lirikan membunuh Memon itu.

“Kata hatiku, akan segera terdengar hal yang buruk tentang Beck,” ujar Memon kesal tanpa mengalihkan matanya dari Charlie. “Apa ada keluhan lagi?”

“Beck? Ya! Memang dia yang ayah permasalahkan sekarang.”

“Menurutku tidak ada yang patut dipermasalahkan tentang dia,” sanggah Memon. “Lagi pula dia tidak punya kekuatan apapun.”

“Belum tentu dia tidak berbahaya,” ujar Ratu Loja sabar. “Kemungkinan dia mata-mata masih ada kan? Orang itu tidak bisa dinilai dari penampilan maupun kekuatannya.”

“Karena aku tahu, dia itu bukan mata-mata. Dia tidak punya kekuatan sihir. Dia hanya manusia biasa. Tidak punya kekuasaan. Bagaimana dia mau mencelakai istana?” Memon mulai kesal. “Sebaiknya Ibu mengawasi orang yang mengatakan semua kebohongan ini!”

Memon kembali memandang sinis pada Charlie sambil berjalan mendekatinya. Dongkol! Mungkin itu yang dirasakan oleh Memon. Mengapa sih Charlie selalu mencampuri apa yang ada dalam kehidupannya. Dasar sok ngatur.

“Kau mencoba mempengaruhi orangtuaku ya?” tanya Memon dengan senyum sinis pada bibirnya yang manis itu. “Tapi sayang, semua ini tidak akan berguna.”

Memon beranjak pergi. Meninggalkan ruangan dan orang yang hanya membuatnya kesal.

“Charlie keterlaluan,” sungut Memon di kamarnya. “Jangan harap dia bisa menundukkan aku!”

Charlie tidaklah jahat. Tapi entah mengapa Charlie selalu membuat Memon kesal. Dia sok tahu dan sok ngatur. “Dia pikir aku bonekanya yang harus selalu mengikuti keinginannya apa?”

Memon mengangkat jarinya tinggi-tinggi. Cincin batu permata merah itu bersinar menghiasi jarinya. Seperti nyala api yang siap untuk membakar. Penuh keberanian dan pembangkang. Sungguh indah namun juga mengerikan.

“Aku tidak mau dikalahkan olehmu Charlie. Tidak akan.”

Memon meyibakkan rambutnya yang panjang berkilau bagai emas. Ditatapnya bayangan dirinya pada cermin meja itu. Dia tampak lebih cantik dan anggun dengan rambut digerai daripada dikuncir kuda.

Sinar batu permata dicincinnya semakin terang. Tiba-tiba air mukanya yang dipantulkan oleh cermin meja itu berubah dingin. Pandangan matanya kosong.

“Kau lagi,” batin Memon.

“Aku hanya ingin meminjam ragamu.”

“Tidak! Aku sudah bosan meladenimu. Aku tidak pernah tahu apa yang kau lakukan saat kau rasuki diriku,” tolak Memon.

“Apa untungnya kau tau apa yang aku lakukan?”

“Jelas aku harus tau. Kau menggunakan ragaku.”

“Kau tak perlu tau. Tidak boleh!” suara itu kemudian menghilang. Memonpun beranjak pergi dengan pandangan kosong dan air muka dingin.

***

Beck masih belum bisa tidur karena tak bisa berhenti berpikir, kenapa dia bisa ada di kota Balse? Di istananya pula? Padahal dia tidak mengenal kota ini.

Beck kembali mencoba mengingat-ingat apa pasalnya dia bisa berada di Balse.

“Kenapa dari tadi yang ada dalam kepala gue hanya cahaya terang berwarna putih?” pikirnya. “Dan bola. Eh bukan! Memang bulat, tapi kurasa bukan bola. Ada sayapnya.”

“Huh! Kenapa ingatan gue jelek banget? Hal sepenting ini kok bisa sampai gue lupain? Untung aja gue gak lupa siapa nama gue. Kalau lupa pasti berabe,” sungutnya.

Srek...

Srek...

Srek...

Darah Beck berdesir hebat. “Suara apa tuh?” batinnya.

Beck melihat jam dinding di hadapannya. “Jam satu malam. Malam-malam begini siapa ya? Masa prajurit jalannya ribut gitu sih?” Bulu kuduknya berdiri. “Jangan-jangan...”

Beck mencoba mengusir rasa takutnya. “Apa sebaiknya gue lihat aja?”

Beck berjalan menuju pintu. Sesaat dia menahan nafas kemudian menghembuskannya perlahan seakan sungguh berat. Suasana malam ternyata sangat sunyi. Di keadaan seperti ini detak jantungnya terdengar jelas, seakan jantung itu siap untuk meledak. Kemudian menghancurkan bangunan kokoh seperti istana Balse ini. Diangkatnya tangan meraih kenop pintu. Sedikit lagi pintu terbuka, tapi Beck menarik tangannya lagi.

“Kalau manusia sih gak masalah. Tapi kalau hantu??”

Tiba-tiba saja Beck merasa udara di sekitarnya menjadi dingin. Menggoda tengkuknya hingga sekujur tubuhnya merinding.

“Kata Memon di sini ada penyihir. Jadi ada kemungkinan di sini juga ada hantu.”

“Huh! Gue ini kan cowok. Jadi harus berani,” tekatnya.

Akhirnya Beck membuka pintu dengan cepat.

“Huaaa...!!!” teriak Beck kaget saat melihat ada yang berdiri di depan pintu kamarnya. Tapi teriakkan itu segera berhenti saat sosok yang berada di depan pintu itu semakin jelas.

“Memon? Kau... kau kenapa ada di sini? Eh, maksudku kenapa di sini?”

Memon diam tak menjawab. Pandangannya dingin dan kosong. Beck merasa ada yang aneh pada Memon.

“Mau bicarakan apa? Kelihatannya sangat penting ya?”

“Hanya mau lihat,” jawab Memon dingin. “Cepatlah tidur! Selamat malam.”

Memon berbalik meninggalkan Beck.

“Kenapa ya Memon? Kok tiba-tiba jadi aneh begitu? Salah makan obat kali ya?”

Beck pun menutup pintu kamarnya dan menguncinya segera.

“Apa semua orang di sini aneh-aneh kayak gitu ya?” pikir Beck sambil mencoba untuk tidur. Dan menyudahi kegiatan ingat-mengingatnya itu.

***

“Pagi Beck,” sapa Memon dari taman Tulipnya. Taman itu berada tepat di bawah kamar yang Beck huni.

“Pagi juga,” Beck membalas sapaan Memon melalui beranda kamarnya. “Tamannya bagus.”

“Tentu. Bunga-bunganya kan sedang mekar,” jelas Memon sambil tersenyum manis. Seolah tak mau kalah pamor dengan indahnya tulip yang mekar.

“Anak sebaik, secantik, dan semanis ini kok tadi malam berubah jadi cewek dingin?” pikir Beck dalam hati.

“Hei Beck! Kenapa di sana terus? Menikmati bunga itu bukan hanya dengan melihat loh. Tapi lebih asik kalau bisa menyentuh dan menghirup segarnya. Meskipun ini bukan mawar,” ajak Memon.

“Baik. Aku akan turun,” ujar Beck kemudian menghilang dari beranda menuju taman tulip.

“Mana mungkin Beck yang begitu polos seorang mata-mata,” Memon kembali meyakinkan dirinya. “ Dia orang baik. Tidak seperti Charlie yang menyebalkan.”

Memon langsung merasa sangat jengkel hanya karena telah menyebutkan nama Charlie. Sungguh besar pengaruh Charlie pada saraf benci Memon, hingga namanya saja sudah mengaktifkan kekesalan pada dirinya.

Kembali Memon menikmati keindahan taman tulipnya untuk memperbaiki suasana hatinya. Sesekali Memon mendekatkan wajahnya pada tulip-tulip itu. Rasanya segar sekali. Udara di sekitar tulip itu sangat sejuk. Kalau di sini bisa betah berhari-hari.

“Hai,” sapa Beck.

“Beck, kamu bikin aku kaget saja,” ujar Memon sambil tersenyum manis.

“Habis kamu kelihatannya asik banget sama bunganya.”

“Ini satu-satunya tempat aku bisa menghilangkan sters.”

“O...” Beck meng-o. “Eh, kemarin kamu bilang aku masuk ke taman tulip kamu. Taman yang ini ya?” tanya Beck.

“Ya, Memang kenapa?”

“Tidak. Tidak ada apa-apa kok. Hanya mau tau aja kok,” jawab Beck apa adanya. “Ng... tadi malam kamu kenapa sih?”

“Aku? Perasaan gak ngapa-ngapain kok.”

“Bukannya kamu jalan di koridor. Terus ngucapin selamat malam ke aku?”

“Aku? Tadi malam?” Memon tampak bingung.

“Apa ini pekerjaan dia lagi?” batin Memon.

“Mungkin aku tidur sambil jalan lagi,” Memon mencoba memberi alasan.

“Mh...” sebenarnya Beck tidak begitu percaya pada kata-kata Memon. “Jadi kamu punya kebiasaan tidur sambil jalan...”

Memon hanya tersenyum seolah menjawab iya.

“O ya, Me. Ini taman luas banget. Kamu rawat sendiri?”

Memon tertawa kecil mendengar pertanyaan Beck yang sangat polos. Sesaat dia menggeleng kecil. “Aku yang punya. Tapi bukan berarti harus aku yang rawat kan?”

Wajah Beck memerah. Malu banget. Ngapain juga dia nanya hal yang sudah jelas gak bermutu kayak begitu. Memon seorang putri, bukan tukang kebun. Mana mungkin Memon megang cangkul dan sekop trus nanam bibit bunga.

Memon menghentikan tawanya saat seorang dayang menghampirinya.

“Ada apa?” tanya Memon dengan nada sedikit jengkel. Dia sangat tidak suka kalu ada yang mengganggu acara paginya.

“Maaf tuan putri. Yang mulia ratu memanggil tuan putri. Kata beliau ada yang mau dibicarakan,” ujar dayang itu memberitahukan.

“Mau bicara? Apa Raja juga ada?”

“Tidak tuan putri. Hanya ada yang mulia ratu.”

“Ibu memanggilku? Mau membicarakan sesuatu tanpa ayah? Mau bicara masalah apa?” pikir Memon.

“Ya sudah! Di mana Ratu sekarang?” tanya Memon akhirnya.

“Di ruang baca. Tuan putri mau saya antarkan?”

Memon menggeleng. “tidak usah. Aku bisa pergi sendiri,” Memon berpaling ke arah Beck. “Maaf ya Beck. Aku tinggal dulu. Sebentar aja kok.”

Beck tersenyum kecil. “Gak apa-apa kok. Nyantai aja!” serunya.

Memon kemudian beranjak meninggalkan taman tulipnya. Dayang itu pun juga sudah mau beranjak tapi keburu dicegah oleh Beck.

“Eh, tunggu dulu!” panggil Beck.

Dayang itu menoleh. “Ada apa tuan?” tanya dayang itu sopan.

“Boleh saya nanya sesuatu?”

“Tuan mau tanya apa?”

“Mh... apa Memon. Eh, maksud saya tuan putri. Apa dia sering tidur sambil jalan?”

Dayang itu langsung memasang muka heran. “Maksud tuan apa? Saya masih kurang mengerti”

“Ng... gini loh. Apa putri suka mengigau saat tidur dan berjalan meninggalkan kamarnya?”

“Maaf tuan, saya ...”

“Jangan takut! Saya tidak berniat jahat kok. Hanya mau tau,” pinta Beck.

“Tapi tuan...”

“Jawab iya atau tidak. Mudah kan?” bujuk Beck.

Dayang itu masih tampak ragu. Dia takut kalau nanti akan kenapa-napa.

“Begini aja. Kamu cukup mengangguk atau menggeleng.”

Dayang itu menatap Beck ragu. Kemudian menggeleng.

“Maksud saya, saya tidak pernah lihat. Tapi ada beberapa prajurit yang pernah melihat,” dayang itu menjelaskan.

“O... terima kasih ya,” ujar Beck.

“Kalau tidak ada yang mau ditanyakan lagi, saya mau pergi.”

“Ya! Silahkan!” seru Beck. “Sekali lagi terima kasih ya.”

Dayang itu seolah tidak mendengar perkataan Beck. Dia pergi dengan langkah tergesa-gesa. Dia takut kalau-kalau ada orang lain yang melihat ataupun mendengar pembicaraannya dengan Beck tadi. Menggosipi seorang putri kerajaan? Dasar paparazi...

***

“Ibu, ada apa?” tanya Memon sesampainya di ruang baca

“Duduklah dulu!” seru ratu Loja sembari menutup buku yang sedang dia baca.

Memon menarik sebuah kursi dan duduk.

“Bisa bicara sekarang?”

“Begini Memon,” ujar ratu Loja membuka pembicaraan. “Bukannya ibu mau melarang, tapi cobalah untuk tidak terlalu dekat dengan Beck!”

Memon terdiam mendengar perkataan ratu Loja. “Ibunda kenapa sih? Kenapa tiba-tiba bicara seperti ini?” tanya memon kesal. “Kenapa tidak boleh dekat dengan Beck?”

“Tenang Me! Ini demi kebaikan kamu juga,” bujuk ratu Loja.

“Untuk kebaikan Me? Kebaikan yang mana? Dari segi apa?”

Ratu loja menarik nafas dalam dan mulai bicara.

“Me, kamu kan tau. Pangeran Charlie itu tunanganmu. Apa baik kalau kamu dekat dengan laki-laki lain di hadapannya?”

“Ibu, Me sudah berkali-kali bilang, kalau Me itu tidak suka sama Charlie,” sanggah Memon tidak bisa terima perkataan ibunya. “Me ngerasa kalau di dekat Beck Me lebih nyaman. Me selalu ngerasa jengkel kalau di dekat Charlie.”

“Me, mengertilah! Charlie itu sudah bertunangan denganmu sejak kalian lahir. Jadi, suka atau tidak kamu harus terima kenyataan ini!”

“Dan suka atau tidak Ibu juga harus bisa terima kalau Me tidak punya perasaan suka sedikitpun pada Charlie,” ujar Memon tak mau kalah.

“Jadi benar apa yang telah pangeran Charlie katakan,” bisik ratu Loja.

“Charlie? Memang apa yang sudah Charlie katakan?” serbu Memon cepat.

Ratu Loja hanya diam. Seolah tak mau memberi penjelasan apa-apa.

“Aku yakin, dia pasti sudah bicara yang bukan-bukan. Dia memang harus diberi pelajaran,” ujar Memon kesal. “Baiklah. Kalau ibu tidak berniat memberitahukanku apa yang telah Charlie katakan, aku akan menanyakan langsung padanya. Dengan caraku sendiri tentunya,” ancam Memon.

Memon tampak amat kesal. Dia langsung berdiri dari duduknya. “Itu lebih baik dari pada aku menunggu jawaban dari ibu.”

Dengan cepat ratu Loja mencegah Memon. Dia tau sekali sifat Memon. Meski fisiknya manis dan anggun, tapi kalau dia sudah marah, maka masalah sekecil apapun bisa menjadi perang besar.

“Jangan, Me!” seru ratu. “Ibu akan beritahu.”

Memon langsung menghentikan langkahnya. “Kalau begitu, cepat katakan!”

“Tapi kamu harus berjanji! Jangan menyalahkan pangeran Charlie!”

Memon pun mengangguk cepat.

“Pangeran Charlie bilang, kamu jatuh cinta pada Beck. Kau menyukai Beck.”

“Apa? Aku akan buat perhitungan dengannya.”

Untuk kedua kalinya ratu mencegah Memon.

“Me, kau sudah janji untuk tidak menyalahkannya.”

“Ya,” jawab Memon. “Aku tidak menyalahkannya. Aku hanya akan memberinya pelajaran,” jelas Memon.

“Me! Tetap di sini!” perintah ratu Loja tegas. “Aku terpaksa harus menghukummu, Me. Agar kau dapat mengerti bagaimana seorang putri menyelesaikan masalah,” ratu Loja meletakkan dua buah buku mengenai tata krama dan cara berpikir seorang putri ke atas meja. Buku itu cukup tebal. Satu buku saja tebalnya dapat mencapai 15 cm. “Sebelum kau selesai menyalinnya, kau tak boleh meninggalkan ruangan ini,” Setelah mengatakan hal itu ratu Loja langsung keluar dari ruang baca itu meninggalkan Memon.

Selagi Memon mendapat hukuman, Beck yang berada di taman tulip pun ternyata sedang mendapat masalah.

“Aku peringatkan padamu. Jangan dekati Memon lagi!” seru Charlie.

Sebenarnya Beck sangat kesal, dia nyaris meledak. Tapi berhubung dia sedang berada di tempat yang bahkan tidak dia kenal dia harus tau diri. Dia pun hanya diam tidak berkomentar.

“Dengar tidak!” seru Charlie lagi sembari berteriak.

Dalam hati Beck menyelutuk kesal. “Sialan nih orang. Datang-datang main bentak aja.”

“Apa lihat-lihat? Tidak suka?” bentak Charlie lagi.

Charlie mendorong tubuh kurus Beck itu hingga menyentuh tanah. “Awas kalau aku melihat kamu ngobrol dengan Memon, akan aku habisi kamu,” ancam Charlie.

Dan sebagai salam perpisahan Charlie mendaratkan kepalan tinjunya di wajah Beck.

Beck meringis kesakitan. Sebenarnya dia ingin sekali membalas perbuatan Charlie itu. Tapi diurungkannya niat itu, dia harus sabar karena dia hanyalah oranga asing.

“Ini peringatan pertama dariku.”

Charlie melangkah pergi meninggalkan Beck yang masih terduduk di tanah.

Beck memegangi pipinya. “Gila juga tuh orang. Gak tau apa dia kalau ditinju itu rasanya sakit?” sungutnya.

Beck mengelap darah yang mengucur dari sela bibirnya yang pecah akibat tinju Charlie. “Ughh!”

Beck langsung berdiri dan menepuki celananya, mencoba membersihkan tanah yang menempel. Kemudian berjalan menuju kursi taman sambil terus memegangi pipinya.

Beck merongoh saku celananya untuk mengambil dompet. Melalui kaca kecil di dompetnya Beck mengamati pipinya.

“Memar,” sungut Beck. “Dimana mesti nyari obatnya?”

Beck beranjak pergi menuju kamarnya. “Mungkin di kamar ada obat.”

Beck menggeledah semua laci yang ada di kamar itu. Bahkan sampai ke bawah kolong lemari.

“Obaattt... loe ada gak sih sebenarnya? Gue lagi butuh nih...” panggil Beck seperti orang bego. “OBAATTT!!!

Akhirnya Beck menyerah. “Huh! Nih istana kere amat sih. Obat aja gak punya.”

Beck terduduk lesu di depan meja kacanya. Dipandanginya wajahnya di cermin. “Kalau gak diobati bisa tambah jelek dong gue,” sungutnya. “Sudah ancur tambah ancur aja nih muka entar. Malang banget sih nasib gue,”

***

“Ibu keterlaluan. Dikira aku bocah dua belas tahun apa? Dikasih hukuman nyalin buku begini. Ngasih hukuman gak tanggung-tanggung. Dikira gak capek apa nyalin dua buku yang setebal tembok kayak begini,” sungut Memon yang sedang mendapat hukuman di ruang baca. “Kalau penjaga ditimpuk pakai buku ini pasti pingsan, kalau anjing penjaga yang ditimpuk bisa langsung mati, apalagi tanganku yang mulus nan indah ini, bisa-bisa keriting gara-gara nyalin nih buku.”

Memon akhirnya membanting penanya.

“Aku harus keluar dari ruangan ini.”

Memon tersenyum nakal.

“Hehe.. kalau pengawalnya aku timpuk pakai buku ini pasti aku bisa kabur dari ruang membosankan ini.”

Memon berjingkak keluar dari ruang baca. “Wah! Kebetulan pengawalnya lagi asik ngobrol. Jadi agak mudah nih nimpuknya.”

“Dasar pengawal gak bertanggung jawab. Digaji untuk kerja malah asik ngobrol. Anggab aja ini hukuman karena ngobrol saat tugas.”

Memon mengangkat buku itu tinggi-tinggi kemudian menjatuhkannya.

BUKK!!!

“Yes! Tepat pada sasaran,” teriak Memon gembira. Kedua pengawal itu pun pingsan dengan suksesnya.

“Akhirnya aku bebas lagi...”

Memon pun langsung tancap gas menuju kamarnya. Tapi saat melewati kamar Beck dia menghentikan langkahnya. Dia jadi ingat kalau tadi dia sudah meninggalkan Beck di taman sendirian.

Memon mengetuk pintu kamar Beck.

“Beck, kamu ada di dalam gak?”

“Ya. Ada apa, Me?” sahut Beck dari dalam.

“Ng... boleh aku masuk?”

“Boleh. Pintunya gak dikunci kok.”

Memonpun membuka pintu. “Hai,” sapa Memon.

“Hai juga. Ada apa?” tanya Beck tanpa menoleh pada Memon.

“Sorry yang tadi ya. Aku ninggalin kamu lama sekali.”

“O, itu. Gak apa-apa kok.”

“Kamu marah ya? Kenapa tidak mau menatapku?”

Beck hanya diam. Hal itu membuat Memon penasaran. Memon mendekati Beck perlahan. Kemudian membalik tubuh Beck.

“Muka kamu kenapa?” tanya Memon dengan nada terkejut.

Beck pun mencoba mengalihkan pembicaraan. “Tadi kamu ngapain aja?”

“Aku tanya sekali lagi. Kenapa wajah kamu bisa memar kayak begini?” tanya memon tanpa menghiraukan Beck. “Pasti sakit kan?”

Beck jadi bingung mau bilang apa. Dia pun mencoba untuk berbohong.

“O.. ini... tadi aku kesandung terus jatuh.”

Memon menatap tidak percaya. “Jawab yang jujur Beck! Jangan bohong!”

“Aku jujur kok,” Beck bersikeras.

“Jawab yang jujur!” seru Memon lagi.

Beck diam. Dia bohong Memon gak percaya. Dia jujur takutnya jadi ribut, huh! Bingung!

“Beck.”

“Tadi Charlie menemuiku, terus...”

Mendengar nama Charlie Memon langsung mengerti apa yang terjadi pada Beck. Charlie tidak pernah melakukan hal baik di mata Memon. Dia selalu buat masalah. Kontan saja Memon langsung naik darah. Sudah menyebar issue, sekarang dia menyakiti Beck.

“Biar aku kasih pelajaran dia.”

“Me, kamu kenapa?” tanya Beck cemas.

“Jangan pura-pura linglung, Beck. Aku tahu apa yang sudah Charlie perbuat sama kamu. Dia itu memang brengsek,” maki Memon.

Beck tidak bisa mencegah Memon. Memang tak pernah ada yang bisa menghalangi kehendaknya. Putri manis yang anggun yang nyatanya keras kepala. Manusia benar-benar tidak bisa dinilai dari penampilannya. Itu faktanya saat ini...

“Wah! Bisa jadi perang dunia nih,” bisik Beck pada dirinya sendiri. “Tapi sebodo ah! Salah siapa nonjok gue.”

Beck kemudian menutup pintu kamarnya.

“Mending gue coba ngingat lagi kenapa gue bisa ada di sni. Itu lebih bermanfaat.”

***

Charlie sedang duduk santai di taman kaca ketika Memon melabraknya. Dengan kesal yang sudah seratus persen dia menghampiri Charlie.

“Wah! Putri Memon. Ada apa? Kangen sama pangeran Charliemu ini?” godanya.

Memon mencibir kesal. “Jangn mimpi deh! Aku kesini hanya mau bilang kalau kamu dan Beck itu sama-sama tamu di sini. Jadi jangan pernah beranggapan kalau kamu itu lebih sehingga bisa memperlakukan Beck sesukamu!”

“Memon, kamu ini bagaimana sih? Jelas-jelas aku dan Beck itu tamu yang berbeda. Aku ini pangeran Charlie, tunanganmu. Orang yang akan menjadi anggota keluarga di kerajaan ini. Sedangkan Beck, dia itu mata-mata penyihir.”

“Aku peringatkan sekali lagi. Beck itu bukan mata-mata seperti yang kamu katakan. Dan satu lagi, kamu tidak akan pernah menjadi anggota keluarga disini. Kubur dalam-dalam mimpimu itu!”

“Ternyata benar kan. Kau mencintai orang asing itu. Ketahuilah Memon, kau itu mencintai mata-mata.”

“Aku jadi heran. Kenapa kau bersikeras kalau Beck itu mata-mata, padahal sudah terbukti kalau dia tidak punya kekuatan apapun. Kalau boleh jujur, aku justru mencurigai kamu Charlie,” serang Memon sambil tersenyum sinis.

“Jadi kau pikir aku ini mata-mata?”

“Aku tidak bilang begitu.”

“Hahaha....” tawa Charlie yang menyebalkan itu terdengar juga akhirnya. “Memon, Memon,” ujar Charlie sambil mencoba menghentikan tawanya. “Kamu ini lucu. Aku ini nantinya juga menjadi raja di istana ini. Aku akan menggantikan raja Loja. Jadi untuk apa aku membuat kekacauan? untuk apa aku menjadi mata-mata? Untuk apa aku merusak apa yang akan aku pimpin. Apa kau pikir aku ini bodoh?”

“Justru karena aku tahu kalau kau itu tidak bodoh, makanya aku pikir kaulah otak dari semua ini. Kau pasti ingin membuat ayah repot dan merasa butuh bantuan. Saat itulah kau muncul dan menolongnya. Itu tentu tidaklah sulit untuk kau selesaikan, karena kau sendirilah yang telah menciptakan kekacauan itu.”

“Memon, aku memang ingin menjadi raja. Tapi aku tidak selicik itu,” bantah Charlie serius.

“Terserah apa katamu, yang pasti aku tidak akan merubah pendapatku ini tanpa ada alasan yang jelas.”

“Alasanku sudah jelas,” bantah Charlie lagi.

“Itu menurutmu.”

“Terserahlah,” ujar Charlie kesal. “Sudahlah Memon, jangan membuatku kesal!”

“Ya, kurasa aku hanya ingin mengatakan itu saja,” ujar Memon. “Dan ingat. Jangan ganggu Beck lagi!”

Memonpun beranjak pergi setelah megatakan hal itu.

“Sial!!!” teriak Charlie kesal. “Orang asing itu, aku pasti akan melenyapkanmu, Beck. Kau pasti menyesal telah membuatku marah. Kau pasti menyesal telah merebut Memon dariku. Itu pasti.”

Bersambung ke Bab 05, Pergilah

Tidak ada komentar: