Di dalam kamar itu Beck terbaring tidak sadarkan diri. Hanya suara isakan Drafisty yang terus terdengar mengisi keheningan itu.
Di dalam hati, Drafisty tak henti-hentinya menyalahkan dirinya. Dia merasa sangat bersalah karena telah mendesak Beck hingga akhirnya Beck menjadi seperti ini.
Perlahan pintu kamar terbuka. Drafisty menyadari hal itu. Tapi dia sama sekali tidak perduli. Meski ada Norah di sana yang akan melihat air matanya. Meski harga diri itu akan jatuh karenanya. Drafisty tak ambil pusing lagi. Rasa sesal itu jauh lebih besar dari harga diri yang telah dibangunnya itu. Biarlah terlihat cengeng dan lemah, toh penyihirpun memiliki hati yang menyimpan rasa sedih. Gengsi itu telah pergi entah kemana, Drafisty tak lagi mempermasalahkan harga diri dan gengsi yang selalu menuntutnya untuk tegar.
Terdengar jelas oleh Drafisty suara langkah kaki seseorang yang menghampiri dan menepuk bahunya.
“Sty...”
Itu suara Norah. Tapi Drafisty tak menoleh ataupun menjawab sapaan hangat Norah itu. Dia hanya bangkit dan beranjak dengan bisu.
Memon dan Alexandra menghampiri Beck. Mereka berdiri bersebrangan mengapit Beck yang masih tak sadarkan diri. Mereka berdua mengulurkan tangan kiri mereka hingga bersilangan. Masing-masing jari manis mereka telah dilingkari oleh cincin permata merah. Alexandra menempatkan telapak tanannya di atas telapak tangan Memon. Sesaat kemudian sebuah bayangan keluar dari kedua cincin itu. Bayangan itu sangat terang kemudian membungkus Beck. Perlahan sinar itu meredup dan kembali terhisap ke dalam cincin.
Tak lama kemudian Beck tersadar. Secara perlahan dia mencoba untuk bangun.
“Kau baik-baik saja?” tanya Memon sambil membantu Beck untuk duduk.
“Me? Kenapa kau di kas...?”
Beck tidak menyelesaikan pertanyaannya. Diperhatikannya sekelilingnya. Rasanya ini bukan seperti kastil
“Kok aku sekarang di istana? Bukannya aku seharusnya berasa di kastil?” tanya Beck bingung. “Dan kalian? Bukankah kalian juga seharusnya berada di kastil? Mengapa semua berkumpul di sini? Apa yang terjadi padaku?”
“Sudahlah! Jangan memusingkan hal seperti itu,” ujar Memon karena tak satupun dari mereka yang bisa memberi penjelasan pada Beck. “Jadi, bagaimana keadaanmu?” tanya Memon lagi.
“Ng... entahlah,” jawab Beck sembari memperbaiki posisi duduknya. “Aku merasa masih hidup. Tapi tubuhku semuanya serasa remuk.”
“Perlahan akan membaik,” ujar Charlie. “Beck, ini mungkin terlalu tiba-tiba. Tapi kau harus segera kembali ke dimensimu! Duniamu yang sesungguhnya.”
“Hah? Maksudmu pulang?” tanya Beck bingung. “Bukankah aku harus menyelamatkan para penyihir ini dan meyelesaikan semua kekacauan itu?”
“Kau sudah menyelesaikannya Beck,” Alexandra menjelaskan. “Kau telah memusnahkan kekuatan jahat yang telah menguasai manusia itu. Kau telah meyelesaikan semuanya.”
“Aku bahkan tidak tau apa yang telah aku lakukan,” lirih Beck bingung.
“Kau tak harus mengingatnya kan, Beck?” tanya Norah. “Yang penting kau telah menyelamatkan kami. Terima kasih.”
“Tapi saat ini aku sama sekali tidak terpikir untuk kembali.”
“Apa maksudmu?” tanya Charlie bingung. “Kau harus kembali ke duniamu, Beck! Harus!”
“Beck, orangtua, teman dan semua orang yang ada di sekitarmu pasti akan merasa sangat kehilangan dirimu bila kau tidak kembali,” Bujuk Memon.
“Mereka mungkin tidak perduli dan lupa padaku.”
“Bagaimana mungkin kau bisa bilang begitu? Bukan kau yang merasa kehilangan, bukan kau yang ditinggalkan, tapi mereka,” ujar Drafisty nyaris membentak. “Kau tidak tau pedihnya kehilangan seseorang, Beck. Karena itu kau bicara sesukamu.”
Beck terdiam. Kata-kata Drafisty menyadarkannya. Ya. Dia memang tidak tahu betapa pedihnya perasaan Drafisty yang telah kehilangan orang-orang yang disayanginya.
Di kepalanya terlintas wajah kedua orangtuanya. Mereka memang agak cuek dan egois, tapi terkadang mereka melakukan sesuatu yang jarang dilakukan oleh orangtua lainnya. Mereka mau mengaku salah. Orang-orang rumah yang memperhatikannya dan Debby, teman ceweknya yang centil seperti Norah, tapi terkadang perhatian seperti Memon, keras kepala seperti Drafisty dan pintar seperti Alexandra. Terakhir bertemu dengan Debby Beck telah membuatnya menangis. Beck tertunduk, dengan setengah berbisik dia mengambil keputusan.
“Pulang...”
Seketika itu juga Norah menghambur memeluknya. Menangis sejadi-jadinya.
“Norah! Apa-apaan kau ini?” bentak Drafisty galak.
“Beck akan pulang. Tentu aku merasa sedih. Apa kau tidak mengerti?” jawab Norah sembari menangis. Suaranya terdengar agak melengking seperti anak-anak.
“Tapi apa yang kau lakukan ini justru dapat membuat Beck ragu,” jelas Alexandra tenang seperti biasanya.
“Lagi pula kau menyakitinya Norah.”
Ucapan Memon tadi menyadarkan Norah bahwa dia nyaris membuat Beck benar-benr remuk.
“Maaf,” ujar Norah sambil melepas pelukannya.
“Tak apa,” jawab Beck. Seburat senyum terukir di wajahnya yang menahan sakit. “Terkadang kalian... kalian berempat mirip temanku. Seorang teman.”
Keempat perempuan itu hanya tersenyum simpul.
“Istirahatlah, Beck!” seru Charlie. “Besok Thufry akan membukakan gerbang dimensi untukmu.”
Beck mengangguk pelan. Satu-persatu mereka keluar dari kamar itu meninggalkan Beck agar dia dapat beristirahat.
“Sakit itu tidak hanya dirasakan oleh mereka yang ditinggalkan, tapi juga oleh mereka yang meninggalkan. Kalianpun tak tahu bagaimana rasanya. Karena kalian tidak pernah meninggalkan seseorang,” bisik Beck ketika dia telah sendiri di ruang kamar itu. “Dulu aku juga tidak tahu bagaimana sakitnya, tapi sekarang aku mengerti, beratnya harus meninggalkan dan ditinggalkan.”
***
Pagi itu angin berhembus pelan. Memberi rasa sejuk di balik teriknya matahari. Pagi yang indah untuk Balse yang nyaris hancur.
Ini kali pertama Beck menyaksikan Balse. Kota yang nyaman tanpa polusi. Udara yang segar, langit yang tinggi, suara gemerisik dedaunan yang menari ditiup angin dan iringan nyanyian burung-burung kecil. Ke manapun mata memandang tidak ada gedung-gedung pencakar langit yang menghalangi. Ada langit yang menghampar luas seperti lautan di atas sana.
“Beck,” panggil Drafisty membuat Beck menghentikan kekagumannya pada pemandangan Balse dan berpaling pada Drafisty.
“Ada apa?”
“Sebelum kau pergi aku ingin kau memaafkanku!”
“Maaf?” tanya Beck bingung. “Maaf untuk apa?”
“Untuk suatu kesalahan yang tidak dapat aku ceritakan.”
“Apa itu?”
“Jangan tanya ‘apa’ dengan wajah polosmu itu!” seru Drafisty pelan. “Aku tidak bisa bilang karena aku terlalu malu untuk mengatakan kesalahanku itu. Permintaanku memang egois, tapi ku mohon maafkanlah aku!” pinta Drafisty lagi.
“Aku tidak pernah menganggabmu salah,” ujar Beck tulus. “Tapi kalau kau ingin maaf, tentu ku beri.”
Drafisty tampak lega. Setidaknya bebannya telah berkurang satu.
“Beck, jangan pernah berubah ya!” pinta Memon. “Tetap jadi Beck yang baik ya!”
Beck mengangguk pelan.
Tiba-tiba Beck merasa ada yang menubruknya. Memeluk dan mencium pipinya.
“Beck, aku pasti sangat merindukanmu,” ujar Norah setengah terisak. “Sebenarnya aku ingin kau terus ada di sini. Tapi Drafisty pasti akan membakarku, dan X2 pasti akan bilang aku jahat. Dan yang paling parah Memon pasti memasungku dan mengumumkan kalau aku tidak berbudaya.”
Beck mencoba melepaskan pelukan Norah. “Tenang, kapan-kapan kau boleh main ke duniaku, kok,” bujuk Beck. “Aku pasti akan menerima kalian dengan senang hati.”
“Sudah, Norah! Sudah saatnya Beck kembali,” perintah Alexandra tegas.
Norah melepas pelukannya dan mundur bergabung dengan teman-temannya.
Charlie kini berdiri di hadapan Beck. Diulurkannya jari telunjuknya pada dahi Beck. Sesuatu yang hangat seakan menjalari isi kepalanya saat itu. Thufry pun mulai mengepakkan sayapnya. Terbang melingkar hingga gerbang itu terbuka. Bercahaya amat terang. Perlahan Beck menghilang ke dalam gerbang yang cahayanya mulai redup dan tertutup itu.
“Dia sudah pulang. Dia tidak akan mengingat kita dan juga Balse,” ujar Charlie.
Seketika Norah meraung. Menangis sejadi-jadinya. Inilah sifat cengengnya yang sering membuat Drafisty jengkel. Tapi kini Drafisty mengerti akan tangisan itu. Tak selamanya tangisan itu menjengkelkan, karena meski tidak dapat merubah keadaan, tangisan dapat sedikit meringankan perasaan. Membuat seseorang dapat jujur dan lepas dari kepura-puraan yang membelenggu.
Tapi bagaimanapun Norah tidak pernah melakukan sesuatu yang berada pada tahap normal. Hingga mau tak mau Drafisty tidak bisa mencerna bahwa tangisan Norah itu adalah hal yang positif.
“Stop, Norah!” bentak Drafisty yang merasa gendang telinganya nyaris hancur karena raungan Norah. “Apa-apaan kau ini?”
“Aku sedih, Sty. Patah hati. Aku menyukai Beck. Sangat menyukainya,” jerit Norah tidak kalah kerasnya dengan bentakan Drafisty. “Tapi dia akan melupakanku. Aku sedih. Apa tidak boleh?”
“Norah, aku mengerti perasaanmu,” hibur Alexandra lembut. “Yang menyukai Beck bukan hanya dirimu kan?”
Norah menghentikan raungannya. “Maksudmu?”
“Kita semua menyukainya, Norah,” jelas Memon. “Kita semua kehilangan dia. Tapi kita tidak boleh menahannya di sini. Dia punya kehidupan sendiri yang tidak boleh kita campuri.”
“Beck itu baik. Dia sangat polos. Ku rasa semua orang pasti menyukainya,” timpal Drafisty pula. “Tapi bukan berarti kau boleh merasa bahwa hanya kau yang kehilangan Beck. Jadi hentikanlah tangisanmu yang sumbang itu!”
Mereka semua tertawa mendengar kritikan Drafisty. Norah hanya mendengus kesal sembari menyeka air mata yang memenuhi wajahnya.
“Aku benar-benar menyukainya loh,” Norah bersikeras. “Sangat suka.”
Norah kembali menangis. Drafisty pun akhirnya jadi merasa tidak tega untuk terus memperolok Norah.
“Ya sudah! Menangislah sampai kau merasa lega!” saran Drafisty terdengar begitu tulus. “Tapi setelah itu, jangan pernah mengingatnya! Kita harus bisa melupakannya.”
Norah mendekap Drafisty, tangisnya tumpah semakin menjadi.
Ada secercah rasa salut pada diri Drafisty terhadap Norah. Norah begitu apa adanya. Dia tidak pernah mencoba untuk selalu tampak tegar. Ketika sedih dia tak malu untuk menangis. Terkadang Norahpun dapat diandalkan. Sungguh sosok wanita yang sesungguhnya. Jujur dan sensitif. Tidak seperti dirinya yang tak pernah bisa jujur. Yang selalu dibayang-bayangi oleh gengsi akan harga diri. Selalu ingin tampak tegar dan kuat. Padahal sesungguhnya sangat rapuh.
Bersambung ke Bab 14, Rumah
Di dalam hati, Drafisty tak henti-hentinya menyalahkan dirinya. Dia merasa sangat bersalah karena telah mendesak Beck hingga akhirnya Beck menjadi seperti ini.
Perlahan pintu kamar terbuka. Drafisty menyadari hal itu. Tapi dia sama sekali tidak perduli. Meski ada Norah di sana yang akan melihat air matanya. Meski harga diri itu akan jatuh karenanya. Drafisty tak ambil pusing lagi. Rasa sesal itu jauh lebih besar dari harga diri yang telah dibangunnya itu. Biarlah terlihat cengeng dan lemah, toh penyihirpun memiliki hati yang menyimpan rasa sedih. Gengsi itu telah pergi entah kemana, Drafisty tak lagi mempermasalahkan harga diri dan gengsi yang selalu menuntutnya untuk tegar.
Terdengar jelas oleh Drafisty suara langkah kaki seseorang yang menghampiri dan menepuk bahunya.
“Sty...”
Itu suara Norah. Tapi Drafisty tak menoleh ataupun menjawab sapaan hangat Norah itu. Dia hanya bangkit dan beranjak dengan bisu.
Memon dan Alexandra menghampiri Beck. Mereka berdiri bersebrangan mengapit Beck yang masih tak sadarkan diri. Mereka berdua mengulurkan tangan kiri mereka hingga bersilangan. Masing-masing jari manis mereka telah dilingkari oleh cincin permata merah. Alexandra menempatkan telapak tanannya di atas telapak tangan Memon. Sesaat kemudian sebuah bayangan keluar dari kedua cincin itu. Bayangan itu sangat terang kemudian membungkus Beck. Perlahan sinar itu meredup dan kembali terhisap ke dalam cincin.
Tak lama kemudian Beck tersadar. Secara perlahan dia mencoba untuk bangun.
“Kau baik-baik saja?” tanya Memon sambil membantu Beck untuk duduk.
“Me? Kenapa kau di kas...?”
Beck tidak menyelesaikan pertanyaannya. Diperhatikannya sekelilingnya. Rasanya ini bukan seperti kastil
“Kok aku sekarang di istana? Bukannya aku seharusnya berasa di kastil?” tanya Beck bingung. “Dan kalian? Bukankah kalian juga seharusnya berada di kastil? Mengapa semua berkumpul di sini? Apa yang terjadi padaku?”
“Sudahlah! Jangan memusingkan hal seperti itu,” ujar Memon karena tak satupun dari mereka yang bisa memberi penjelasan pada Beck. “Jadi, bagaimana keadaanmu?” tanya Memon lagi.
“Ng... entahlah,” jawab Beck sembari memperbaiki posisi duduknya. “Aku merasa masih hidup. Tapi tubuhku semuanya serasa remuk.”
“Perlahan akan membaik,” ujar Charlie. “Beck, ini mungkin terlalu tiba-tiba. Tapi kau harus segera kembali ke dimensimu! Duniamu yang sesungguhnya.”
“Hah? Maksudmu pulang?” tanya Beck bingung. “Bukankah aku harus menyelamatkan para penyihir ini dan meyelesaikan semua kekacauan itu?”
“Kau sudah menyelesaikannya Beck,” Alexandra menjelaskan. “Kau telah memusnahkan kekuatan jahat yang telah menguasai manusia itu. Kau telah meyelesaikan semuanya.”
“Aku bahkan tidak tau apa yang telah aku lakukan,” lirih Beck bingung.
“Kau tak harus mengingatnya kan, Beck?” tanya Norah. “Yang penting kau telah menyelamatkan kami. Terima kasih.”
“Tapi saat ini aku sama sekali tidak terpikir untuk kembali.”
“Apa maksudmu?” tanya Charlie bingung. “Kau harus kembali ke duniamu, Beck! Harus!”
“Beck, orangtua, teman dan semua orang yang ada di sekitarmu pasti akan merasa sangat kehilangan dirimu bila kau tidak kembali,” Bujuk Memon.
“Mereka mungkin tidak perduli dan lupa padaku.”
“Bagaimana mungkin kau bisa bilang begitu? Bukan kau yang merasa kehilangan, bukan kau yang ditinggalkan, tapi mereka,” ujar Drafisty nyaris membentak. “Kau tidak tau pedihnya kehilangan seseorang, Beck. Karena itu kau bicara sesukamu.”
Beck terdiam. Kata-kata Drafisty menyadarkannya. Ya. Dia memang tidak tahu betapa pedihnya perasaan Drafisty yang telah kehilangan orang-orang yang disayanginya.
Di kepalanya terlintas wajah kedua orangtuanya. Mereka memang agak cuek dan egois, tapi terkadang mereka melakukan sesuatu yang jarang dilakukan oleh orangtua lainnya. Mereka mau mengaku salah. Orang-orang rumah yang memperhatikannya dan Debby, teman ceweknya yang centil seperti Norah, tapi terkadang perhatian seperti Memon, keras kepala seperti Drafisty dan pintar seperti Alexandra. Terakhir bertemu dengan Debby Beck telah membuatnya menangis. Beck tertunduk, dengan setengah berbisik dia mengambil keputusan.
“Pulang...”
Seketika itu juga Norah menghambur memeluknya. Menangis sejadi-jadinya.
“Norah! Apa-apaan kau ini?” bentak Drafisty galak.
“Beck akan pulang. Tentu aku merasa sedih. Apa kau tidak mengerti?” jawab Norah sembari menangis. Suaranya terdengar agak melengking seperti anak-anak.
“Tapi apa yang kau lakukan ini justru dapat membuat Beck ragu,” jelas Alexandra tenang seperti biasanya.
“Lagi pula kau menyakitinya Norah.”
Ucapan Memon tadi menyadarkan Norah bahwa dia nyaris membuat Beck benar-benr remuk.
“Maaf,” ujar Norah sambil melepas pelukannya.
“Tak apa,” jawab Beck. Seburat senyum terukir di wajahnya yang menahan sakit. “Terkadang kalian... kalian berempat mirip temanku. Seorang teman.”
Keempat perempuan itu hanya tersenyum simpul.
“Istirahatlah, Beck!” seru Charlie. “Besok Thufry akan membukakan gerbang dimensi untukmu.”
Beck mengangguk pelan. Satu-persatu mereka keluar dari kamar itu meninggalkan Beck agar dia dapat beristirahat.
“Sakit itu tidak hanya dirasakan oleh mereka yang ditinggalkan, tapi juga oleh mereka yang meninggalkan. Kalianpun tak tahu bagaimana rasanya. Karena kalian tidak pernah meninggalkan seseorang,” bisik Beck ketika dia telah sendiri di ruang kamar itu. “Dulu aku juga tidak tahu bagaimana sakitnya, tapi sekarang aku mengerti, beratnya harus meninggalkan dan ditinggalkan.”
***
Pagi itu angin berhembus pelan. Memberi rasa sejuk di balik teriknya matahari. Pagi yang indah untuk Balse yang nyaris hancur.
Ini kali pertama Beck menyaksikan Balse. Kota yang nyaman tanpa polusi. Udara yang segar, langit yang tinggi, suara gemerisik dedaunan yang menari ditiup angin dan iringan nyanyian burung-burung kecil. Ke manapun mata memandang tidak ada gedung-gedung pencakar langit yang menghalangi. Ada langit yang menghampar luas seperti lautan di atas sana.
“Beck,” panggil Drafisty membuat Beck menghentikan kekagumannya pada pemandangan Balse dan berpaling pada Drafisty.
“Ada apa?”
“Sebelum kau pergi aku ingin kau memaafkanku!”
“Maaf?” tanya Beck bingung. “Maaf untuk apa?”
“Untuk suatu kesalahan yang tidak dapat aku ceritakan.”
“Apa itu?”
“Jangan tanya ‘apa’ dengan wajah polosmu itu!” seru Drafisty pelan. “Aku tidak bisa bilang karena aku terlalu malu untuk mengatakan kesalahanku itu. Permintaanku memang egois, tapi ku mohon maafkanlah aku!” pinta Drafisty lagi.
“Aku tidak pernah menganggabmu salah,” ujar Beck tulus. “Tapi kalau kau ingin maaf, tentu ku beri.”
Drafisty tampak lega. Setidaknya bebannya telah berkurang satu.
“Beck, jangan pernah berubah ya!” pinta Memon. “Tetap jadi Beck yang baik ya!”
Beck mengangguk pelan.
Tiba-tiba Beck merasa ada yang menubruknya. Memeluk dan mencium pipinya.
“Beck, aku pasti sangat merindukanmu,” ujar Norah setengah terisak. “Sebenarnya aku ingin kau terus ada di sini. Tapi Drafisty pasti akan membakarku, dan X2 pasti akan bilang aku jahat. Dan yang paling parah Memon pasti memasungku dan mengumumkan kalau aku tidak berbudaya.”
Beck mencoba melepaskan pelukan Norah. “Tenang, kapan-kapan kau boleh main ke duniaku, kok,” bujuk Beck. “Aku pasti akan menerima kalian dengan senang hati.”
“Sudah, Norah! Sudah saatnya Beck kembali,” perintah Alexandra tegas.
Norah melepas pelukannya dan mundur bergabung dengan teman-temannya.
Charlie kini berdiri di hadapan Beck. Diulurkannya jari telunjuknya pada dahi Beck. Sesuatu yang hangat seakan menjalari isi kepalanya saat itu. Thufry pun mulai mengepakkan sayapnya. Terbang melingkar hingga gerbang itu terbuka. Bercahaya amat terang. Perlahan Beck menghilang ke dalam gerbang yang cahayanya mulai redup dan tertutup itu.
“Dia sudah pulang. Dia tidak akan mengingat kita dan juga Balse,” ujar Charlie.
Seketika Norah meraung. Menangis sejadi-jadinya. Inilah sifat cengengnya yang sering membuat Drafisty jengkel. Tapi kini Drafisty mengerti akan tangisan itu. Tak selamanya tangisan itu menjengkelkan, karena meski tidak dapat merubah keadaan, tangisan dapat sedikit meringankan perasaan. Membuat seseorang dapat jujur dan lepas dari kepura-puraan yang membelenggu.
Tapi bagaimanapun Norah tidak pernah melakukan sesuatu yang berada pada tahap normal. Hingga mau tak mau Drafisty tidak bisa mencerna bahwa tangisan Norah itu adalah hal yang positif.
“Stop, Norah!” bentak Drafisty yang merasa gendang telinganya nyaris hancur karena raungan Norah. “Apa-apaan kau ini?”
“Aku sedih, Sty. Patah hati. Aku menyukai Beck. Sangat menyukainya,” jerit Norah tidak kalah kerasnya dengan bentakan Drafisty. “Tapi dia akan melupakanku. Aku sedih. Apa tidak boleh?”
“Norah, aku mengerti perasaanmu,” hibur Alexandra lembut. “Yang menyukai Beck bukan hanya dirimu kan?”
Norah menghentikan raungannya. “Maksudmu?”
“Kita semua menyukainya, Norah,” jelas Memon. “Kita semua kehilangan dia. Tapi kita tidak boleh menahannya di sini. Dia punya kehidupan sendiri yang tidak boleh kita campuri.”
“Beck itu baik. Dia sangat polos. Ku rasa semua orang pasti menyukainya,” timpal Drafisty pula. “Tapi bukan berarti kau boleh merasa bahwa hanya kau yang kehilangan Beck. Jadi hentikanlah tangisanmu yang sumbang itu!”
Mereka semua tertawa mendengar kritikan Drafisty. Norah hanya mendengus kesal sembari menyeka air mata yang memenuhi wajahnya.
“Aku benar-benar menyukainya loh,” Norah bersikeras. “Sangat suka.”
Norah kembali menangis. Drafisty pun akhirnya jadi merasa tidak tega untuk terus memperolok Norah.
“Ya sudah! Menangislah sampai kau merasa lega!” saran Drafisty terdengar begitu tulus. “Tapi setelah itu, jangan pernah mengingatnya! Kita harus bisa melupakannya.”
Norah mendekap Drafisty, tangisnya tumpah semakin menjadi.
Ada secercah rasa salut pada diri Drafisty terhadap Norah. Norah begitu apa adanya. Dia tidak pernah mencoba untuk selalu tampak tegar. Ketika sedih dia tak malu untuk menangis. Terkadang Norahpun dapat diandalkan. Sungguh sosok wanita yang sesungguhnya. Jujur dan sensitif. Tidak seperti dirinya yang tak pernah bisa jujur. Yang selalu dibayang-bayangi oleh gengsi akan harga diri. Selalu ingin tampak tegar dan kuat. Padahal sesungguhnya sangat rapuh.
Bersambung ke Bab 14, Rumah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar