Kamis, 09 Oktober 2008

Bab 08, Cari dan Temukan

Kegelapan menyelimuti sosok pemuda yang berjalan sambil meraba sekelilingnya. Dia adalah Beck. Sesekali Beck terjatuh dan menimbulkan bunyi yang menggema.

“Ini di mana sih?” keluhnya bingung. “Gelap. Lembab. Mana jalannya gak selesai-selesai.”

Beck kembali mencoba berdiri dari jatuhnya tadi dan mencoba berjalan lagi. Sebenarnya kakinya mulai pegal. Sudah berjalan selama berjam-jam. Sudah berpuluh-puluh kali dia terjatuh. Sekarang rasanya ingin sekali beristirahat dan memejamkan mata sejenak. Tapi memejamkan mata atau tidak pun, tidak ada bedanya. Sama-sama gelap.

“Kenapa aku bisa sampai di sini?” sungutnya. “Semua terlalu aneh. Mula-mula aku muncul di istana, kemudian sekarang aku sudah berada di tempat yang tidak dapat aku terka.”

“Kenapa jalan ini gak ada habisnya? Kenapa juga matahari gak terbit-terbit. Jangan-jangan…” pikirannya mulai memberi analisa yang mengerikan. “Tidak! Tidak mungkin! Setiap jalan selalu ada akhirnya, dan bumi tidak mungkin berhenti berotasi hingga siang tak muncul,” elaknya mencoba menenangkan diri. “Semua kemungkinan terburuk itu tidak mungkin terjadi. Setidaknya untuk sekarang.”

***

“Norah…!!!” panggil Drafisty. “Kau sudah siap? Kita harus cepat! Agar bisa menemukan manusia terpilih secepat mungkin.”

Norah tak langsung menjawab. Yang terdengar hanya bunyi benda terlempar membentur pintu.

“Bisa tunggu sebentar, Sty? Aku sedang mencari sesuatu yang sangat amat teramat penting.”

Drafisty mendengus kesal kemudian membuka pintu kamar Norah dengan kasar. Tapi tiba-tiba saja bola kristal kecil meluncur ke wajahnya. Secara spontan tangannya berhasil menangkap bola berkilau nan indah itu sedetik sebelum sampai di hidungnya.

“Perbuatanmu itu sangat berbahaya,” sungut Drafisty.

Norah sama sekali tidak menanggapi perkataan Drafisty. Dia sekarang justru beralih memeriksa kolong lemari bahkan samapai ke atap ruangan juga.

Drafisty yang merasa dicuekin bingung melihat tingkah Norah. Baru kali ini dia panik sampai pucat begitu. Meski hampir semua hal dapat membuatnya panik, tapi ini berbeda dari biasanya.

“Apa yang kau cari?”

“Sesuatu yang penting,” jawab Norah singkat.

“Yang penting? Bukankah semua yang kau miliki adalah yang penting?” pikir Drafisty bingung. “Apa sesuatu yang penting itu? Tongkat sihirmu, ya?” Tanya Drafisty.

“Tahu kah kau, Sty? Ada benda lain yang lebih penting daripada sekedar tongkat sihir di dunia ini.”

Sty mengernyit. Sesuatu yang lebih penting daripada tongkat sihir? Jangan-jangan… “heh! Apa yang kau maksud itu bodylotion-mu?” tebak Drafisty.

“Sty, please! Jangan bercanda sekarang! Bodylation memang penting. Apalagi di luar hutan ini sedang terik-teriknya. Tapi itu tidak mungkin hilang karena selalu kubawa kemana-mana,” sungut Norah jengkel.

“Lantas apa? Termos air? Buku panduan sihir? Bantal? Kotak makan? Kantung tidur? Tenda? Atau mungkin…”

“Sty!” potong Norah cepat sebelum Drafisty menyebutkan benda-benda tak berguna lainnya. “Aku serius. Benda ini sangat penting.”

“Maaf… tapi bukankah semua yang kusebutkan tadi sangat penting bagimu?”

Norah mendelik kesal.

“Maaf,” ujar Drafisty lagi.

Norah kembali membongkar isi lemarinya. Tapi tetap saja dia tidak menemukan benda yang dicarinya. Sekali lagi dia memeriksa tempat tidurnya.

Drafisty merasa sangat bosan melihat tingkah Norah. Norah khan tidak pernah bisa mengartikan kata ‘penting’ dengan benar. Dia selalu punya sudut pandang yang berbeda akan ‘penting’ dengan orang lain. Drafisty pun mulai memperolok Norah lagi. “Norah, kenapa tidak sekalian saja lantai ini kau bongkar?”

Norah memandang Drafisty sejenak. Tak lama kemudian terukir senyum kecil di bibirnya. “Ya! Aku menyimpannya di lantai karena takut nantinya terkena percikan api dari tongkat sihir tololmu itu.”

Segera saja norah membuka lantai tepat di bawah Drafisty dengan tongkat sihirnya. Hal itu membuat Drafisty terpaksa melompat mundur.

“Itu berbahaya, Norah!”

Norah sama sekali tidak memperdulikan perkataan Drafisty. Langsung saja dia mengambil peti yang penuh debu yang ada di dalam lantai yang baru saja dibukanya.

“Apa pentingnya sih peti berdebu kayak gitu?”

“Orang sepertimu tidak akan mengeti betapa berharganya benda yang ada dalam peti ini,” sungut Norah kesal.

Norah membuka peti itu dengan sangat hati-hati. Kemudian mengambil benda yang dia bilang sangat berharga dan penting itu.

Drafisty mendekat untuk melihat benda itu. Matanya terbelalak saat melihat apa yang Norah pegang. Bukan karena kagum. Melainkan karena kecewa.

“Peta Balse dan Seluruh Daerah yang Ada di Dalamnya.”

“Ini yang kau bilang penting?”

“Lihat dulu! Di dalam sini ada peta Witch Foerst, hutan tempat kita berada ini. Kemudian ada peta Hell Forest, Stone Forest, forest fall into oblivion dan Dismissal forest.”

“Hei! Jangan bilang kau tidak hapal daerah itu,” pekik Drafisty tak percaya. Norah hanya diam tak menjawab. Tapi itu sudah cukup menjelaskan. “Kau bahkan lebih payah dibanding Thufry.”

“Itu bukan urusanmua,” bantah Norah kesal, “Sekarang semua sudah beres, kita bisa berangkat.”

Drafisty masih ingin sedikit mengolok Norah. Tapi Norah benar, mereka harus segera berangkat mencari manusia terpilih itu.

Drafisty berbalik keluar dari kamar itu dan berjalan menghampiri Alexandra yang sedang membicarakan sesuatu dengan Thufry.

“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Tanya Drafisty ingin tahu.

“Ah! Tadi aku menanyakan tempat Thufry pertama kali muncul di Balse.”

“Lantas?” Tanya Norah yang baru saja muncul. “Dimana?”

“Dark Forest.”

“Apa itu artinya dia juga ada di sana?” Tanya Drafisty.

“Entahlah. Tapi aku tidak merasakan keberadaannya.”

“Sudahlah! Sebaiknya kita mulai saja pencariannya sekarang!” seru Norah. “Kita akan mulai lagi dari nol.”

Drafisty dan Alexandra memandang jengkel ke arah Norah. Perkataannya itu jelas membuat Thufry semakin merasa bersalah. Tapi tampaknya Norah sama sekali tidak menghiraukan kedua sahabatnya itu.

“Ok, X2. sekarang menurutmu apa yang harus kita lakukan?”

“Kurasa dengan kekuatan kita semua, kita bisa mencoba mengirim telepati padanya untuk mengtahui keberadaannya,” saran Alexandra.

“Apa dia bisa menerimanya? Bukankah waktu itu dia bisa menerima telepatimu karena ada Thufry di dekatnya?” Tanya Drafisty.

“Mengapa tidak berdiri di puncak menara kemudian berteriak memanggilnya?” saran Norah asal.

“Itu sama sekali tidak berguna, Norah,” sanggah Drafisty.

“Sudahlah! Jangan mulai lagi!” Alexandra langsung mencegah terjadinya perang mulut antara Norah dan Drafisty. Karena tatap mata peperangan itu sudah tampak pada keduanya. “Lebih baik kita mulai mencari manusia terpilih itu. Bukankah lebih cepat lebih baik?”

“Yeah… ku rasa kau benar, Al.”

“Baik. Kita pending dulu masalah kita ini,” sungut Norah mensetujui.

“Tapi dari mana kita memulai mencarinya?” tanya Thufry.

“Dari tempat dimana kau tidak menginginkan dia berada,” ujar Alexandra. Semua menatapnya untuk menuntut penjelasan lebih lanjut. “Ini hanya sebuah pengalaman,” ujarnya lirih.

Semua mulai berpikir. Mengernyitkan dahi. Memutar otak. Mengetuk-ngetukkan jari telunjuk. Tapi hanya dua tempat yang terbayang oleh mereka.

“Dark Forest…”

“Dan istana…”

“Kita mulai dari Dark Forest saja,” usul Thufry.

“Tapi bukannya kau bilang kalau kau tidak merasakan keberadaannya di sana saat kau muncul?” sanggah Drafisty.

“Entahlah, Sty. Aku meraa harus ke sana.”

“Kalau begitu tunggu apa lagi? Lebih baik kita berangkat sekarang,” usul Norah sambil mengangkat ransel besarnya.

Semua mengangguk setuju dan berangkat menuju Dark Forest.

***

“Uh…” lirih Beck dalam gelap. “Rasanya capek banget. Apa gue masih bisa keluar dari tempat ini?”

Beck kembali berjalan. Langkahnya tertatih. Meski dari kejauhan tapi Beck merasa ada setitik cahaya dihadapannya. Beck mempercepat langkahnya. Sebuah kastil tua yang diselubungi cahaya berada di hadapannya. Dindingnya sudah hijau tertutup lumut. Di beberapa bagian yang luput dari lumutpun catnya sudah mengelupas. Tak terawat. Seperti sudah lama ditinggalkan.

“Apa mungkin ada orang di dalam?” pikirnya.

Beck membuka pintu kastil itu. Deritannya sempat membuat Beck bergidik. Suasana yang lembab dan sunyi membuat kastil itu tampak angker. Ditambah lagi sarang laba-laba dan debu yang menumpuk di sekujur ruangan seakan berkata tak ada siapa-siapa di kastil itu.

“Permisi… saya Beck. Saya tersesat dan tidak tahu jalan pulang,” serunya. “Apa saya boleh numpang istirahat di sini?” Beck tetap mencoba sopan meski dia tidak berharap akan menemukan seseorang di kastil tak terawat itu.

Tidak ada jawaban sama sekali. Yang terdengar hanyalah suaranya sendiri yang menggema di dalam kastil tua itu.

“Benar-benar tidak ada orang ya?” batin Beck. “Apa kastil ini memang kosong?”

Matanya berkeliling mengamati ruangan itu. Kertas dindingnya mulai pudar dan mengelupas. Peraborannya pun sudah mulai tebal terlapis debu. Ruangan itu terasa sangat sumpek dan membuatnya sesak.

Beck melangkah menelusuri ruangan itu dan beralih memasuki ruangan lainnya. Ruangan itu lebih kecil dan terdapat sebuah tangga yang dapat mencapai puncak menara. Beck menaiki tangga itu dan berhenti di depan sebuah pintu yang kenopnya cukup bersih, tidak berdebu sama sekali. Dibukanya pintu itu. Ternyata di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan yang jauh lebih terawat dari pada ruangan di bawah tadi. Bahkan ada sisa kayu bakar di tungku pemanas.

“Apa orang-orang di kastil ini sedang keluar?” pikir Beck. “Mungkin tidak apa-apa kalau gue istirahat di sini sebentar. Gue cepek banget.”

***

“Thu, apa kau sudah merasakan keberadaannya?” tanya Norah sambil menyeka keringatnya. Sapu tangannya sudah cukup basah untuk diperas. Berjalan itu sangat melelahkan, ditambah lagi dengan bawaannya yang banyak itu.

Thufry menggeleng. “Mungkin dia benar-benar tidak ada di sini.”

“Apa mungkin dia ada di istana?” Tanya Drafisty.

“Aku harap dia berada di tempat lain yang tifak terpikirkan oleh kita,” lirih Alexandra. “Istana terlalu menakutkan.”

“Aku juga berharap begitu, tapi…”

“Kenapa sih? Kalian kok jadi pesimis begitu? Mungkin saja dia ada di sini. Di suatu tempat yang sulit di jangkau oleh telepati,” seru Norah.

“Thank’s, Norah. Kurasa kau benar,” ujar thufry.

“Ng, ya. Aku memang selalu benar kok,” ujar Norah bangga. “Tapi bisa tidak kalau pencariannya kita lanjutkan besok? Aku sudah sangat lelah. Lagi pula sudah mulai gelap,” pinta Norah.

“Baiklah. Kita pulang,” ujar Alexandra.

***

“Aku mau berendam dengan air panas untuk menghilangkan rasa pegal di sekujur tubuhku ini,” ujar Norah sesampainya di depan kastil.

“Ya-ya. Kau boleh berendam sampai besok pagi,” timpal Drafisty.

“Thu, ada apa? Kau lihat apa?” Tanya Alexandra pada Thufry yang memandang serius ke puncak kastil.

“Apa kau juga melihatnya? Ada asap keluar dari cerobong,” ujar Thufry.

Ketiga penyihir itu serempak melihat kecerobong yang Thufry maksud.

“Ya, aku melihatnya.memang kenapa? Apanya yang aneh kalau dari cerobong asap keluar asap?” Tanya Norah. “Kalau dari cerobong asap keluar air itu baru aneh.”

“Norah! Kau ini bodoh sekali. Bukankah tadi apinya mati. Bagaimana mungkin kalau sekarang cerobongnya berasap,” sungut Drafisty.

“Eh?” gumam Norah baru nyambung.

“Jangan-jangan ada orang di dalam kastil. Apa kita sudah ketahuan?” bisik Alexandra. Suaranya bergetar. Tampak sekali kalau rasa takut sudah menyelubunginya.

“Lebih baik kita periksa!” usul Thufry.

Dengan agak ragu Alexandra mengangguk. “Ayo!” ajaknya sambil melangkah memasuki kastil.

Mereka melangkah dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Perlahan dari lantai dasar kemudian menyusuri tangga menuju ruang di mana tungku itu berada. Dengan pelan Alexandra membuka pintu ruangan itu dan mengintip ke dalam.

“Ada seseorang,” bisiknya.

“Biar aku yang hadapi,” ujar Drafisty kemudian masuk ke dalam ruangan. Tanpa basa-basi lagi diancungkannya tongkat sihirnya. Orang itu terpental kesamping. “Itu baru permulaannya saja,” ujar Drafisty. “Seharusnya kau jangan bertindak sendiri kalau mau menangkap witch!”

Semua masuk ke dalam ruangan itu dan berdiri di belakang Drafisty.

“Orang itu bangkit dan berbalik dngan susah payah. Draffisty sudah siap untuk menyerangnya lagi. Tapi tiba-tiba saja Thufry berteriak.

“Stop, Sty! Dia bukan musuh.”

“Apa maksudmu? Dia diam-diam masuk ke kastil kita,” Tanya Drafisty bingung.

“Apa mungkin dia… manusia terpilih itu?” tebak Alexandra. “Apa benar begitu?”

Thufry mengiyakan. Norah dan Drafisty terdiam.

Alexandra mendekati Beck.

“Kau manusia terpilih yang akan menyelamatkan kami kan?” Alexandra mencoba meyakinkan dirinya.

Thufry terbang di samping Alexandra. “Hi Beck,” sapanya ramah.

Beck merasakan sakit yang amat perih di kepalanya. Otaknya terasa mau pecah. Ingatannya seakan memutar kembali kejadian-kejadian yang ada dalam memorinya. Membongkar berkas-berkas yang telah terlupakan olehnya. Sinar yang begitu menyilaukan. Pemintaan tolong yang terus menggema. Dan sayap yang mengepak. Kejadian itu seperti film yang rusak, tampil tak beraturan. Silih berganti dengan cepatnya membuat matanya panas.

“Thufry?” bisik Beck. “Sekarang gue ingat.”

“Ya, akhirnya aku menemukanmu, Beck.”

“Ya,” jawab Beck kemudian pingsan. Lelah jelas terukir di wajahnya yang basah oleh peluh itu.

“Apa benar dia manusia terpilih itu?” tanya Drafisty tak yakin. “Dia terlalu lemah. Aku hanya memberinya sedikit benturan tapi dia sudah pingsan.”

“Bukan karena seranganmu. Dia pingsan karena otaknya sudah menguras habis tenaganya untuk mengembalikan ingatannya yang tersimpan,” jelas Thufry.

“Aku juga berpendapat begitu,” ujar Norah memihak Thufry. Dia mendekat menghampiri Beck. Dia ingin melihat Beck lebih jelas.

“Thu, tadi kau memanggilnya Beck, apa itu namanya?” tanya Norah.

“Ya,” jawab Thufry. “Namanya memang agak aneh.”

“Tapi dia cukup manis kok,” ujar Norah centil.

“Jangan mulai lagi Norah!” ujar Drafisty sambil menyimpan kembali tongkat sihirnya.

“Itu benar kok, Sty.”

“Thu, apa dia benar-benar tidak apa-apa?” tanya Alexandra tanpa perduli dengan perdebatan Norah dan Drafisty yang mungkin akan menjadi perang seperti biasanya itu.

“Ku rasa iya. Dia hanya butuh istirahat.”

“Dia agak demam,” ujar Norah. “badannya panas.”

“Akan ku siapkan air untuk kompres,” ujar Alexandra.

“Cepat ya X2! Biar aku yang merawatnya nanti,” sambut Norah semangat. “Ayo Thu! Bantu aku memindahkan Beck. “

“Baiklah.”

“Sty, apa kau tak mau ikut membantu?” tanya Norah.

“Tidak. Ku rasa kalian sudah cukup,” tolak Drafisty sambil membalikkan badannya. Beralih pada kursi duduk di depan perapian.

“Ya sudah. Terserah kau saja,” ujar Norah. “”Ayo, Thu!”

Drafisty duduk di kursinya. “Kenapa semudah ini? Apa dia benar-benar manusia terpilih itu? Ini terlalu tiba-tiba, terlalu cepat dan gampang,” pikir Drafisty. “Dan mengapa mereka semua begitu percaya padanya?” Drafisty menghela nafas. “Seandainya dia benar-benar manusia terpilih itu, bagaimana dia bisa melindungi kami? Melindungi dirinya sendiri saja tidak bisa.”

“Sty,” sapa Alexandra membuyarkan semua yang terpikir olehnya. “Kau pasti berpikir kalau dia terlalu lemah. Boleh-boleh saja kau berpikir begitu. Tapi jangan lupa, Sty! Setiap manusia memiliki kekuatan yang amat besar dalam dirinya. Mungkin saja dia belum menyadarinya.”

“Semoga apa yang kau katakana benar, Al.”

“Iya. Mungkin kau butuh waktu untuk percaya akan ini semua. Semua ini memang terlalu tiba-tiba,” ujar Alexandra kemudian meninggalkannya.

Drafisty kembali larut dengan beribu pertanyaan yang berseliweran dalam kepalanya. Apa mungkin selama ini pemikirannya terhadap manusia terpilih terlalu tinggi. Hingga ketika dia harus menerima kenyataan bahwa seorang seperti Beck yang sangat biasa adalah manusia terpilih, rasanya sulit untuk percaya. Manusia terpilih adalah istimewa. Dialah penolong yang dapat menyelesaikan masalah yang membuat perseteruan antara manusia dan penyihir. Seharusnya dia mempunyai keistimewaan dan kemampuan melebihi para penyihir. Tapi Beck hanyalah manusia yang teramat biasa.

Bersambung ke Bab 09, Bisa Apa Aku?

Tidak ada komentar: