Kamis, 09 Oktober 2008

Bab 05,pergilah!

Malam yang sunyi. Seolah tak ada tanda-tanda kehidupan. Tak seserpih pun tampak bulan menemani malam gelap itu. Sungguh hitam.

Di bawah sinar lilin, sesosok bayangan mengendap-endap melewati koridor. Kemudian berhenti di depan pintu sebuah kamar.

Dengan mudah orang itu membuka pintu. Tampaknya yang punya kamar lupa mengunci pintu.

“Saatnya kau lenyap,” bisik orang itu, yang tak lain adalah pangeran Charlie. “Kau harus ku singkirkan, Beck.”

Beck yang tertidur dengan nyenyak itu sama sekali tidak menyadari bahaya yang telah menantinya.

Senyum menyungging dari bibir Charlie. Sungguh terlihat menyeramkan. Dengan hati-hati diambilnya belati yang sudah dari tadi dia persiapkan. Charlie mengangkat belati itu, hendak menikam Beck.

“Sudah saatnya.”

Charlie sudah siap untuk menikamkan belati itu

PLAK!!

“Aku tidak bisa membunuhnya,” bisik Charlie lirih. “Membunuhnya hanya akan membuatku dalam masalah.”

Charlie mengambil kembali belati yang telah dia jatuhkan ke lantai. Kemudian diseretnya Beck keluar.

***

“Pagi, Beck,” sapa Memon dari balik pintu kamar Beck. Tapi tidak seperti biasa, tidak ada jawaban dari dalam. Memon mengetuk pintu sambil terus memanggil Beck.

“Beck, kau sudah bangun? Cepatlah keluar! Aku akan mengajakmu keliling kota.”

Tapi tetap tidak ada jawaban. Akhirnya Memon membuka pintu. Dengan mudahnya pintu terbuka. Segera saja mata Memon mencari Beck di setiap sudut ruangan.

“Beck hilang??”

Seketika Memon teringat pada Charlie.

“Charlie! Apa mungkin dia sudah melakukan sesuatu pada Beck?”

Memon berlari menuju taman kaca. Tempat di mana Charlie bersantai setiap paginya.

“Charlie! Apa yang telah kau lakukan pada Beck? Kenapa kau membunuhnya?” serbu Memon sesampainya di taman kaca.

“Memon? Apa-apaan kau ini? Dating-datang langsung bicara yang tidak jelas,” ujar Charlie cuek.

“Jangan pura-pura tidak tau. Beck menghilang. Pasti kau telah melakukan sesuatu padanya. Kau membnuhnya.”

“Hei! Jangan bicara yang bukan-bukan! Aku tidak mungkin membunuhnya. Kau tahukan? Kalau keluargaku tidak bisa membunuh manusia. Bila kami melanggar hal itu, maka darah kami akan berubah menjadi biru.”

“Tapi Beck menghilang,” bantah Memon tak percaya akan pengakuan Charlie.

“Ternyata kau masih belum percaya juga. Baiklah, akan kubuktikan padamu kalau aku tidak membunuhnya.”

Charlie mengambil pisau buah yang berada di atas meja di sampingnya. Disayatkannya pisau itu pada lengannya.

“Lihat! Darahku masih merah,” ujar Charlie. “Apa sekarang kau percaya?”

Memon tertunduk. Entah merasa malu atau merasa bersalah karena telah menuduh Charlie. “Maaf.”

“Untuk apa minta maaf? Wajar kan kalau kau mencurigaiku?”

Memon berbalik. “Mungkin kau benar. Dia mata-mata,” bisik Memon putus asa.

“Baguslah kalau kau percaya,” timpal Charlie sambil tersenyum menang.

Memon menyeka air matanya kemudian berlari entah kemana.

“Apa mungkin Beck yang begitu baik dan tampak begitu polos adalah seorang mata-mata? Tapi kenapa dia menghilang secara tiba-tiba. Sulit sekali untuk percaya kau itu mata-mata atau bukan.”

“Sebenarnya kemana kau pergi, Beck? Kenapa begitu tiba-tiba? Kenapa tidak memberi tahu aku terlebih dahulu? Aku bingung Beck. Bingung sekali. SIAPA KAU SEBENARNYA?”

Bersambung ke Bab 06, Tiga Penyihir

Tidak ada komentar: