Kamis, 09 Oktober 2008

Cerita Tambahan, Never Alone

Dalam rintik hujan itu kutengadahkan wajahku menantang langit. Terlalu banyak rasa yang berkecamuk dalam hati membuatku tak mampu lagi menerjemahkannya. Terlalu menyedihkan untuk rasa haru, terlalu menyakitkan untuk kecewa, terlalu jauh dari keinginan, terlalu membingungkan untuk dimengerti.

“Cepat kita pergi dari sini, Sty!”

Aku sama sekali tak menyahut seruan Thufry itu. Rasanya terlalu enggan untuk bergeming.

“Sty!” panggil Thufry lagi. “Jangan bodoh, kau harus menyelamatkan diri!”

Ku pejamkan mataku. Sekeras apapun berpikir aku tak menemukan alasan untuk menyelamatkan diri.

“Sty!” Kali ini Thufry berteriak tepat di depan wajahku. “Kenapa?”

Ku buka mataku perlahan. Sehembus nafas ku hela dengan berat.

“Aku tak pernah ingin selamat, Thu,” jelasku.

“Jangan bercanda!”

“Aku sama sekali tidak bercanda,” ujarku datar.

Thufry hanya diam seakan menuntut penjelasan lebih. Ku alihkan pandanganku pada apa yang tergeletak dihadapanku. Aku yakin Thufry mengerti.

“Jangan bodoh, Sty!”

“Tak ada gunanya aku hidup. Untuk apa hidup kalau harus sendiri dan kehilangan segalanya?”

“Mereka mengorbankan nyawanya demi keselamatanmu. Mereka melindungimu agar kau dapat terus hidup. Kau harus hidup demi apa yang telah mereka korbankan.”

“Kau tak mengerti, Thu. Sekarang aku sudah kehilangan segalanya. Tak akan ada keluarga yang akan mengucapkan selamat pagi padaku, Thu. Tak ada keluarga yang akan menanyakan keadaanku. Tak ada lagi keluarga yang bisa ku buat bangga. Tak ada lagi keluarga yang akan memarahiku. Tak ada lagi keluarga yang akan berbagi tawa dan air mata denganku. Tak ada lagi, Thu. Semua telah tak ada.”

Hidup dalam kesendirian bukanlah pilihanku. Aku masih terlalu haus akan susana keluarga yang hangat itu. Rasanya esok tidak akan pernah menjemput lagi saat ini. Seakan setengah mati. Bukankah lebih baik mati saja sekalian? Toh saat ini tidak ada bedanya dengan kematian.

Sebuah tamparan terasa keras menghantam wajahku. Rasanya perih. Seakan menusuk hingga dasar hati yang sekarang kelabu.

“Tapi masih ada aku kan? Setiap pagi aku akan mengucapkan selamat pagi padamu. Aku juga akan menanyakan keadaanmu. Aku akan merasa bangga untuk setiap keberhasilanmu. Aku akan memarahi setiap tindakanmu yang salah. Dan akupun akan berbagi tawa dan air mata denganmu. Itu janjiku padamu, Sty. Makanya, jangan bilang kalau kau tidak punya siapa-siapa lagi!”

Hujan yang berangsur deras itu bercampur dengan tetes air mata yang mengalir dari sudut mataku. Rasanya sungguh perih. Lebih perih dari tamparan tadi.

Aku seperti bocah yang meringkuk ketakutan ketika cahaya di sekelilingku padam. Dalam gelap itu setitik cahaya muncul membawa keberanian. Akankah aku menggapai keberanian itu dan berlari menuju cahaya terang yang bersinar tanpa rasa takut?

“Hidupmu kini bukan hanya milikmu, Sty. Hidupmu kini adalah perjuangan dari mereka yang mati. Mereka yang berkorban untuk keselamatanmu. Seandainya kau tak perduli akan dirimu, setidaknya kau dapat menghargai kepercayaan yang mereka berikan padamu. Teruslah hidup selama kau mampu, Sty! Meski hanya sedetik lebih lama, teruslah berusaha untuk hidup!”

“Aku bodoh ya, Thu?”

“Tidak jika kau menyadarinya.”

Meski masih ada sedikit sepi dalam gelapnya diriku aku mencoba untuk beranjak dari gelimangan tubuh tak bernyawa di hadapanku. Meski masih dalam keadaan setengah ku coba melangkah untuk bertahan. Dapatkah aku menjadi setegar yang mereka percayakan?

Keraguan seakan masih membayangi langkahku. Namun kini aku tetap melangkah mngikuti Thufry menuju sebuah kastil di witch forest. Sebuah kastil tua yang dilindungi oleh segel sihir. Satu-satunya tempat yang aman untuk penyihir sepertiku. Karena kastil itu tertutup oleh pepohonan rimbun yang menjulang tinggi seakan berlomba untuk menggapai langit.

Dalam kebisuan perjalanan itu aku menangkap sosok yang menangis seakan tak berniat untuk berhenti. Aku mengenalnya. Dia Norah. Teman sekolahku yang cantik dan manja. Tapi aku tak pernah bersapa dengannya. Dia bukan tipe yang bisa jadi temanku.

Aku mencoba acuh dan berlalu. Namun sesosok bayangan mengendap dari arah belakangnya. Manusiakah?

Kucoba memastikan. Bayangan itu kian dekat. Kecurigaanku kian besar. Apakah dia akan dibunuh? Apa aku harus diam saja? Aku memang tak menyukainya, tapi bukan berarti aku membencinya.

Dengan segenap kekuatan ku hempaskan sosok mengendap itu dengan sihirku. Setidaknya aku yakin bahwa seranganku tak akan meleset. Tapi, sosok itu menangkisnya.

“Apa yang kau lakukan? Apa kau berniat mengurangi jumlah kaum yang sudah sekarat ini?” tanya sosok itu jengkel.

Dia penyihir juga?

Perlahan sosok itu kian jelas. “Alexandra?” bisikku.

Norah seakan sadar akan keadaan di sekelilingnya. Dangan waktu singkat tangisnya itu berhenti.

“Ah! Ku pikir aku tinggal sendiri. Senang bisa menemukan kalian disaat seperti ini,” sorak Norah lega. Tak tampak lagi sedih yang tadi disalurkannya dalam tangisan.

“Kau tidak menemukan kami. Kamilah yang menemukanmu,” protesku ketus.

“Kau Alexandra kan?” tanya Thufry memastikan pada sosok yang tadi ku serang. “Maaf, tadi temanku nyaris melukaimu,” pinta Thufry karena aku sama sekali tak mengucapkan kata maaf itu.

“Tak masalah. Toh tadi Drafisty hanya mencoba untuk melindungi Norah kan?”

Drafist katanya? Dia mengenalku? Sungguh sulit untuk dipercaya. Ku pikir Alexandra yang jenius tak berminat untuk mengenal aku yang selalu bersikap kasar ini.

“Kalian mau ke kastil ya?” tanya Alexandra membuatku kembali pada ragaku dan meninggalkan ketidak percayaan itu.

“Ya. Hanya tinggal tempat itu kan?” jawabku datar. Ada sedikit perih ketika mengatakannya. Seakan mengingatkanku pada kenyataan kalau setelah ini aku harus bersembunyi.

“Boleh aku ikut bersama kalian?”

“Kenapa tidak. Senang rasanya kalau bisa bersama di saat seperti ini,” ujar Thufry menyetujui.

“Aku juga boleh ikut kan?” pinta Norah cepat.

“Tentu saja kau juga.”

Awalnya aku sedikit tidak setuju dengan keputusan Thufry itu. Aku tidak begitu mengenal Norah dan Alexandra. Aku bahkan baru pertama kalinya bicara dengan mereka. Tak pernah terlintas di benakku untuk melalui waktu yang panjang bersama mereka.

Namun singkatnya aku yang awalnya hanya bersama Thufry kini telah ditemani oleh dua orang penyihir sebayaku. Meski awalnya aku tak mengenalnya secara baik, yang bahkan aku sempat berpikir buruk tentang mereka, tapi kini keadaan dan komunikasi menyebabkan kami dapat saling mengerti dan saling mengisi satu sama lain.

Aku tak lagi sendiri. Aku memiliki mereka yang ternyata tak seburuk yang aku bayangkan. Mereka justru sangat baik dan pengertian. Seakan menemukan sosok keluarga kembali. Aku mengerti mengapa aku harus tetap hidup. Aku telah menemukan alasan itu. Karena aku tidak sendiri. Tidak pernah sendiri.

Never alone finish

Bab 14, Rumah

Beck terbangun ketika mendengar suara mubil orangtuanya. Diliriknya jam meja yang berada tepat di depan matanya.

“Eh? Sudah jam satu ya?” tanya Beck dalam hati. Dikuceknya kedua matanya sambil bejalan keluar kamar. Rasanya lelah sekali, padahal dia sudah tidur sepagian.

Dengan malas Beck menuruni tangga. Matanya masih setengah terpejam.

“Loh? Beck? kamu kok di rumah? Tidak sekolah?” tanya Mr Rison bingung melihat anak semata wayangnya itu masih kusut dan tidak seperti baru pulang dari sekolah.

“Eh?” Beck bengong sesaat, kemudian dia ingat kalau orangtuanya tidak tahu kalau dia lagi di skors dan tidak boleh masuk sebelum orangtuanya memenuhi surat panggilan yang sampai sekarang masih utuh di kantongnya.

“Kenapa tidak dijawab, Beck?” tanya Mrs Rison pula.

“Anu Mi, Pi. Beck sebenarnya...” Beck masih setengah ragu untuk mengaku. Tapi dia tidak mungkin terus-terusan diam. “Beck di skors.”

“Apa? Di skors? Kenapa bisa?” tanya Mr dan Mrs Rison serentak.

“Soalnya kemaren Beck telat ke sekolahnya. Karena sudah terlalu sering jadi Beck dikasih surat panggilan. Nah, selama Mami sama Papi belum memenuhi surat panggilan itu Beck tidak boleh mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sekolah,” jelas Beck sesingkat mungkin.

“Sekarang mana suratnya?”

Beck merongoh saku celananya dan menyerahkan surat panggilan itu. Kepalanya tertunduk. Siap unruk menerima omelan dari Mr dan Mrs Rison.

“Kenapa tidak disampaikan dari kemaren-kemaren, Beck?”

“Soalnya Beck takut...”

“Takut Mami sama Papi marah? Atau takut Mami sama Papi gak perduli?” selidik Mrs Rison.

Beck tidak menjawab. Kepalanya kian jauh menekuk.

“Beck, mungkin Mami sama Papi selama ini terlalu cuek sama kamu,” ujar Mr Rison penuh wibawa seperti biasanya. “Tapi itu bukan berarti kami tidak mementingkan kamu.”

“Bagi kami kamulah yang paling penting. Papi sama Mami rela kok meng-cancel semua urusan Papi dan Mami,” jelas Mrs Rison pula. “Untuk apa Papi dibilang hebat dan Mami digelari Jenius kalau ternyata hanya membuat kamu kecewa?”

Beck memberanikan diri mengangkat wajahnya. Terharu. Itulah yang dia rasakan saat ini. Dia tidak menyadari betapa Papi dan Maminya menyayanginya selama ini.

“Maafin Beck ya Mi, Pi. Beck sudah meragukan Mami sama Papi,” pinta Beck tulus.

“Gak pa-pa sayang,” ujar Mr Rison sembari merangkul Beck Hangat. “Mami ngerti kok. Sekarang ini masa-masa sulit kamu. Mami gak bakal lagi mengekang kamu seperti anak kecil. Kamu sudah mulai dewasa. Kamu bukan lagi Beck kecilnya Mami sama Papi. Dan Mami harus mulai membiarkan kamu mengekpresikan diri.”

“Asal jangan melanggar batas saja. Ya kan, Mi?” timpal Mr Rison.

Beck mengangguk haru. Dia sayang pada kedua orangtuanya.

Dengan hangat dirangkulnya kedua orangtuanya itu. Sungguh orangtua yang membanggakan. Bahagia saja tidak cukup untuk memenuhi hatinya saat ini, rasanya sangat lapang dan menyenangkan.

Tapi suasana harmonis itu langsung buyar ketika tiba-tiba saja bel pintu berbunyi. Dengan sigap Beck meninggalkan kedua orangtuanya itu.

“Biar Beck yang buka,” ujarnya sembari berlari ke ruang depan.

Beck sangat terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di balik pintu.

“Debby?”

“Ng... Beck,” sapa Debby sambil mencoba tersenyum.

“Ada apa?” tanya Beck bingung. Tumben-tumbenan Debby datang ke rumahnya.

“Gue hanya mau minta maaf,” jelas Debby. “Kemaren kan gue sudah bikin loe kesal. Maafin gue ya!”

“Kesal?” Beck pun tertawa sendiri melihat tindakan Debby itu.

“Deb, Deb,” ujarnya mencoba menahan tawa. “Ada juga mestinya gue yang minta maaf. Kan gue yang buat loe nangis kemaren. Padahal niat loe baik. Jadi maafin gue ya!” pinta Beck lembut.

“Beck???” bisik Debby haru sangking bahagianya. Sesaat Debby terdiam mendengar ucapan Beck. Padahal dia pikir Beck bakal menutup pintu ketika tahu bahwa dia yang datang. Tapi nyatanya Beck justru dengan lembutnya minta maaf padanya.

Dalam hitungan detik Debby sudah merangkul Beck gemas. “Kamu manis banget.”

“Eh, sudah dong! Sesak nafas tau. Mau ngebunuh gue ya?” ronta Beck sembari melepaskan rangkulan Deby. Sedangkan Debby hanya tersenyum gemas melihat tingkah Beck itu.

“Maaf,” pinta Debby centil.

Sejenak Beck terdiam. Seakan ingat oleh sesuatu hal.

“Kok bengong?” tanya Debby sambil mengibaskan tangannya di depan mata Beck.

“Ng.. enggak,” kilah Beck. “Hanya saja gue kayak ingat sesuatu. Tapi gue gak tahu apa itu. Gamang sih.”

“O... kirain terpana gara-gara ngeliat gue,” goda Debby centil. Sifatnya kembali menjadi seperti biasa. Tidak lagi merasa takut ataupun sungkan karena Beck sudah tidak terlihat marah-marah seperti kemaren lagi.

“Gede rasa amat,” kilah Beck lagi.

Entah kenapa Beck merasa mulai nyaman saja dengan sifat Debby yang ajaib itu. Tidak lagi merasa risih ataupun jengkel.

“Eh, gue traktir makan ya,” tawar Beck membuat mata Debby berbinar penuh haru.

Beck yang selalu menolak ajakan makan siang barengnya sekarang justru menawarinya untuk makan siang? Tidak perlu ditanya lagi dia tentu akan menerimanya dengan sangat senang hati. Bahkan meski di tengah perang dunia sekalipun, Debby akan tetap memenuhi ajakan Beck itu.

“Jangan GR dulu! Ini hanya untuk menebus dosa gue kemaren.”

“Gak pa-pa kok,” jawab Debby senang.

“Ya udah. Gue mandi dulu. Loe duduk dulu deh! Tunggu bentar ya!” pinta Beck kemudian berbalik menuju kamarnya.

“Lama juga gak pa-pa kok, Beck. Gue tetap bakal nungguin loe kok,” jerit Debby terdengar penuh rasa bahagia. Rasanya tidak ada manusia lain yang lebih berbahagia dari dirinya saat itu. Seakan apapun itu tidak akan bisa mengusik ataupun merusak kebahagiaannya tersebut.

Beck tidak menanggapi jeritan Debby itu. Dia terus saja berjalan menuju kamarnya. Wajahnya memerah. Malu.

Beck and Balse the Witch City
Finish

Bab 13, Pulang

Di dalam kamar itu Beck terbaring tidak sadarkan diri. Hanya suara isakan Drafisty yang terus terdengar mengisi keheningan itu.

Di dalam hati, Drafisty tak henti-hentinya menyalahkan dirinya. Dia merasa sangat bersalah karena telah mendesak Beck hingga akhirnya Beck menjadi seperti ini.

Perlahan pintu kamar terbuka. Drafisty menyadari hal itu. Tapi dia sama sekali tidak perduli. Meski ada Norah di sana yang akan melihat air matanya. Meski harga diri itu akan jatuh karenanya. Drafisty tak ambil pusing lagi. Rasa sesal itu jauh lebih besar dari harga diri yang telah dibangunnya itu. Biarlah terlihat cengeng dan lemah, toh penyihirpun memiliki hati yang menyimpan rasa sedih. Gengsi itu telah pergi entah kemana, Drafisty tak lagi mempermasalahkan harga diri dan gengsi yang selalu menuntutnya untuk tegar.

Terdengar jelas oleh Drafisty suara langkah kaki seseorang yang menghampiri dan menepuk bahunya.

“Sty...”

Itu suara Norah. Tapi Drafisty tak menoleh ataupun menjawab sapaan hangat Norah itu. Dia hanya bangkit dan beranjak dengan bisu.

Memon dan Alexandra menghampiri Beck. Mereka berdiri bersebrangan mengapit Beck yang masih tak sadarkan diri. Mereka berdua mengulurkan tangan kiri mereka hingga bersilangan. Masing-masing jari manis mereka telah dilingkari oleh cincin permata merah. Alexandra menempatkan telapak tanannya di atas telapak tangan Memon. Sesaat kemudian sebuah bayangan keluar dari kedua cincin itu. Bayangan itu sangat terang kemudian membungkus Beck. Perlahan sinar itu meredup dan kembali terhisap ke dalam cincin.

Tak lama kemudian Beck tersadar. Secara perlahan dia mencoba untuk bangun.

“Kau baik-baik saja?” tanya Memon sambil membantu Beck untuk duduk.

“Me? Kenapa kau di kas...?”

Beck tidak menyelesaikan pertanyaannya. Diperhatikannya sekelilingnya. Rasanya ini bukan seperti kastil

“Kok aku sekarang di istana? Bukannya aku seharusnya berasa di kastil?” tanya Beck bingung. “Dan kalian? Bukankah kalian juga seharusnya berada di kastil? Mengapa semua berkumpul di sini? Apa yang terjadi padaku?”

“Sudahlah! Jangan memusingkan hal seperti itu,” ujar Memon karena tak satupun dari mereka yang bisa memberi penjelasan pada Beck. “Jadi, bagaimana keadaanmu?” tanya Memon lagi.

“Ng... entahlah,” jawab Beck sembari memperbaiki posisi duduknya. “Aku merasa masih hidup. Tapi tubuhku semuanya serasa remuk.”

“Perlahan akan membaik,” ujar Charlie. “Beck, ini mungkin terlalu tiba-tiba. Tapi kau harus segera kembali ke dimensimu! Duniamu yang sesungguhnya.”

“Hah? Maksudmu pulang?” tanya Beck bingung. “Bukankah aku harus menyelamatkan para penyihir ini dan meyelesaikan semua kekacauan itu?”

“Kau sudah menyelesaikannya Beck,” Alexandra menjelaskan. “Kau telah memusnahkan kekuatan jahat yang telah menguasai manusia itu. Kau telah meyelesaikan semuanya.”

“Aku bahkan tidak tau apa yang telah aku lakukan,” lirih Beck bingung.

“Kau tak harus mengingatnya kan, Beck?” tanya Norah. “Yang penting kau telah menyelamatkan kami. Terima kasih.”

“Tapi saat ini aku sama sekali tidak terpikir untuk kembali.”

“Apa maksudmu?” tanya Charlie bingung. “Kau harus kembali ke duniamu, Beck! Harus!”

“Beck, orangtua, teman dan semua orang yang ada di sekitarmu pasti akan merasa sangat kehilangan dirimu bila kau tidak kembali,” Bujuk Memon.

“Mereka mungkin tidak perduli dan lupa padaku.”

“Bagaimana mungkin kau bisa bilang begitu? Bukan kau yang merasa kehilangan, bukan kau yang ditinggalkan, tapi mereka,” ujar Drafisty nyaris membentak. “Kau tidak tau pedihnya kehilangan seseorang, Beck. Karena itu kau bicara sesukamu.”

Beck terdiam. Kata-kata Drafisty menyadarkannya. Ya. Dia memang tidak tahu betapa pedihnya perasaan Drafisty yang telah kehilangan orang-orang yang disayanginya.

Di kepalanya terlintas wajah kedua orangtuanya. Mereka memang agak cuek dan egois, tapi terkadang mereka melakukan sesuatu yang jarang dilakukan oleh orangtua lainnya. Mereka mau mengaku salah. Orang-orang rumah yang memperhatikannya dan Debby, teman ceweknya yang centil seperti Norah, tapi terkadang perhatian seperti Memon, keras kepala seperti Drafisty dan pintar seperti Alexandra. Terakhir bertemu dengan Debby Beck telah membuatnya menangis. Beck tertunduk, dengan setengah berbisik dia mengambil keputusan.

“Pulang...”

Seketika itu juga Norah menghambur memeluknya. Menangis sejadi-jadinya.

“Norah! Apa-apaan kau ini?” bentak Drafisty galak.

“Beck akan pulang. Tentu aku merasa sedih. Apa kau tidak mengerti?” jawab Norah sembari menangis. Suaranya terdengar agak melengking seperti anak-anak.

“Tapi apa yang kau lakukan ini justru dapat membuat Beck ragu,” jelas Alexandra tenang seperti biasanya.

“Lagi pula kau menyakitinya Norah.”

Ucapan Memon tadi menyadarkan Norah bahwa dia nyaris membuat Beck benar-benr remuk.

“Maaf,” ujar Norah sambil melepas pelukannya.

“Tak apa,” jawab Beck. Seburat senyum terukir di wajahnya yang menahan sakit. “Terkadang kalian... kalian berempat mirip temanku. Seorang teman.”

Keempat perempuan itu hanya tersenyum simpul.

“Istirahatlah, Beck!” seru Charlie. “Besok Thufry akan membukakan gerbang dimensi untukmu.”

Beck mengangguk pelan. Satu-persatu mereka keluar dari kamar itu meninggalkan Beck agar dia dapat beristirahat.

“Sakit itu tidak hanya dirasakan oleh mereka yang ditinggalkan, tapi juga oleh mereka yang meninggalkan. Kalianpun tak tahu bagaimana rasanya. Karena kalian tidak pernah meninggalkan seseorang,” bisik Beck ketika dia telah sendiri di ruang kamar itu. “Dulu aku juga tidak tahu bagaimana sakitnya, tapi sekarang aku mengerti, beratnya harus meninggalkan dan ditinggalkan.”

***

Pagi itu angin berhembus pelan. Memberi rasa sejuk di balik teriknya matahari. Pagi yang indah untuk Balse yang nyaris hancur.

Ini kali pertama Beck menyaksikan Balse. Kota yang nyaman tanpa polusi. Udara yang segar, langit yang tinggi, suara gemerisik dedaunan yang menari ditiup angin dan iringan nyanyian burung-burung kecil. Ke manapun mata memandang tidak ada gedung-gedung pencakar langit yang menghalangi. Ada langit yang menghampar luas seperti lautan di atas sana.

“Beck,” panggil Drafisty membuat Beck menghentikan kekagumannya pada pemandangan Balse dan berpaling pada Drafisty.

“Ada apa?”

“Sebelum kau pergi aku ingin kau memaafkanku!”

“Maaf?” tanya Beck bingung. “Maaf untuk apa?”

“Untuk suatu kesalahan yang tidak dapat aku ceritakan.”

“Apa itu?”

“Jangan tanya ‘apa’ dengan wajah polosmu itu!” seru Drafisty pelan. “Aku tidak bisa bilang karena aku terlalu malu untuk mengatakan kesalahanku itu. Permintaanku memang egois, tapi ku mohon maafkanlah aku!” pinta Drafisty lagi.

“Aku tidak pernah menganggabmu salah,” ujar Beck tulus. “Tapi kalau kau ingin maaf, tentu ku beri.”

Drafisty tampak lega. Setidaknya bebannya telah berkurang satu.

“Beck, jangan pernah berubah ya!” pinta Memon. “Tetap jadi Beck yang baik ya!”

Beck mengangguk pelan.

Tiba-tiba Beck merasa ada yang menubruknya. Memeluk dan mencium pipinya.

“Beck, aku pasti sangat merindukanmu,” ujar Norah setengah terisak. “Sebenarnya aku ingin kau terus ada di sini. Tapi Drafisty pasti akan membakarku, dan X2 pasti akan bilang aku jahat. Dan yang paling parah Memon pasti memasungku dan mengumumkan kalau aku tidak berbudaya.”

Beck mencoba melepaskan pelukan Norah. “Tenang, kapan-kapan kau boleh main ke duniaku, kok,” bujuk Beck. “Aku pasti akan menerima kalian dengan senang hati.”

“Sudah, Norah! Sudah saatnya Beck kembali,” perintah Alexandra tegas.

Norah melepas pelukannya dan mundur bergabung dengan teman-temannya.

Charlie kini berdiri di hadapan Beck. Diulurkannya jari telunjuknya pada dahi Beck. Sesuatu yang hangat seakan menjalari isi kepalanya saat itu. Thufry pun mulai mengepakkan sayapnya. Terbang melingkar hingga gerbang itu terbuka. Bercahaya amat terang. Perlahan Beck menghilang ke dalam gerbang yang cahayanya mulai redup dan tertutup itu.

“Dia sudah pulang. Dia tidak akan mengingat kita dan juga Balse,” ujar Charlie.

Seketika Norah meraung. Menangis sejadi-jadinya. Inilah sifat cengengnya yang sering membuat Drafisty jengkel. Tapi kini Drafisty mengerti akan tangisan itu. Tak selamanya tangisan itu menjengkelkan, karena meski tidak dapat merubah keadaan, tangisan dapat sedikit meringankan perasaan. Membuat seseorang dapat jujur dan lepas dari kepura-puraan yang membelenggu.

Tapi bagaimanapun Norah tidak pernah melakukan sesuatu yang berada pada tahap normal. Hingga mau tak mau Drafisty tidak bisa mencerna bahwa tangisan Norah itu adalah hal yang positif.

“Stop, Norah!” bentak Drafisty yang merasa gendang telinganya nyaris hancur karena raungan Norah. “Apa-apaan kau ini?”

“Aku sedih, Sty. Patah hati. Aku menyukai Beck. Sangat menyukainya,” jerit Norah tidak kalah kerasnya dengan bentakan Drafisty. “Tapi dia akan melupakanku. Aku sedih. Apa tidak boleh?”

“Norah, aku mengerti perasaanmu,” hibur Alexandra lembut. “Yang menyukai Beck bukan hanya dirimu kan?”

Norah menghentikan raungannya. “Maksudmu?”

“Kita semua menyukainya, Norah,” jelas Memon. “Kita semua kehilangan dia. Tapi kita tidak boleh menahannya di sini. Dia punya kehidupan sendiri yang tidak boleh kita campuri.”

“Beck itu baik. Dia sangat polos. Ku rasa semua orang pasti menyukainya,” timpal Drafisty pula. “Tapi bukan berarti kau boleh merasa bahwa hanya kau yang kehilangan Beck. Jadi hentikanlah tangisanmu yang sumbang itu!”

Mereka semua tertawa mendengar kritikan Drafisty. Norah hanya mendengus kesal sembari menyeka air mata yang memenuhi wajahnya.

“Aku benar-benar menyukainya loh,” Norah bersikeras. “Sangat suka.”

Norah kembali menangis. Drafisty pun akhirnya jadi merasa tidak tega untuk terus memperolok Norah.

“Ya sudah! Menangislah sampai kau merasa lega!” saran Drafisty terdengar begitu tulus. “Tapi setelah itu, jangan pernah mengingatnya! Kita harus bisa melupakannya.”

Norah mendekap Drafisty, tangisnya tumpah semakin menjadi.

Ada secercah rasa salut pada diri Drafisty terhadap Norah. Norah begitu apa adanya. Dia tidak pernah mencoba untuk selalu tampak tegar. Ketika sedih dia tak malu untuk menangis. Terkadang Norahpun dapat diandalkan. Sungguh sosok wanita yang sesungguhnya. Jujur dan sensitif. Tidak seperti dirinya yang tak pernah bisa jujur. Yang selalu dibayang-bayangi oleh gengsi akan harga diri. Selalu ingin tampak tegar dan kuat. Padahal sesungguhnya sangat rapuh.

Bersambung ke Bab 14, Rumah

Bab 12, Kenyataan yang Tersimpan

“Ratu, tolong jelaskan semua ini!” pinta Alexandra ketika mereka duduk dan berkumpul di sebuah ruangan di dalam istana yang tampak tidak begitu hancur.

Ratu Loja hanya diam. Pandangannya menerawang entah kemana.

“Ibu, jelaskanlah!” pinta Memon karena ratu hanya diam.

Ratupun menghela nafas. “Kau bukan anakku Alexandra.”

“Tapi ibu...”

“Kau pun juga bukan anakku, Me.”

Pernyataan ratu tadi tak hanya membuat Memon terbelalak, tapi mereka semua tak mengerti akan apa yang telah ratu katakan.

“Kalian berdua memang kembar. Alice, ibu kalian. Dia meninggal beberapa menit setelah melahirkan kalian.”

Satu lagi kenyataan yang membuat semua tercengang meluncur dari mulut ratu.

“Ibu, lelucon seperti apa lagi ini?” tanya Memon masih tidak percaya.

Sekali lagi ratu menghela nafas. Terasa amat berat.

“Ini kenyataan, Me. Bukan lelucon,” jelas ratu pelan.

“Bagaimana mungkin? Mengapa selama ini tidak ada yang beritahu aku?”

“Belum saatnya, Me.”

“Kapan? Harus sampai kapan?” jerit Memon kesal. “Apa harus menunggu saat seperti ini?”

Ratu Loja menunduk. Ada beribu perasaan berkecamuk di dalam kepalanya. Sedih. Itulah yang tercermin di wajahnya saat itu.

“Maaf, Me. Itulah janjiku pada Ayahmu, Raja Loja.”

Sekuat tenaga Memon menepis kursinya hingga terjatuh. Menimbulkan suara nyaring yang membuat semuanya terkejut.

“Ceritakan padaku!” bisik Memon lirih. “Ceritakan padaku semua yang kau ketahui sekarang!”

Tak terelakkan lagi. Memon sungguh kesal. Dia kecewa atas semua yang tidak dia ketahui selama ini. Dibohongi oleh orang-orang yang dia sayangi. Dia seperti orang bodoh. Selama ini dia tidak benar-benar mengenal orang di sekitarnya. Bahkan orangtuanya.

Disaat seperti ini biasanya Alexandra akan menarik kursi dan mempersilahkan orang tersebut duduk. Kemdian menenangkannya dengan segelas air. Tapi sekarang Alexandra hanya diam. Sesungguhnya dia sendiri sangat marah. Dalam hatinya berteriak. Memaki kedua orangtuanya yang telah tega membiarkan dirinya terbuang selama ini.

Sedangkan Drafisty, Norah dan Thufry tak berani berkata apa-apa. Mereka seperti penonton yang setia menunggu akhir cerita. Temperamen saat ini terlalu panas untuk mereka campuri. Bisa-bisa mereka justru kena semprot.

“Ini masalah keluarga, orang lain tidak boleh ikut campur,” batin mereka.

Ratu berdiri dari duduknya. Berjalan sembari menatap ke luar jendela.”Aku, Alice, Lotus dan Jack adalah teman baik,” Louis memulai ceritanya. “Tapi sesungguhnya sejak semula aku mencintai Lotus, ayah kalian,” Lois menggoreskan jarinya pada kaca jendela yang berembun. Seakan teringat pada kenangan yang hanya dia yang tahu. “Namun pada akhirnya Lotus memilih Alice. Mereka menikah,” suara Louis mulai terdengar parau. Meski dia membelakangi. Tapi mereka berlima menyadari air mata pada wajah Louis. “Aku patah hati saat itu. Ketika keadaanku kacau Jack muncul. Menemaniku, menghiburku. Hingga akhirnya perlahan aku bisa melupakan Lotus dan menggantikannya dengan Jack.”

Mereka tak bereaksi apa-apa. Mereka hanya diam mendengarkan Louis seolah mengerti untuk tidak menyela.

“Tapi Jack sangat terobsesi pada manusia terpilih. Tiba-tiba saja dia menghilang. Aku terus menunggunya tapi dia tak kunjung kembali.”

Louis menyeka air matanya.

“Saat itu aku kembali bertemu Lotus. Aku yang ditinggal Jack dan dia yang kehilangan Alice. Kami berdua merasakan kesedihan yang sama. Rasa sakit yang sama. Hal itu membuat kami saling mengerti dan merasa saling membutuhkan. Akhirnya aku dan Lotus menikah.”

“Dan Jack? Dia menganggupmu menghianatinya?”

“Aku tak pernah tahu bahwa Jack telah kembali hingga Lotus menyadari bahwa dia memiliki seorang putri lagi. Dan dia berada pada Jack.”

Ratu kembali menarik nafas dalam sekedar untuk meringankan paru-parunya yang terasa amat sesak.

“Lotus menyadari keberadaan putrinya itu setelah melihat cicin yang Memon kenakan.”

“Cincin?” bisik Memon bingung. “Maksudmu cincin ini?” memon menunjuk satu-satunya cincin yang melingkar di jarinya. Cincin permata merah yang berkilau indah.

Louis membalik tubuhnya. “Ya, cincin itu.”

“Bagaimana mungkin? Apa kau pikir cincin itu dapat bicara dan bilang pada raja kalau dia memiliki seorang putri lagi?” celutuk Norah.

“Secara tidak langsung, Alice lah yang mengatakannya.”

“Kau sendiri yang bilang, dia meninggal beberapa menit setelah melahirkan. Jadi bagaimana bisa?”

“Lagi pula cincin ini aku terima dari peramal istana.”

Louis mencoba tersenyum. Tapi tetap saja kesedihan yang terukir di wajahnya.

“Tepat satu hari sebelum melahirkan kalian, Alice menitipkan cincin itu pada peramal istana. Dia minta agar cincin itu diberikan pada putrinya bila telah berusia lima belas tahun.”

“Lantas apa anehnya cincin ini?”

“Itu adalah cincin yang dikenakan oleh Lotus dan Alice. Cincin yang akan membendung dan membantu mengendalikan kekuatan segel dan kunci pada diri mereka.”

“Tapi hanya ada satu cincin.”

“Kelihatannya. Tapi sesungguhnya ada dua cincin yang kau kenakan,” jelas Louis pada Memon.

Memon memandang cincin pada jarinya. Seakan tersadar oleh satu hal Memon melepas cincin itu hingga akhirnya terlepas menjadi dua buah cincin.

“Ini...”

“Ya. Alice menyadari bahwa dia mengandung dua orang putri. Dia menyadari bahwa telah ada segel dan kunci baru pada rahimnya. Tapi dia tidak punya cukup waktu untuk mengatakannya pada Lotus.”

“Saat kalian berdua lahir. Ada tanda kunci dan segel pada bahu kiri kalian. Karena itu putri yang terlahir sebagai kunci di buang tanpa Lotus ketahui.”

“Sebaliknya Alice ingin kalian tetap bersama. Karena itu dia melepas cincin yang membuat dia dan Lotus dapat terus bersama dan memberikannya pada kalian berdua.”

“Alice sang kunci?”

“Ya. Karena cincin itulah dia dan Lotus dapat bersama. Tapi semua berakhir saat cincin itu dilepas.”

Louis kembali duduk di kursinya.

“Kau pasti sering di rasuki kan, Me?” ujar Louis yakin.

Memon menatap bingung pada Louis. “Bagaimana kau tahu?”

“Itu Alice. Dia ingin tahu apakah Lotus berhasil mengambil Alexandra kembali. Dia ingin pastikan kalian dapat hidup bersama. Menjadi keluarga sebagaimana mestinya.”

“Mereka tidak pernah membuangmu, Al. Mereka meyayangimu lebih dari siapapun. Mereka ingin kalian bahagia,” jelas Louis pada Alexandra.

Alexandra tak bersuara sedikitpun sejak Louis bercerita. Dia terus diam. Dia bahkan tak tahu apa yang dia rasakan setelah mengetahui semua kenyataan ini. Haruskah dia merasa bahagia karena tahu bahwa dia tak pernah dibuang ataupun tak diinginkan? Atau haruskah dia merasa sedih karena kenyataannya dia benar-benar telah membunuh ayahnya? Dia bahkan tak sempat merasakan hidup di tengah keluarganya yang sebenarnya.

“Jadi benar?” lirih Alexandra akhirnya. “Jadi benar kalau akulah yang telah membunuh raja?” sebutir air mata menetes dan mengalir di pipinya. “Aku membunuh ayahku. Anak seperti apa aku ini?”

“Itu takdir, Al.”

Semua mata tertuju pada sumber suara yang entah sejak kapan berdiri di pintu ruangan itu.

“Takdir? Apa maksudmu, Charlie?” tanya Drafisty tidak mengerti. “Itu terlalu...”

“Terlalu kejam.” Potong Charlie sebelum Drafisty menyelesaikan perkataannya. “Itulah takdir mereka yang mewarisi simbol kunci dan segel.”

“Kau tahu sesuatu,” buru Alexandra pada Charlie. “Kau tahu sesuatu kan?”

“Tidak,” jawab Charlie tenang. Ditariknya sebuah kursi dan duduk bergabung dengan mereka. Semua mata tertuju padanya saat itu.

“Aku tahu segalanya,” jelas Charlie. “Aku keturunan cenayang biru. Penggores kisah awal semua ini.”

Charlie menyandarkan tubuhnya pada kursi. Tanpa diminta Charliepun menceritakan semuanya. Seakan tahu pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di dalam kepala mereka semua yang ada di ruangan itu.

“Berabad-abad yang lalu, dunia ini dihuni oleh berbagai makhluk. Mulai dari manusia, penyihir, cenayang dan rixions.”

“Rixions?” Norah merasa asing dengan kata-kata itu.

“Ya. Rixions. Sebuah makhluk yang dibenci oleh semua makhluk lainnya. Dia sangat sombong, rakus dan seenaknya. Tak ada hal baik padanya. Dia tidak memiliki bentuk. Hanya seperti bayangan hitam yang bervolume.”

“Entah bagaimana, cenayang biru pendahuluku merasa sangat kasihan pada rixions yang selalu sendiri itu. Secara perlahan akhirnya dia bersahabat dengan rixions. Dan lama-kelamaan para cenayang biru dapat menerimanya.”

“Menerima makhluk dengan sifat buruk seperti itu?”

Charlie mengangguk. “Kemudian rixions menanyakan apakah ada mansia yang dapat menerimanya seperti para cenayang biru menerimanya saat itu. Para pendahulukupun mencoba mencari tahu. Setelah mencari hingga keluar dimensi akhirnya mereka menemukan manusia itu. Dia memiliki sifat yang mendekati sifat para cenayang biru. Dan untuk menandainya para cenayang biru menyalurkan energi pada hatinya hingga dapat menarik batu gerbang dimensi. Energi itu akan terus diturunkan pada manusia yang memiliki sifat sepertinya. Dan itu hanya terjadi setiap seratus tahun.”

“Tapi pada akhirnya para cenayang biru menyadari bahwa rixions hanya memperalat mereka untuk mendapatkan tubuh. Kekuatan rixions akan sempurna bila dia memiliki tubuh. Karena itu dia memanfaatkan sifat ecnayang biru yang berhati polos.”

“Akhirnya mereka menebar dua simbol. Segel dan kunci untuk mengurung rixions dan kekuatannya. Simbol kunci ditanamkan pada penyihir dan segel pada manusia. Merekalah yang akan menahan rixions agar terkurung di perbatasan dimensi.”

“Tapi rixions sangat kuat. Meski telah terkurung dia masih bisa mengutuk para cenayang biru. Bahwa jiwa cenayang biru akan terlelap hingga mereka tidak menyadari darah cenayang mereka. Dan bila mereka membunuh manusia darah mereka akan berubah menjadi biru. Darah itu akan terus membiru dan menambah kekuatan rixions.”

“Lantas mengapa aku ditakdirkan untuk membunuh raja?”

“Karena tidak boleh ada dua kunci maupun segel di dunia ini,” jawab Charlie. “Sang kunci harus membunuh segel terdahulu untuk melindungi kekuatan segel yang baru. Begitu pula sebaliknya. Seharusnya hal itu tidak akan merusak segel hingga menyebabkan sixions dapat melepaskan kekuatannya. Namun segel terdahulu terbunuh saat segel baru mengenakan cincin permata merah. Hal itu membuat kekuatan segel terambang dan terbuka.”

“Tapi, Charlie. Bila memang begitu mengapa saat pertama kami bertemu Beck dia sama sekali tidak jahat? Bahkan dia tidak memiliki kekuatan apa-apa,” tanya Norah.

“Rixions tidak dapat merasuki manusia yang tidak menginginkan atau memanggilnya. Seharusnya Beck tidak akan terasuki karena dia tidak pernah tahu menahu akan rixions. Pasti ada sesuatu hal yang membuatnya memangil kekuatan itu.”

“Itu salahku,” bisik Drafisty. “Seandainya aku tidak memaksakannya, tidak terus-menerus mendesaknya. Dia pasti tidak akan...”

“Bukan salahmu, Sty,” hibur Norah. Tapi Drafisty sudah terlanjur merasa bersalah. Dia bangkit dan meninggalkan ruangan itu. Norah mencoba menyusulnya tapi Alexandra dengan sigap menarik tangan Norah.

“Biarkan dia menenangkan diri dengan caranya sendiri!”

Norahpun mengurungkan niatnya semula dan kembali duduk di kursinya.

“Jadi apa yang harus aku dan Memon lakukan untuk menyelesaikan semua ini?”

“Pakai cincin itu sesuai dengan simbol yang kalian miliki!”

“Kemudian?”

“Segel kembali kekuatan rixons. Karena tadi aku hanya menyadarkan jiwa Beck yang terlelap. Yang dapat menyegel rixions hanyalah sang simbol dan segel,” jelas Charlie. “Kemudian kembalikan Beck pada dimensinya! Mengenai ingatannya, dia tidak akan pernah tahu bahwa dia pernah nyaris menghancurkan dunia.”

“Kau masuk dan menghapus ingatannya sesukamu?” pekik Norah tak percaya. “Itu terlalu jahat. Beck bukan boneka yang dapat kau perlakukan sesukamu.”

“Itu lebih baik daripada dia tahu. Kau bisa bayangkan seberapa terpukulnya dia nanti,” Charlie membela perbuatannya. “Dia terlalu baik untuk mengetahui apa yang telah dia lakukan.”

Bersambung ke Bab 13, Pulang

Bab 11, Ternyata Sebaliknya

Di dalam ruang makan yang tenang itu Memon, Raja dan Ratu Loja beserta Charlie sedang menikmati makan malam mereka. Suasana yang sangat sunyi tidak seperti di luar yang sedang diguyur badai.

Sesekali terdengar dengusan putri Memon setiap kali matanya bertemu pandang dengan Charlie yang duduk di hadapannya. Memon tambah kesal terhadap Charlie. Apalagi sejak Beck menghilang. Charlie jadi lebih sok akrab dengan orangtuanya. Memon yakin, Charlie ada di balik hilangnya Beck. Tapi dia tidak punya bukti.

“Huh!” dengus Memon lagi saat dia memergoki Charlie mencuri pandang padanya. “Berhentilah menatapku!” bentak Memon yang sudah hilang kesabarannya.

“Memon..” bisik ratu Loja memperingati.

Memon mendelik kesal pada Charlie. Tapi Charlie justru tersenyum melihat reaksi Memon yang menurutnya sangat manis itu.

Suasana kembali tenang hingga akhirnya pintu ruangan itu terbuka dengan sangat kasar.

BRUK!!!

Tiba-tiba saja seluruh jendela terhempaskan oleh angin hingga terbuka. Sesosok tubuh tampak berdiri di balik pintu itu.

“Beck?” seru Memon yang bingung sekaligus bahagia. “Kau kembali, Beck?”

Charlie menatap Beck tak percaya. “Tidak mungkin. Kau masih hidup?” bisiknya pelan. Sangat pelan hingga hanya dia yang dapat mendengar bisikan itu.

Putri Memon yang sangat senang bisa bertemu Beck lagi langsung menghambur pada Beck tanpa perduli dengan acara makan malamnya. Tapi Beck sama sekali tidak memperdulikan Memon. Beck justru melaluinya. Memon cukup shock untuk apa yang baru saja terjadi. Beck yang biasanya ramah kini begitu dingin. Memon membalikkan tubuhnya dan menatap Beck yang saat itu mengacungkan tangannya ke arah raja Loja. Kemudian perlahan diangkatnya tangannya ke atas. Raja terangkat dari kursinya. Seolah tercekik sesuatu raja Loja mencoba meraih lehernya.

“Beck?” bisik Memon tak percaya akan penglihatannya. “Beck! Apa yang kau lakukan?” teriak Memon pada Beck yang sama sekali tidak perduli.

***

“Al, sekarang bagaimana? Kita harus kemana?” tanya Thufry yang sedari tadi mengekor pada ketiga penyihir itu.

“Entahlah. Mungkin kita harus mengikuti perkataan Beck yang kau dengar. Kita harus langsung ke istana, tempat di mana merupakan pusat kekuatan Balse” jawab alkexandra seadanya.

“Lihat! Cahaya seakan terserap ke suatu tempat!” seru Norah.

“Manusia terpilih. Dia pasti sudah berada di istana. Cahaya itu pasti terserap ke istana,” bisik Drafisty. “Kurasa kita harus menuju ke istana secepat mungkin. Kita tidak boleh terlambat. Firasatku buruk sekali.”

“Baiklah. Kita harus lebih cepat lagi!” seru Alexandra mulai berlari.

“Stop!” cegah Norah tiba-tiba. Alexandra, Drafisty dan Thufry pun menghentikan langkah mereka.

“Kenapa? Kita tidak punya banyak waktu,” protes Drafisty.

“Kita memang tidak punya banyak waktu. Tapi kalau ingin ke istana berarti kita harus melewati kota. Apa kalian lupa alasan mengapa kita bersembunyi? Para manusia murni itu. Mereka memburu dan membunuh kita, para penyihir. Kita bahkan akan kehilangan segalanya bila melewati kota,” jelas Norah menggebu.

“Maaf. Aku terlalu gegabah,” sesal Alexandra.

“Bukan salahmu, X2. kita semua jadi bersemangat karena menusia terpilih bangkit,” hibur Norah.

“Jadi bagaimana kita bisa melalui kota? Kita belum bisa terbang seperti para penyihir senior.”

“Tenang, Sty! Kita memang belum bisa terbang. Tapi kita sudah mempelajari teleportasi,” jelas Norah.

“Tidak, Norah! Kita bahkan belum pernah mencobanya,” tolak Alexandra tegas.

“Tidak ada pilihan. Lagi pula bila kita menggabungkan kekuatan kita dan berkonsentrasi kita pasti bisa berhasil. Kita hanya butuh sedikit keberanian,” Norah bersikeras. Sesaat Norah tampak lebih dewasa dari biasanya.

Memang benar. Tidak ada pilihan bagi mereka. Alexandra menatap teman-temannya.

“Baiklah. Kita akan coba. Tapi bila kalian merasa ada keanehan. Segera hentikan!” ujar Alexandra akhirnya.

Mereka mengangguk serentak. Tanpa perdebatan lagi merekapun mulai menggabungkan kekuatan. Seberkas cahaya jingga menyelimuti mereka.

***

Tubuh Beck terhempas ke dinding. Seketika darah mengalir dari pelipisnya. Raja Loja kembali menyerangnya dengan sihir. Sebuah cahaya biru membungkus Beck. Kesadarannya hilang.

Memon tak percaya melihat apa yang terjadi. “Raja seorang penyihir?” belum sempat bingung itu hilang tiba-tiba saja bola api menghantam raja Loja saat dia hendak menyerang Beck kembali.

“Hentikan, Raja!” perintah Alexandra. “Kau menyakiti manusia terpilih.”

“Alexandra, Norah dan Drafisty. Akhirnya kalian muncul,” ujar raja Loja. “Sudah kuduga. Masih ada witch yang tersisa.”

“Apa maksud perkataan yang mulia?”

“Kalian harus lenyap,” raja Loja mengacungkan tangannya kepada ketiga penyihir itu. Mereka bertigapun terhempas oleh kekuatan yang sangat besar.

“Tidak boleh ada witch yang tersisa. Kalian hanya akan menggagalkan rencanaku.”

“Jangan bercanda! Aku bertahan selam ini untuk hidup,” seru Drafisty sambil mengarahkan sihirnya pada raja Loja. Dia terhempas.

“Aku juga tidak mencita-citakan untuk mati!” susul Norah.

Tiba-tiba saja raja mengerang seakan menahan sakit yang teramat perih. Dia menggeliat selayaknya hewan buruan yang terpanah. Perlahan dia mengelupas seperti seekor ular. Berubah menjadi sosok orang lain. Perlahan sosok itu mulai jelas.

“Ayah?” bisik Alexandra tak percaya. “Ternyata kau...”

“Cukup, Al! Aku bukan ayahmu,” ujarnya sambil bangkit. “Kau sangat bodoh. Tak ku sangka sangat mudah mengendalikan dirimu.”

“Aku tidak mengerti atas apa yang ayah bicarakan.”

“Apa kau tak pernah menyadari bahwa kau dan Memon sangat mirip. Terlalu mirip untuk menjadi orang lain.”

“Apa maksudmu?” Alexandra semakin bingung dengan omongan lelaki tersebut.

“Kalian kembar. Kau putri Alexandra yang dibuang sejak lahir,” ujar lelaki itu. Alexandra hanya terdiam. Dia tidak pernah berpikir akan hal itu.

“Bukan begitu, Lois? Kau sudah lama tahu bukan?” ujarnya pada Ratu.

“Aku...” Ratu tak berani berpendapat.

“Aku tidak percaya!” seru Alexandra. “Ini hanya omong kosong. Kau bohong.”

“Aku tidak bohong, Al. Semua yang kukatakan benar,” ujar lelaki itu lagi. “Kau dibuang oleh penasehat istana karena memiliki simbol kunci itu. Kau terlahir sebagai pembuka segel. Aku megetahui semua itu. Oleh sebab itu aku memungutmu. Membuatmu berpikir bahwa akulah ayahmu.”

“Kau bohong,” Alexandra menghantamkan sihirnya.

“Aku tidak pernah bohong,” elak lelaki itu sambil mematahkan sihir Alexandra. “Tanpa kau sadari kau telah menjadi senjataku untuk membunuh raja. Sang segel.”

“Itu tidak mungkin,” bantah Norah. “X2 tidak pernah membunuh raja. Kau hanya ingin menjatuhkannya, iya kan?”

“Hahaha..” seringainya tampak sangat menjijikkan. Lelaki itu melangkah hingga berada tepat di depan Alexandra yang mematung. “Kau ingat? Kau pernah menyerang seorang pria. Kau pikir orang itu mencoba membunuhku. Kau ingat kan?”

“Tidak mungkin,” lirih Alexandra tak percaya.

“Saat itu raja Loja tahu bahwa putrinya yang hilang ada padaku. Dia mencoba memintanya. Tapi aku menolak,” senyum licik terukir pada wajah lelaki itu. “Pertengkaran pun terjadi. Dan akhirnya, tanpa kau sadari kau telah membunuh raja. Ayahmu. Dan menghancurkan segel yang mengunci manusia terpilih beserta kekuatan jahat itu. Kau lah yang menimbulkan kehancuran ini.”

“TIDAK!!”

“Itulah kebenarannya. Kenyataan yang harus kau terima.”

Udara berat menghantam lelaki itu hingga membentur dinding. “Alexandra tidak seperti itu. Bukan dia yang salah.”

“Seberapa besarpun ketidakpercayaanmu itu tidak akan dapat merubah kenyataan,” ujar lelaki itu. “Alexandra, kau lah yang membebaskan kekuatan jahat ini. Dan dunia akan hancur karenanya.”

“Tidak! Manusia terpilih, dia akan menyelesaikan semua ini,” bantah Drafisty.

“Hahaha... dasar bodoh,” lelaki itu kembali menarik ujung bibirnya. Seolah merasa menang. “Kalian terlalu tidak tahu. Kalian pikir untuk apa manusia terpilih itu muncul?”

“Dia akan menyelamatkan kami.”

Lelaki itu kembali bangkit. Mendekati Beck yang masih belum sadarkan diri dan terbungkus cahaya. “Memang, manusia terpilih akan menarik kembali kekuatan jahat yang telah merasuki hati manusia,” lelaki itu menatap penuh kemenangan. “Tapi dengan kembalinya kekuatan jahat itu padanya justru akan membangkitkan sisi iblis manusia terpilih.”

“Itu tidak mungkin.”

“Manusia terpilih justru akan menghancurkan dunia.”

“Kau bohong.”

“Menyakitkan memang. Tapi itulah kenyataannya.”

“Itu tidak benar,” Drfisty tidak dapat lagi membendung emosinya. Bangunan itu begetar. Membuat semua yang ada di dalam ruangan itu porak poranda.

“Tenang, Sty!” bujuk thufry yang sejak tadi diam. “Pasti ada jalan keluar.”

Drafisty sama sekali tidak memperdulikan Thufry. Semua yang dia harapkan hancur. Ternyata selama ini benar-benar sia-sia. Drafisty terduduk. Tubuhnya lemas karena tenaganya cukup banyak terkuras.

“Beck tidak mungkin menghancurkan dunia. Dia bukan orang jahat sepertimu,” ujar Memon dengan suara bergetar.

Lelaki itu tidak menjawab. Dai hanya menatap angkuhlah tidak memperdulikan apa yang telah Memon katakan.

“Sebenarnya apa yang kau inginkan?” akhirnya ratu Loja angkat bicara. “Apa yang kau inginkan, Jack?”

“Jangan pernah sebut nama itu lagi!” ujarnya sembari menghempaskan ratu. “Kau yang membuat kebencian itu lahir dalam diriku, Louis. Kau yang menghianatiku.”

“Kebencian itulah dirimu.”

“Diamlah! Aku ingin kau hidup untuk menyaksikan kehancuran ini.”

Perlahan cahaya biru yang menyelubungi Beck memudar. Seakan terserap ke dalam tubuhnya. Beck membuka matanya. Saat itu pula gncangan besar meretakkan tanah. Membuat istana perlahan mulai tenggelam.

“Manusia terpilih. Kemarilah! Bekerjasamalah denganku dan ikuti perintahku!”

Beck menatapnya. Mendekat dan kemudian...

BRUK!!!

Jack terhempas dengan sangat keras. Nafasnya terhenti seketika.

“Aku tak butuh perintah,” ujar Beck dengan suara yang asing. Suara itu kasar dan penuh kebencian. Sungguh dalam seakan berasal dari dasar neraka. “Manusia dan penyihir terlalu lemah untuk menjalani kehidupan,” ujar Beck seranya menatap mereka semua. “Aku akan bantu kalian untuk mengakhirinya.”

Beck mengacungkan tangannya pada Memon. Seberkas sinar meluncur dari ujung jarinya. Sinar itu melaju sambil terus menyerap cahaya di sekitarnya.

Memon menutup matanya. Dia takut. Tak mampu bergerak meski hanya untuk mengelak. “Aku akan mati,” bisiknya dalam hati. Memon merasakan tubuhnya terhempas kebelakang. Dia membentur dinding istana yang tak berhenti bergetar karena terus tenggelam. Punggungnya terasa sakit. Tapi hanya itu. Dia tidak mati.

“Charlie???” pekik Memon tak percaya. Dihadapannya Charlie tergeletak tak sadarkan diri. Dia tidak terluka. Tapi cahaya di sekitarnya kian redup seakan terhisap oleh sesuatu.”Charlie, kenapa menolongku? Padahal tak sedetikpun aku pernah baik padamu,” Memon merangkul Charlie. Air mata tak kuasa lagi untuk ditahannya. “Jangan mati Charlie!!”

“Anak bodoh. Padahal nanti dia juga akan ku bunuh,” ujar Beck yang telah berada di depan Memon.

“Jangan bunuh dia!” seru ratu Loja sambil menghantamkan kursi pada Beck. Kursi itu patah. Beberapa serpihannya menancap pada tubuh Beck. Tapi sedikitpun Beck tidak terlihat merasa sakit.

“Manusia bodoh. Aku tidak selemah manusia sepertimu,” Beck menggenggam leher ratu Loja kemudian menghempaskannya hingga terjerumus menghantam tiang ruangan itu.

Alexandra mengarahkan sihirnya pada Beck. Tapi Norah justru menepis sihir itu.

“Apa-apaan kau ini Norah?” tanya Alexandra tak percaya. “Kenapa melindunginya?”

“Maaf, X2,” bisik Norah sembari menunduk. “Aku tidak bisa bila Beck harus terluka.”

“Dia bukan lagi Beck yang kita kenal. Dia penghancur. Dia kekuatan jahat yang terkumpul.”

“Justru karena itu. Beck tidak melakukan semua ini. Karena itu aku tak ingin tubuhnya dilukai,” Norah menatap Alexandra penuh kebimbangan. “Mengertilah!”

“Tidak ada waktu untuk mengerti, Norah!” seru Drafisty sambil menghantamkan sihirnya. Beck pun tergeser beberapa langkah.

“Penyihir bodoh. Sebesar apapun kekuatanmu takkan mampu mengalahkanku.”

Beck tampak mulai gusar. Diacungkannya tangannya keudara seakan memanggil petir. Saat itu pula angin berhembus lebih kencang. Udara di ruangan itu terasa sangat penuh hingga mereka semua merasa udara di sekitarnya memberat. Terus-menerus menekan mereka. Sungguh menyesakkan.

Mereka tak mampu lagi untuk berdiri. Lutut mereka gemetar. Bukan karena takut, tapi mereka merasa benar-benar berat. Terlalu berat meski hanya untuk menopang tubuh. Satu persatu dari mereka mulai jatuh. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa mereka mencoba menopang tubuh mereka dengan kedua lengan mereka yang sudah mulai gemetar pula.

“Sty, X2, Thu,” bisik Norah. “Maafkan semua kesalahanku, ya!”

“Apa maksud perkataanmu?” tanya Drafisty, suaranya bergetar.

“Tak ada harapan, Sty,” jawab Norah. Suaranya terbata. Air mata menetes dari kedua sudut matanya. Tubuhnya mulai jatuh, tangannya tak mampu lagi menopang tubuh kecilnya itu.

“Aku tak pernah ingin kita mati sebelum aku menebus kesalahanku,” bisik Alexandra pada dirinya sendiri.

Beberapa kali dengan berharap pada sisa tenaganya dia mencoba mematahkan sihir Beck. Tapi hasilnya hanya sia-sia. Udara di ruangan itu justru terasa semakin penuh dan berat. Oksigennya seakan tak mengalir. Rasanya sesak. Lebih menyesakkan ketimbang kenyataan atas kesalahan. Apakah semua akan berakhir dalam kesedihan. Apakah ini tidak bisa berakhir seperti dongeng-dongeng yang selalu berakhir bahagia dengan kemenangan di pihak yang baik?

Tangisan Norah mulai terdengar. Isakan dan sedu sedannya tak lagi terdengar menjengkelkan di telinga Drafisty. Norah memang cengeng. Tapi di saat nyawa berada pada ambang batas, seorang pemberani sekalipun dapat menangis bukan?

Drafisty tak membentak ataupun mengejek Norah. Justru tatapan ibalah yang diperlihatkannya. Sebenarnya dia sangat ingin menangis. Tapi harga dirinya yang tinggi itu tidak akan dia relakan untuk runtuh di saat-saat terakhir. Menangispun tak akan mengubah kenyataan. Mereka tidak bisa apa-apa. Hanya menunggu kehancuran. Kematian.

Entah mengapa Drafisty merasa berat untuk semua itu. Padahal sejak masalah itu muncul. Sejak para manusia memburu penyihir, dia sudah menyiapkan mental untuk mati. Saat itu Drafisty memang sendiri dalam sepi, hingga hidup seakan tak berharga. Tapi kini dia punya sesuatu yang berarti, sesuatu yang akan selalu menemaninya mengusir sepi. Hingga ketika harus berhadapan dengan kematian itu sendiri, rasa berat dan tak rela justru menyelubunginya.

Dalam ambang akhir di mana pasrah telah meradang itu pikiran Alexandra terbang. Kenangan akan pertemuannya dengan Drafisty dan Norah seakan terputar ulang. Ketika dia hanya sendiri karenan kekacauan Balse itu, ketika dia berpikir tidak punya siapa-siapa sehingga bila dia matipun tak akan ada yang menangisi bahkan mungkin tak ada yang akan menyadari. Saat di mana dia berpikir kalau air matanya tidak akan pernah mengalir lagi karena tidak akan ada lagi yang dapat membuatnya menangis ataupun sesuatu yang dapat ditangisinya. Saat itu matipun tak mengapa. Karena tidak akan ada yang ditinggalkan. Tapi sekarang? Alexandra tak rela untuk mati. Dia mempunyai sahabat yang menopangnya. Yang meyakinkannya bahwa dia tak lagi sendiri.

“Hidupku tak lagi tidak berarti. Aku punya tujuan. Aku punya keinginan dan impian.”

Tiba-tiba saja angin berhembus. Seolah ada kipas angin raksasa di lantai sehingga mengalirkan angin yang sangat kencang itu. Hanya dalam hitungan detik angin kencang itu hilang dan udara kembali normal. Tak lagi terasa berat. Tidak lagi terasa sesak. Beban itu seakan lenyap oleh kesungguhan yang meringankan. Akankah semua kembali berjalan sesuai dengan harapan?

Beck sangat terkejut menyaksikan semua itu. “Sihir apa itu? Kenapa bisa mematahkan sihirku?” teriaknya gusar.

Kembali untuk kedua kalinya beck mengacungkan tangannya seperti pertama yang dia lakukan. Tapi...

“Tak perlu kau coba lagi!” seru Charlie yang entah sejak kapan telah sadar. “Itu bukanlah sihir. Itu kekuatan yang sama dengan kekuatan yang telah mengalahkanmu dulu.”

“Kau?” bisik Beck seakan tersadar oleh sesuatu.

“Ya. Akulah salah satu keturunan cenayang biru,” ujar Charlie. “Kau mengutuk kaumku karena telah berpaling darimu dan berbalik membela manusia dan penyihir. Kau menyiksa kaumku dan generasi mereka karena kami menyadari kebusukan hatimu. Iblis yang kini berada dalam tubuh manusia terpilih.”

“Charlie yang menyebalkan itu seorang cenayang biru?” pekik Norah tak percaya.

Namun tak satupun dari mereka yang menanggapi ucapan Norah. Mereka sudah cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Alexandra seorang putri dan manusia terpilih bukanlah pahlawan seperti yang mereka bayangkan, justru sosok yang akan membuat semua menjadi berantakan. Kini mereka mengetahui bahwa Charlie adalah cenayang biru.

“Bukankah cenayang biru hanyalah legenda?” tanya Memon bingung.

“Manusia terpilih juga legenda. Tapi keduanya kini jadi nyata,” bisik Thufry kakjub.

Entah bagaimana mulanya pertarungan itupun terjadi. Beck pun mencoba menghantamkan sihirnya pada Charlie. Tapi lagi-lagi muncul hal aneh yang membuat semua tak habis pikir.

“Bagaimana mungkin? Kenapa aku tidak bisa mengeluarkan sihirku?”

Beck sungguh gusar. Berkali-kali dia mencoba mengeluarkan sihirnya, tapi tak satupun sesuai dengan apa yang dia harapkan.

“Kau belum menyadarinya juga?” lirih Charlie tenang. “Kekuatanmu adalah rasa benci, sakit hati, takut, marah, dendam, tamak, munafik dan hal busuk lainnya yang kau tanam di hati setiap makhluk,” Charlie mendekati Beck perlahan. “Tapi manusia, penyihir dan makhluk lainnya memiliki rasa sayang, perasaan cinta, kesetiakawanan dan tanggung jawab. Kekuatanmu lemah akan hal itu. Selama rasa itu masih mereka miliki, kau masih terkalahkan.”

Charlie tepat berada di depan Beck. Disentuhnya dahi Beck pelan. Sangat pelan seakan Beck terbuat dari berlian yang rapuh. Saat itu pula seakan ada yang berteriak dari tubuhnya. Sungguh gelap dan berbau busuk. Membuat ruangan itu terasa dingin dan hampa. Seakan jatuh ke dasar dunia dan kehilangan segalanya.

Perlahan semua kembali normal. Bumi berhenti bergetar. Istana pun tak lagi tenggelam. Tapi Beck dan Charlie jatuh pungsan. Mereka telah kehabisan tenaga sepertinya.

Dengan sigap mereka menopang keduanya ke kamar.

“Ini seperti mimpi,” Lirih Norah.

Drafisty menarik tongkat sihirnya dan memercikan api ke pada Norah.

“Sakit, Sty,” protes Norah.

“Berarti bukan mimpi, kan?”

Bersambung ke Bab 12, Kenyataan yang Tersimpan

Bab 10, Bangkitnya Manusia Terpilih

Sore itu langit sungguh hitam. Angin bertiup kencang seolah memperingati dunia bahwa akan turun badai.

Sementara itu, Beck seakan menikmati hempasan angin yang menerpanya. Dia berdiri menatap langit dengan hampa. Sedangkan Thufry lebih memilih untuk berlindung di balik tiang penyangga menara yang cukup tinggi.

“Thu, menurutmu apa keistimewaanku?” tanya Beck tanpa berpaling.

“Kenapa? Kau masih ragu pada takdirmu?” Thufry balik bertanya.

Beck menghela nafas sesaat kemudian membalikkan tubuhnya. “Bukan begitu, hanya saja...” pandangan Beck kembali menerawang. Bayangan kehidupannya dulu melintas silih berganti. Dengan seragam yang biasa dikenakan oleh anak-anak lain sebayanya. “Hanya saja selama ini aku hidup sebagai manusia biasa. Ini terlalu berat.”

“Kau mungkin masih ragu karena ini terlalu tiba-tiba,” jelas Thufry.

“Entahlah, Thu. Mungkin Drafisty benar. Aku tak layak menjadi manusia terpilih.”

“Jangan terlalu diambil hati. Drafisty memang berwatak keras, bicaranya juga tidak manis. Tapi dia baik,” hibur Thufry.

“Dia selalu mencoba tampak kuat seakan tidak memerlukan orang lain, tapi kenyataannya dia sangat lemah. Dia butuh perlindungan. Meskipun dia tak pernah menunjukkan air matanya dengan mudah, tapi dia menangis dalam setiap detik hidupnya. Tak ada yang dapat mengerti apa yang dia rasakan. Karena rasa sakit dan sepi itu telah dia terjemahkan menjadi sesuatu yang sulit untuk dimasuki oleh orang lain,” jelas Thufry panjang lebar.”Meski tampak kuat dan tegar, sesungguhnya dia sangat rapuh.”

Kembali angin kencang itu menghembus. Kini diiringi dengan curahan air langit. Setitik demi setitik akhirnya langit menumpahkan hujan. Kian lama angin pun bertiup lebih kencang lagi menggoyangkan ujung-ujung dedaunan. Sesekali kilat menampakkan cahayanya dari sela-sela puncak pohon yang rindang itu.

“Beck, hujan,” ujar Thufry. “Ayo masuk! Sebelum kau lebih basah lagi.”

Beck tidak menjawab, tapi diturutinya kata-kata Thufry. Diapun melangkahkan kakinya menuju menara. Tapi....

“BECK!!!”

Beck tak cukup cepat untuk menghindari petir yang menyambarnya. Seperti bom nuklir di hirosima. Di sekeliling Beck seolah tertutup oleh kubah udara. Meledak dan menghempaskan semua yang ada di dekatnya. Thufry mencoba bertahan dengan cara mengepakkan sayapnya sekuat mungkin. Meski itu sia-sia dan membuatnya tetap terhempas membentur dinding.

Saat ledakan itu mulai reda Thufry dapat melihat Beck. Berdiri seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

“Beck?” lirih Thufry. Didekatinya Beck. Diperhatikannya dengan seksama. Masih utuh tanpa segores luka pun. “Beck, kau baik-baik saja?” tanya Thufry sekedar untuk meyakinkan dirinya bahwa Beck masih hidup.

Tapi Beck tidak menjawab. Dia justru beralik. Thufry sempat mendengar gumaman aneh dari mulut Beck.

“Aku harus ke istana.”

Kemudian Beck melompat turun dari menara itu.

Thufry hanya terdiam. “Ini cukup tinggi, Beck,” bisiknya. Seketika dia menyadari apa yang telah dia saksikan. “Manusia terpilih?”

Secepat mungkin Thufry masuk, tanpa sempat menyadari apa saja yang dilintasinya. Sekarang harus menemui semuanya.

“Thufry?” seru Norah sambil mengangkat Thufry yang terjatuh karena menabraknya. “Kenapa buru-buru?”

“Beck. Ah! Bukan. Tapi manusia terpilih. Dia bangkit.”

“Aku tidak mengerti, Thu. Coba bicarakan pada X2 saja ya!”

“Ugh! Dasar payah,” Thufry langsung terbang mencari Alexandra dan Drafisty. Norah pun mengekor di belakangnya.

“Um... Thu. Bukankah Beck dan manusia terpilih itu satu?” gumam Norah.

Thufry sama sekali tidak menjawab. Setelah menyusuri beberapa ruangan akhirnya Thufry berhasil menemukan Alexandra dan Drafisty.

“Ada apa?” tanya Alexandra bingung ketika melihat pemandangan aneh itu. Thufry dengan Norah yang mengekorinya.

“Manusia terpilih, Al,” ujar Thufry menggebu-gebu. “Dia bangkit.”

“Maksudmu?” tanya Drafisty yang tiba-tiba tertarik. “Bagaimana ceritanya?”

“Entah lah. Tadi tiba-tiba saja petir menyambar Beck. Lalu sebuah ledakan dan Beck seolah menjadi orang lain.”

“Tunggu! Ledakan?” potong Norah bingung. “Aku sama sekali tidak merasakan ada ledakan tadi.”

“Kurasa kami juga tidak merasakannya,” ujar Alexandra disusul anggukan Drafisty. “Mungkin kau mengigau, Thu.”

“Aku tidak mengigau. Itu terjadi.”

“Lantas di mana Beck sekarang?”

“Dia...” Thufry mencoba mengingat-ingat apa yang didengarnya tadi. “Ah! Istana!”

“Istana?” mereka bertiga nyaris berteriak serentak.

“Ya. Tadi Beck sempat bilang, dia harus ke istana. Lalu dia langsung pergi.”

Drafisty langsung bangkit dan menghambur keluar mencoba mengejar Beck. Alexandra, Norah dan Thufry pun langsung mengikutinya.

“Manusia terpilih. Dia bangkit. Sekarang harapan itu mulai bertiup pada kami,” batin Drafisty. Ya! Saat-saat seperti inilah yang sudah cukup lama dia tunggu. “Kebangkitan manusia terpilih yang akan menyelesaikan masalah ini.”

Bersambung ke Bab 11, Ternyata Sebaliknya

Bab 09, Bisa Apa Aku?

Pagi itu sinar matahari menerobos melalui kaca jendela tak bertirai. Jatuh menyinari Beck yang pingsan sejak semalam. Di sampingnya Norah terduduk tidur sambil menyender di tepi tempat tidur. Tampaknya dia benar-benar mengantuk dan lelah karena merawat Beck semalaman.

Di pintu, tampak Drafisty berdiri mematung menatap keduanya. Di benaknya masih terasa beribu tanya. Apa benar Beck seorang manusia terpilih? Kenapa sangat tidak meyakinkan. Sungguh jauh dari bayangannya mengenai sosok manusia terpilih.

Drafisty melangkahkan kakinya menuju Beck. Decit langkahnya sama sekali tidak mengusik keduanya. Drafisty menatap Beck. Meneliti dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mencari keistimewaan yang dimiliki Beck hingga dia pantas disebut manusia terpilih.

“Polos… seperti putri tidur,” bisiknya.

Baru Drafisty sadari bahwa wajah Beck begitu bersih bagai bayi. Cahaya dari jendela yang tepat menyinari wajahnya membuatnya tampak seperti malaikat tak berdosa. Drafisty mendekatkan wajahnya pada Beck. Mencoba melihat lebih jelas. Diulurkannya tangannya menyentuh dahi Beck. Seketika Drafisty merasa Beck bersinar. Itu bukan cahaya dari jendela. Beck lah yang mengeluarkan sinar itu. Drafisty menarik wajahnya kembali.

“Ng... Sty? Itu kau?” tanya Norah yang masih setengah tidur.

“Emh... ya.”

“Ada apa?”

“Ng...” Drafisty berpikir mencari alasan. Terlalu gengsi baginya untuk mengakui bahwa dia ingin menjenguk Beck. Seketika ide menghampirinya. “Aku hanya ingin mengantarkan es ini,” ujarnya sambil menyodorkan baskom berisi es yang baru saja diciptakannya dengan sihir.

“Oh...” ujar Norah sambil menerima baskom berisi es tersebut. “Terima kasih.”

Drafisty langsung berbalik hendak keluar ruangan. Tapi Norah segera mencegahnya.

“Sty!” panggil Norah. “Bisa tolong gantikan aku sebentar? Aku mau ke kamar mandi. Mau cuci muka,” pinta Norah.

Drafisty diam sesaat kemudian mengangguk pelan.

“Terima kasih,”Norah langsung berlari ke luar kamar.

“Tapi hanya sebentar ya!” susul Drafisty. Norah hanya melambaikan tangan mengisyaratkan iya.

Drafisty duduk di tempat Norah tertidur tadi. Dipandanginya Beck. Tak ada yang berubah darinya. Masih manusia biasa. Kecuali sinar yang tadi sempat mengagetkannya. “Mungkin itu hanya halusinasiku saja,” elak Drafisty.

“Apa benar kamu manusia terpilih itu? Lantas kenapa kamu tidak punya kekuatan apa-apa? Perlihatkan padaku, apa keistimewaanmu!”

Drafisty menundukkan kepalanya. “Manusia terpilih itu istimewa. Hanya manusia terpilihlah harapan terakhir kami, agar kami bisa kembali hidup normal. Kalau memang kamu orangnya, perlihatkanlah kekuatanmu!”

Sebutir air mata menitik dari sudut matanya. Diseka dan ditengadahkannya wajahnya agar air mata itu tidak mengalir lebih banyak lagi.

“Aku sudah kehilangan orang-orang yang kusayangi. Aku sudah berkali-kali kecewa. Kumohon, jangan kecewakan aku!”

Drafisty meninggalkan Beck sebelum Norah kembali dan melihat sosoknya yang cengeng. Ini bukan dirinya yang biasa. Dia selalu tampil tegar dan keras. “Menangis bukanlah bagian dari hidupku selama ini.”

Drafisty bingung. Dia takut Beck bukan manusia terpilih. Dia ragu apa Beck bisa menyelesaikan semua ini. Dia sendiri tidak benar-benar mengerti akan apa yang terjadi padanya.

***

“X2, apa kau lihat Beck?” tanya Norah yang tiba-tiba saja muncul ke ruang baca dengan wajah paniknya.

“Bukankah kau dari tadi menjaganya?” tanya Drafisty tanpa terdengar cemas sedikitpun.

“Ya, tadi,” jawab Norah. “Tapi tadi lagi-lagi aku ketiduran. Terus waktu aku bangun dia sudah tidak ada.”

Alexandra bangkit dari duduknya kemudian tanpa kata-kata dia melangkah ke luar ruangan.

“Kenapa kau begitu bodoh, Norah?” sungut Drafisty.

“Jangan salahkan aku dong!” rutuk Norah tidak mau disalahkan.

“Tapi kalau bukan karena kelalaianmu dia tidak akan hilang.”

“Mana ku tahu kalau dia akan menghilang. Kalau aku tahu, aku pasti berusaha sekuat tenaga agar tidak tertidur,” ujar Norah hampir menangis. “Bagaimana ini?”

“Ng... Maaf.”

Norah langsung membalik tubuhnya. Tampak olehnya Beck berdiri di pintu dengan wajah polosnya. Langsung saja Norah menghampiri dan memeluk Beck. Diapun menangis sejadi-jadinya.

“Dasar cengeng. Sok manis,” sungut Drafisty kemudian melanjutkan membacanya.

Sementara itu Beck menjadi bingung sendiri. Tiba-tiba saja seorang cewek yang tidak dikenalnya memeluk dan menangis padanya.

“Tempat ini aneh,” batinnya.

“Tadi aku melihatnya bersama Thufry,” ujar Alexandra menjelaskan. “Ku kira kau sudah tau.”

“Sebenarnya aku ingin membangunkanmu. Tapi kau tampak lelah sekali, jadi...”

“Lain kali jangan menghilang seperti itu! Aku cemas,” rengek Norah tanpa melepas pelukannya.

“He-eh,” ujar Beck sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan Norah. Sadar usahanya itu sia-sia akhirnya Beck memutuskan untuk pasrah.

“Ng... boleh aku tanya sesuatu? Aku tidak tahu siapa kalian dan sebenarnya apa yang telah terjadi?”

Drafisty berhenti membaca dan menatap Alexandra. Memintanya untuk menjelaskan semua pada Beck.

Alexandra duduk di kursinya. Di depan perapian.Beck menatapnya, menunggu penjelasan yang akan keluar dari mulut Alexandra. Alexandra menghela nafas berat. Dia bingung bagaimana cara menjelaskannya agar Beck mengerti dan tidak shock. Selain itu, dia sendiri bingung harus mamulai ceritanya dari mana. Semua yang terjadi terlalu tiba-tiba.

“Begini, Beck. Kami ini penyihir,” ujar Alexandra. Seperti yang sudah dia duga, Beck sangat terkejut. Sebelum Beck pingsan dia segera melanjutkan bicaranya. “Aku Alexandra, dia Drafisty, dan yang berada di dekatmu itu Norah,” Alexandra memulai perkenalan itu dengan singkat. “Saat ini kami nyaris musnah. Entah mengapa, tiba-tiba saja manusia murni menjadi sangat kejam. Mereka jadi egois dan tak memiliki akal. Mereka menghancurkan apa yang mereka temui. Mereka bahkan membunuh sesamanya demi materi yang tidak seberapa. Hati mereka seakan telah tertutup oleh dengki dan kegelapan. Menyedihkannya, pihak istana yang tidak mengalami perubahan justru beranggapan kalau semua itu ulah penyihir. Mereka berpikir bahwa penyihir ingin mengacaukan kota agar dapat menguasai kerajaan. Karenanya mereka memusuhi kami. Bila bertemu penyihir maka mereka menangkapnya, membunuh dan memasung penyihir itu. Tak hanya itu, belakangan mereka mulai memburu kami. Padahal kami tidak tahu apa kesalahan kami. Kami merasa tidak melakukan apapun hingga dapat merusak hubungan baik antara penyihir dan manusia murni. Sekarang Balse sudah benar-benar kacau. Bukan hanya tak mau menerima kehadiran penyihir, merekapun berusaha untuk memusnahkan kami.”

“Kenapa tidak gunakan sihir untuk membela diri? Lantas apa hubungan semua itu denganku?”

“Kami tidak bisa menggunakan sihir untuk itu. Ada beribu alasan yang tidak mungkin kau mengerti,” Alexandra menatap kosong ke langit-langit. “Beck, menurut ramalan penyihir tetua, akan datang manusia terpilih dari dimensi lain untuk menyelamatkan kami dan menyelesaikan semua ini.”

“Kau lah orangnya,” seru Norah yang masih menggandeng lengan Beck.

“Aku? Tapi aku bahkan tidak bisa sihir. Aku bisa apa?”

“Setiap manusia mempunyai kekuatannya sendiri. Kau pasti punya keistimewaan, Beck.”

“Kalian pasti salah orang. Aku hanya siswa SMA biasa. Hidup normal tanpa ada kelebihan.”

“Tidak mungkin salah, Beck,” ujar Thufry yang tiba-tiba muncul. “Hanya batu gerbang dimensi sepertiku dan manusia terpilih yang dapat menjelajah dimensi. Kau lah orangnya.”

“Tapi bagaimana aku menolong kalian? Aku tidak bisa apa-apa,” Beck bersikeras.

“Sekarang kita belum tahu apa yang bisa kau lakukan. Tapi aku yakin, nanti kita akan menemukan keistimewaan dalam dirimu,” jelas Alexandra.

Beck masih ragu. Semua terlalu aneh. Tiba-tiba saja Thufry muncul, kemudian dia berpindah ke Balse, dan sekarang dia harus menerima kenyataan bahwa nasib ketiga penyihir itu berada di tangannya. Terlalu menekan.

Drafisty sudah kehabisan kesabaran. Dihempaskannya buku yang tadi dia baca. Semua mata memandang ke arahnya.

“Kalian lihat sendiri kan? Dia sendiri meragukannya.”

Drafisty tampak sangat kesal. Harapan mereka hanyalah manusia terpilih. Tapi apa yang dia temui jauh dari harapannya.

“Kau memang tak layak jadi manusia terpilih. Kau manusia biasa. Kau tak layak!” Drafisty berseru nyaris berteriak. Wajahnya merah padam. Dia sungguh kesal. Beck terdiam mendengar semua itu.

“Sty, kata-katamu keterlaluan,” protes Norah.

“Kenapa masih mengharapkannya? Dia sendiri tak yakin bisa,” Drafisty bersikeras.

Alexandra tak bisa menemukan kata-kata untuk menenangkan Drafisty. Dia tahu Drafisty, bukanlah mudah untuk meyakinkannya.

“Waktu terus berjalan dan kita tidak melakukan apa-apa. Penantian kita selama ini bodoh, tak berarti, buang-buang waktu, tak ada hasilnya,” maki Drafisty kesal.

Drafisty menghambur ke luar. Alexandra menatap Thufry memberi isyarat agar Thufry menyusul Drafisty. Tanpa banyak komentar Thufry menurut.

***

Drafisty menenggelamkan wajahnya di bantal. Menjerit mengeluarkan semua kekesalannya. Menangis menyalurkan kecewanya. Sesekali dia teriak, padahal dia bukanlah cewek yang mudah mengalirkan air mata.

Thufry memandangnya beberapa saat sambil melayan-layang di atasnya. Menunggu Drafisty agak tenang agar dia bisa bicara.

“Sty,” tegur Thufry pelan ketika Drafisty mulai agak tenang.

Drafisty membalik badannya menatap Thufry yang masih melayang. Disekanya air matanya agar bisa melihat dengan jelas.

“Sty, apa sebegitu kecewanya dirimu?”

Drafisty tidak menjawab pertanyaan Thufry. Dia justru memalingkan wajahnya, menatap kosong ke luar jendela.

“Maaf kalau manusia terpilih yang ku bawa ternyata mengecewakanmu.”

“Bukan begitu, Thu,” jawab Drafisty lirih tanpa beralih menatap Thufry. “Aku tidak kecewa pada siapa pun,” Drafisty kemudian bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya. “Mungkin akulah yang sangat bahagia saat manusia terpilih ditemukan. Kau tahu khan, Thu? Semua keluarga dan orang-orang yang kusayangi telah dibunuh. Dan sekarang, aku tidak bisa hidup dengan damai. Satu-satunya harapanku hanyalah manusia terpilih,” Drafisty kembali menyaka air matanya yang mulai mengalir lagi, suaranya pun mulai terdengar serak dan tenggelam. “Tapi manusia terpilih itu justru pesimis. Harapanku habis sudah.”

Drafisty kembali menangis. Kali ini dia tidak menyeka air matanya. Dibiarkannya saja agar pandangannya kabur. Dia tidak ingin melihat apapun.

“Thufry merendahkan terbangnya hingga sejajar dengan wajah Drafisty.

“Sty, Beck itu manusia. Dia tidak punya kekuatan seperti kita,” Thufry mencoba menjelaskan. “Tapi percayalah, Sty! Beck itu manusia terpilih. Dia pasti punya keistimewaan untuk menyelesaikan masalah kita ini.”

Drafisty memalingkan pandangannya dari Thufry lagi. “Dia tidak yakin.”

“Kita lah yang harus meyakinkannya! Kita lah yang harus menyemangatinya!”

“Thu... aku ingin sendiri.”
Thufry mengerti keadaan Drafisty. Dia pun berbalik meninggalkannya.

Bersambung ke Bab 10, Bangkitnya Manusia Terpilih

Bab 08, Cari dan Temukan

Kegelapan menyelimuti sosok pemuda yang berjalan sambil meraba sekelilingnya. Dia adalah Beck. Sesekali Beck terjatuh dan menimbulkan bunyi yang menggema.

“Ini di mana sih?” keluhnya bingung. “Gelap. Lembab. Mana jalannya gak selesai-selesai.”

Beck kembali mencoba berdiri dari jatuhnya tadi dan mencoba berjalan lagi. Sebenarnya kakinya mulai pegal. Sudah berjalan selama berjam-jam. Sudah berpuluh-puluh kali dia terjatuh. Sekarang rasanya ingin sekali beristirahat dan memejamkan mata sejenak. Tapi memejamkan mata atau tidak pun, tidak ada bedanya. Sama-sama gelap.

“Kenapa aku bisa sampai di sini?” sungutnya. “Semua terlalu aneh. Mula-mula aku muncul di istana, kemudian sekarang aku sudah berada di tempat yang tidak dapat aku terka.”

“Kenapa jalan ini gak ada habisnya? Kenapa juga matahari gak terbit-terbit. Jangan-jangan…” pikirannya mulai memberi analisa yang mengerikan. “Tidak! Tidak mungkin! Setiap jalan selalu ada akhirnya, dan bumi tidak mungkin berhenti berotasi hingga siang tak muncul,” elaknya mencoba menenangkan diri. “Semua kemungkinan terburuk itu tidak mungkin terjadi. Setidaknya untuk sekarang.”

***

“Norah…!!!” panggil Drafisty. “Kau sudah siap? Kita harus cepat! Agar bisa menemukan manusia terpilih secepat mungkin.”

Norah tak langsung menjawab. Yang terdengar hanya bunyi benda terlempar membentur pintu.

“Bisa tunggu sebentar, Sty? Aku sedang mencari sesuatu yang sangat amat teramat penting.”

Drafisty mendengus kesal kemudian membuka pintu kamar Norah dengan kasar. Tapi tiba-tiba saja bola kristal kecil meluncur ke wajahnya. Secara spontan tangannya berhasil menangkap bola berkilau nan indah itu sedetik sebelum sampai di hidungnya.

“Perbuatanmu itu sangat berbahaya,” sungut Drafisty.

Norah sama sekali tidak menanggapi perkataan Drafisty. Dia sekarang justru beralih memeriksa kolong lemari bahkan samapai ke atap ruangan juga.

Drafisty yang merasa dicuekin bingung melihat tingkah Norah. Baru kali ini dia panik sampai pucat begitu. Meski hampir semua hal dapat membuatnya panik, tapi ini berbeda dari biasanya.

“Apa yang kau cari?”

“Sesuatu yang penting,” jawab Norah singkat.

“Yang penting? Bukankah semua yang kau miliki adalah yang penting?” pikir Drafisty bingung. “Apa sesuatu yang penting itu? Tongkat sihirmu, ya?” Tanya Drafisty.

“Tahu kah kau, Sty? Ada benda lain yang lebih penting daripada sekedar tongkat sihir di dunia ini.”

Sty mengernyit. Sesuatu yang lebih penting daripada tongkat sihir? Jangan-jangan… “heh! Apa yang kau maksud itu bodylotion-mu?” tebak Drafisty.

“Sty, please! Jangan bercanda sekarang! Bodylation memang penting. Apalagi di luar hutan ini sedang terik-teriknya. Tapi itu tidak mungkin hilang karena selalu kubawa kemana-mana,” sungut Norah jengkel.

“Lantas apa? Termos air? Buku panduan sihir? Bantal? Kotak makan? Kantung tidur? Tenda? Atau mungkin…”

“Sty!” potong Norah cepat sebelum Drafisty menyebutkan benda-benda tak berguna lainnya. “Aku serius. Benda ini sangat penting.”

“Maaf… tapi bukankah semua yang kusebutkan tadi sangat penting bagimu?”

Norah mendelik kesal.

“Maaf,” ujar Drafisty lagi.

Norah kembali membongkar isi lemarinya. Tapi tetap saja dia tidak menemukan benda yang dicarinya. Sekali lagi dia memeriksa tempat tidurnya.

Drafisty merasa sangat bosan melihat tingkah Norah. Norah khan tidak pernah bisa mengartikan kata ‘penting’ dengan benar. Dia selalu punya sudut pandang yang berbeda akan ‘penting’ dengan orang lain. Drafisty pun mulai memperolok Norah lagi. “Norah, kenapa tidak sekalian saja lantai ini kau bongkar?”

Norah memandang Drafisty sejenak. Tak lama kemudian terukir senyum kecil di bibirnya. “Ya! Aku menyimpannya di lantai karena takut nantinya terkena percikan api dari tongkat sihir tololmu itu.”

Segera saja norah membuka lantai tepat di bawah Drafisty dengan tongkat sihirnya. Hal itu membuat Drafisty terpaksa melompat mundur.

“Itu berbahaya, Norah!”

Norah sama sekali tidak memperdulikan perkataan Drafisty. Langsung saja dia mengambil peti yang penuh debu yang ada di dalam lantai yang baru saja dibukanya.

“Apa pentingnya sih peti berdebu kayak gitu?”

“Orang sepertimu tidak akan mengeti betapa berharganya benda yang ada dalam peti ini,” sungut Norah kesal.

Norah membuka peti itu dengan sangat hati-hati. Kemudian mengambil benda yang dia bilang sangat berharga dan penting itu.

Drafisty mendekat untuk melihat benda itu. Matanya terbelalak saat melihat apa yang Norah pegang. Bukan karena kagum. Melainkan karena kecewa.

“Peta Balse dan Seluruh Daerah yang Ada di Dalamnya.”

“Ini yang kau bilang penting?”

“Lihat dulu! Di dalam sini ada peta Witch Foerst, hutan tempat kita berada ini. Kemudian ada peta Hell Forest, Stone Forest, forest fall into oblivion dan Dismissal forest.”

“Hei! Jangan bilang kau tidak hapal daerah itu,” pekik Drafisty tak percaya. Norah hanya diam tak menjawab. Tapi itu sudah cukup menjelaskan. “Kau bahkan lebih payah dibanding Thufry.”

“Itu bukan urusanmua,” bantah Norah kesal, “Sekarang semua sudah beres, kita bisa berangkat.”

Drafisty masih ingin sedikit mengolok Norah. Tapi Norah benar, mereka harus segera berangkat mencari manusia terpilih itu.

Drafisty berbalik keluar dari kamar itu dan berjalan menghampiri Alexandra yang sedang membicarakan sesuatu dengan Thufry.

“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Tanya Drafisty ingin tahu.

“Ah! Tadi aku menanyakan tempat Thufry pertama kali muncul di Balse.”

“Lantas?” Tanya Norah yang baru saja muncul. “Dimana?”

“Dark Forest.”

“Apa itu artinya dia juga ada di sana?” Tanya Drafisty.

“Entahlah. Tapi aku tidak merasakan keberadaannya.”

“Sudahlah! Sebaiknya kita mulai saja pencariannya sekarang!” seru Norah. “Kita akan mulai lagi dari nol.”

Drafisty dan Alexandra memandang jengkel ke arah Norah. Perkataannya itu jelas membuat Thufry semakin merasa bersalah. Tapi tampaknya Norah sama sekali tidak menghiraukan kedua sahabatnya itu.

“Ok, X2. sekarang menurutmu apa yang harus kita lakukan?”

“Kurasa dengan kekuatan kita semua, kita bisa mencoba mengirim telepati padanya untuk mengtahui keberadaannya,” saran Alexandra.

“Apa dia bisa menerimanya? Bukankah waktu itu dia bisa menerima telepatimu karena ada Thufry di dekatnya?” Tanya Drafisty.

“Mengapa tidak berdiri di puncak menara kemudian berteriak memanggilnya?” saran Norah asal.

“Itu sama sekali tidak berguna, Norah,” sanggah Drafisty.

“Sudahlah! Jangan mulai lagi!” Alexandra langsung mencegah terjadinya perang mulut antara Norah dan Drafisty. Karena tatap mata peperangan itu sudah tampak pada keduanya. “Lebih baik kita mulai mencari manusia terpilih itu. Bukankah lebih cepat lebih baik?”

“Yeah… ku rasa kau benar, Al.”

“Baik. Kita pending dulu masalah kita ini,” sungut Norah mensetujui.

“Tapi dari mana kita memulai mencarinya?” tanya Thufry.

“Dari tempat dimana kau tidak menginginkan dia berada,” ujar Alexandra. Semua menatapnya untuk menuntut penjelasan lebih lanjut. “Ini hanya sebuah pengalaman,” ujarnya lirih.

Semua mulai berpikir. Mengernyitkan dahi. Memutar otak. Mengetuk-ngetukkan jari telunjuk. Tapi hanya dua tempat yang terbayang oleh mereka.

“Dark Forest…”

“Dan istana…”

“Kita mulai dari Dark Forest saja,” usul Thufry.

“Tapi bukannya kau bilang kalau kau tidak merasakan keberadaannya di sana saat kau muncul?” sanggah Drafisty.

“Entahlah, Sty. Aku meraa harus ke sana.”

“Kalau begitu tunggu apa lagi? Lebih baik kita berangkat sekarang,” usul Norah sambil mengangkat ransel besarnya.

Semua mengangguk setuju dan berangkat menuju Dark Forest.

***

“Uh…” lirih Beck dalam gelap. “Rasanya capek banget. Apa gue masih bisa keluar dari tempat ini?”

Beck kembali berjalan. Langkahnya tertatih. Meski dari kejauhan tapi Beck merasa ada setitik cahaya dihadapannya. Beck mempercepat langkahnya. Sebuah kastil tua yang diselubungi cahaya berada di hadapannya. Dindingnya sudah hijau tertutup lumut. Di beberapa bagian yang luput dari lumutpun catnya sudah mengelupas. Tak terawat. Seperti sudah lama ditinggalkan.

“Apa mungkin ada orang di dalam?” pikirnya.

Beck membuka pintu kastil itu. Deritannya sempat membuat Beck bergidik. Suasana yang lembab dan sunyi membuat kastil itu tampak angker. Ditambah lagi sarang laba-laba dan debu yang menumpuk di sekujur ruangan seakan berkata tak ada siapa-siapa di kastil itu.

“Permisi… saya Beck. Saya tersesat dan tidak tahu jalan pulang,” serunya. “Apa saya boleh numpang istirahat di sini?” Beck tetap mencoba sopan meski dia tidak berharap akan menemukan seseorang di kastil tak terawat itu.

Tidak ada jawaban sama sekali. Yang terdengar hanyalah suaranya sendiri yang menggema di dalam kastil tua itu.

“Benar-benar tidak ada orang ya?” batin Beck. “Apa kastil ini memang kosong?”

Matanya berkeliling mengamati ruangan itu. Kertas dindingnya mulai pudar dan mengelupas. Peraborannya pun sudah mulai tebal terlapis debu. Ruangan itu terasa sangat sumpek dan membuatnya sesak.

Beck melangkah menelusuri ruangan itu dan beralih memasuki ruangan lainnya. Ruangan itu lebih kecil dan terdapat sebuah tangga yang dapat mencapai puncak menara. Beck menaiki tangga itu dan berhenti di depan sebuah pintu yang kenopnya cukup bersih, tidak berdebu sama sekali. Dibukanya pintu itu. Ternyata di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan yang jauh lebih terawat dari pada ruangan di bawah tadi. Bahkan ada sisa kayu bakar di tungku pemanas.

“Apa orang-orang di kastil ini sedang keluar?” pikir Beck. “Mungkin tidak apa-apa kalau gue istirahat di sini sebentar. Gue cepek banget.”

***

“Thu, apa kau sudah merasakan keberadaannya?” tanya Norah sambil menyeka keringatnya. Sapu tangannya sudah cukup basah untuk diperas. Berjalan itu sangat melelahkan, ditambah lagi dengan bawaannya yang banyak itu.

Thufry menggeleng. “Mungkin dia benar-benar tidak ada di sini.”

“Apa mungkin dia ada di istana?” Tanya Drafisty.

“Aku harap dia berada di tempat lain yang tifak terpikirkan oleh kita,” lirih Alexandra. “Istana terlalu menakutkan.”

“Aku juga berharap begitu, tapi…”

“Kenapa sih? Kalian kok jadi pesimis begitu? Mungkin saja dia ada di sini. Di suatu tempat yang sulit di jangkau oleh telepati,” seru Norah.

“Thank’s, Norah. Kurasa kau benar,” ujar thufry.

“Ng, ya. Aku memang selalu benar kok,” ujar Norah bangga. “Tapi bisa tidak kalau pencariannya kita lanjutkan besok? Aku sudah sangat lelah. Lagi pula sudah mulai gelap,” pinta Norah.

“Baiklah. Kita pulang,” ujar Alexandra.

***

“Aku mau berendam dengan air panas untuk menghilangkan rasa pegal di sekujur tubuhku ini,” ujar Norah sesampainya di depan kastil.

“Ya-ya. Kau boleh berendam sampai besok pagi,” timpal Drafisty.

“Thu, ada apa? Kau lihat apa?” Tanya Alexandra pada Thufry yang memandang serius ke puncak kastil.

“Apa kau juga melihatnya? Ada asap keluar dari cerobong,” ujar Thufry.

Ketiga penyihir itu serempak melihat kecerobong yang Thufry maksud.

“Ya, aku melihatnya.memang kenapa? Apanya yang aneh kalau dari cerobong asap keluar asap?” Tanya Norah. “Kalau dari cerobong asap keluar air itu baru aneh.”

“Norah! Kau ini bodoh sekali. Bukankah tadi apinya mati. Bagaimana mungkin kalau sekarang cerobongnya berasap,” sungut Drafisty.

“Eh?” gumam Norah baru nyambung.

“Jangan-jangan ada orang di dalam kastil. Apa kita sudah ketahuan?” bisik Alexandra. Suaranya bergetar. Tampak sekali kalau rasa takut sudah menyelubunginya.

“Lebih baik kita periksa!” usul Thufry.

Dengan agak ragu Alexandra mengangguk. “Ayo!” ajaknya sambil melangkah memasuki kastil.

Mereka melangkah dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Perlahan dari lantai dasar kemudian menyusuri tangga menuju ruang di mana tungku itu berada. Dengan pelan Alexandra membuka pintu ruangan itu dan mengintip ke dalam.

“Ada seseorang,” bisiknya.

“Biar aku yang hadapi,” ujar Drafisty kemudian masuk ke dalam ruangan. Tanpa basa-basi lagi diancungkannya tongkat sihirnya. Orang itu terpental kesamping. “Itu baru permulaannya saja,” ujar Drafisty. “Seharusnya kau jangan bertindak sendiri kalau mau menangkap witch!”

Semua masuk ke dalam ruangan itu dan berdiri di belakang Drafisty.

“Orang itu bangkit dan berbalik dngan susah payah. Draffisty sudah siap untuk menyerangnya lagi. Tapi tiba-tiba saja Thufry berteriak.

“Stop, Sty! Dia bukan musuh.”

“Apa maksudmu? Dia diam-diam masuk ke kastil kita,” Tanya Drafisty bingung.

“Apa mungkin dia… manusia terpilih itu?” tebak Alexandra. “Apa benar begitu?”

Thufry mengiyakan. Norah dan Drafisty terdiam.

Alexandra mendekati Beck.

“Kau manusia terpilih yang akan menyelamatkan kami kan?” Alexandra mencoba meyakinkan dirinya.

Thufry terbang di samping Alexandra. “Hi Beck,” sapanya ramah.

Beck merasakan sakit yang amat perih di kepalanya. Otaknya terasa mau pecah. Ingatannya seakan memutar kembali kejadian-kejadian yang ada dalam memorinya. Membongkar berkas-berkas yang telah terlupakan olehnya. Sinar yang begitu menyilaukan. Pemintaan tolong yang terus menggema. Dan sayap yang mengepak. Kejadian itu seperti film yang rusak, tampil tak beraturan. Silih berganti dengan cepatnya membuat matanya panas.

“Thufry?” bisik Beck. “Sekarang gue ingat.”

“Ya, akhirnya aku menemukanmu, Beck.”

“Ya,” jawab Beck kemudian pingsan. Lelah jelas terukir di wajahnya yang basah oleh peluh itu.

“Apa benar dia manusia terpilih itu?” tanya Drafisty tak yakin. “Dia terlalu lemah. Aku hanya memberinya sedikit benturan tapi dia sudah pingsan.”

“Bukan karena seranganmu. Dia pingsan karena otaknya sudah menguras habis tenaganya untuk mengembalikan ingatannya yang tersimpan,” jelas Thufry.

“Aku juga berpendapat begitu,” ujar Norah memihak Thufry. Dia mendekat menghampiri Beck. Dia ingin melihat Beck lebih jelas.

“Thu, tadi kau memanggilnya Beck, apa itu namanya?” tanya Norah.

“Ya,” jawab Thufry. “Namanya memang agak aneh.”

“Tapi dia cukup manis kok,” ujar Norah centil.

“Jangan mulai lagi Norah!” ujar Drafisty sambil menyimpan kembali tongkat sihirnya.

“Itu benar kok, Sty.”

“Thu, apa dia benar-benar tidak apa-apa?” tanya Alexandra tanpa perduli dengan perdebatan Norah dan Drafisty yang mungkin akan menjadi perang seperti biasanya itu.

“Ku rasa iya. Dia hanya butuh istirahat.”

“Dia agak demam,” ujar Norah. “badannya panas.”

“Akan ku siapkan air untuk kompres,” ujar Alexandra.

“Cepat ya X2! Biar aku yang merawatnya nanti,” sambut Norah semangat. “Ayo Thu! Bantu aku memindahkan Beck. “

“Baiklah.”

“Sty, apa kau tak mau ikut membantu?” tanya Norah.

“Tidak. Ku rasa kalian sudah cukup,” tolak Drafisty sambil membalikkan badannya. Beralih pada kursi duduk di depan perapian.

“Ya sudah. Terserah kau saja,” ujar Norah. “”Ayo, Thu!”

Drafisty duduk di kursinya. “Kenapa semudah ini? Apa dia benar-benar manusia terpilih itu? Ini terlalu tiba-tiba, terlalu cepat dan gampang,” pikir Drafisty. “Dan mengapa mereka semua begitu percaya padanya?” Drafisty menghela nafas. “Seandainya dia benar-benar manusia terpilih itu, bagaimana dia bisa melindungi kami? Melindungi dirinya sendiri saja tidak bisa.”

“Sty,” sapa Alexandra membuyarkan semua yang terpikir olehnya. “Kau pasti berpikir kalau dia terlalu lemah. Boleh-boleh saja kau berpikir begitu. Tapi jangan lupa, Sty! Setiap manusia memiliki kekuatan yang amat besar dalam dirinya. Mungkin saja dia belum menyadarinya.”

“Semoga apa yang kau katakana benar, Al.”

“Iya. Mungkin kau butuh waktu untuk percaya akan ini semua. Semua ini memang terlalu tiba-tiba,” ujar Alexandra kemudian meninggalkannya.

Drafisty kembali larut dengan beribu pertanyaan yang berseliweran dalam kepalanya. Apa mungkin selama ini pemikirannya terhadap manusia terpilih terlalu tinggi. Hingga ketika dia harus menerima kenyataan bahwa seorang seperti Beck yang sangat biasa adalah manusia terpilih, rasanya sulit untuk percaya. Manusia terpilih adalah istimewa. Dialah penolong yang dapat menyelesaikan masalah yang membuat perseteruan antara manusia dan penyihir. Seharusnya dia mempunyai keistimewaan dan kemampuan melebihi para penyihir. Tapi Beck hanyalah manusia yang teramat biasa.

Bersambung ke Bab 09, Bisa Apa Aku?

Bab 07, Hallo

Wush…!!!

Tiba-tiba saja benda itu terbang.

Alexandra terpental beberapa meter karena kaget. Dia terduduk di lantai. Drafisty dan Norah yang juga menyaksikan kejadian itu menjerit histeris.

“Rasanya aku mengenal benda itu,” batin Alexandra.

“Hallo,” sapa benda itu sambil menepakkan sayapnya.

Ketiga penyihir itu membelalakkan mata tak percaya. Apa benar kalau yang berada di hadapan mereka saat ini adalah…

“THUFRY?”

“Yup! Bagaimana? Kangen?” goda Thufry.

“Kau hampir membuatku mati konyol,” rutuk Norah kesal. “Aku sempat berpikir kalau kau tak akan kembali. Karena aku tahu kemampuanmu.”

“Sudahlah, Norah! Thufry baru saja kembali,” Alexandra menasehati.

“Thu, kau bawa berita apa?” Tanya Drafisty penasaran. Seolah tidak memperdulikan nasehat Alexandra.

“Aku bawa berita baik dan berita buruk.”

“Istirahatlah dulu, Thu! Kau pasti lelah,” saran Alexandra pada Thufry.

“Aku tidak lelah kok. Tadi aku kan sudah sempat mengumpulkan tenaga,” tolak Thufry. Sebenarnya dia ingin istirahat, tapi dia sudah tidak sabar lagi untuk menceritakan berita yang dia bawa.

“Sty, kau ingin dengar berita baik atau berita buruknya?” Tanya Thufry.

“Berita baik.”

“Kurasa berita buruk lebih baik didengar terlebih dahulu,” usul Norah. Tapi lagi-lagi tak ada yang memperdulikan perkataannya. Dengan kesal Norah melipat kedua tangannya bersedekap. “Okay, kita akan dengar berita baiknya dulu,” sungut Norah mengalah dan terdengar jauh dari tulus.

“Cepat ceritakan, Thu!” desak Drafisty.

“Baik!” Thufry diam sejenak mencoba mencari kata yang tepat untuk memulai ceritanya.

“Jadi begini, setelah keluar dari jalan dimensi aku kehilangan kekuatanku selama beberapa hari. Kekuatanku habis total hingga aku menjadi batu biasa.”

“Mungkin karena itu kau tidak bisa menerima telepatiku,” bisik Alexandra.

“Ya. Aku merasakan telepati itu, tapi aku tidak bisa menerimanya.”

“Apa kau anggab ini berita baiknya?” sela Norah.

“Aku belum selesai,” sanggah Thufry membela diri.

“Selama aku menjadi batu biasa, aku dipungut oleh seseorang…”

“Ayolah Thufry, jangan bertele-tele lagi. Langsung saja ke intinya!” sela Norah lagi.

Thufry pun mulai jengkel. “Tolong jangan potong perkataanku!”

“Huh!” Norah mendengus kesal kemudian menyingkir dan duduk di kursi yang berada di sudut ruangan.

“Hm… sampai di mana aku tadi?” Tanya Thufry.

“Sampai kau dipungut seseorang,” ujar Drafisty memberitahukan.

“Oya! Orang itu ternyata manusia terpilih.”

“Dari mana kau tahu kalau itu dia?” Tanya Alexandra.

“Tadi kau bilang kalau kau terus-menerus menelepatiku,” ujar Thufry, Alexandra mengangguk mengiyakan. “Dia menerima telepatimu. Aku merasakannya.”

“Itu sangat bagus,” teriak Drafisty senang.

“Sekarang dia ada di mana? Kenapa aku tak melihatnya?” Tanya Alexandra sembari melemparkan pandangannya keseluruh ruangan.

Thufry terdiam. Dia menghentikan kepakan sayapnya dan turun ke lantai.

“Thu??”

Thufry sedikit ragu. Tapi dengan segenap keberanian diceritakannya juga berita itu. “Ini lah berita buruknya.”

“Apa maksudmu?”

“Dia terpisah dariku.”

“Apa???” jerit Norah yang duduk di sudut ruangan. “Aku tahu kau bodoh. Tapi aku tak pernah menyangka kau dapat menghilangkan manusia terpilih yang hanya ada satu di dunia ini.”

“Maaf. Tapi aku yakin kala dia ada di kota ini. Dan akupun sangat yakin kalau aku dapat menemukannya kembali.”

“Semoga saja. Karena hanya manusia terpilih yang dapat membantu kita menyadarkan para manusia murni itu dari kekejamannya,” ujar Norah. “Dan kalau kita tidak dapat menemukannya, maka kita akan musnah.”

“Jangan cemas! Besok kita akan mencarinya,” ujar Alexandra menyudahi omelan Norah. “Istirahatlah, Thu! Besok kita akan kerja keras.”

“Apa maksudmu dengan kita, X2?”

“Norah, yang dalam bahaya itu kita semua. Jadi kumohon untuk mengerti.”

Norah mendengus kesal. “Ini semua karena kecerobohanmu, Thu.”

“Norah!!!”

“Sudah, Al. Ini memang kesalahanku. Aku yang ceroboh.”

Thufry terbang ke sudut ruangan dan beristirahat di sana.
Semua bagai mengacuhkan Norah dan mulai tertidur. Tidur tanpa mimpi. Menanti apa yang akan terjadi besok.

Bersambung ke Bab 08, Cari dan Temukan

Bab 06, Tiga Penyihir

Beribu-ribu pohon menjulang tingi di hutan itu. Pucuknya yang rimbun seakan tak mengizinkan cahaya matahari mengintip akarnya. Tak tampak aura kehidupan di sana. Seperti kuburan angker yang tak mungkin ada yang mau melewati. Tidak ada kicauan burung yang bertemngger di pepohonan rindang itu, tidak ada kelinci maupun kijang yang bermain dengan rerumputan yang rimbun. Bahkan bunga-bunga yang semestinya menimbulkan kesan indah dan ramah justru terlihat menakutkan.

Hanya tampak sebuah kastil tua di tengah hutan yang gelap itu. Kastil yang menjulang tinggi namun bersembunyi di balik rindangnya belantara. Di dalamnya, tiga penyihir yang berhasil meyelamatkan diri duduk terdiam seakan merenungi nasib mereka. Kehidupan yang dicekam rasa takut akan dibunuh dan diburu. Tanpa dapat memilih mereka harus menjalani hidup mengikuti garisNYA. Entah apa kesalahan yang telah mereka lakukan? Padahal mereka baru hidup selama lima belas tahun, tapi mengapa mereka harus menjalani sesuatu yang tak pernah mereka pilih. Andai boleh meminta, mungkin mereka akan meminta untuk dilahirkan di masa di mana mereka bisa hidup dengan tenang dikelilingi oleh keluarga yang mereka sayangi. Bukannya bersembunyi tanpa tahu keadaan diluar, bahkan kehilangan keluarga.

“Apa kita harus di sini terus? Bersembunyi dari dunia?” keluh penyihir yang bernama Norah.

“Kau selalu menanyakan itu. Apa kau mau keluar dan ditangkap oleh manusia murni itu? Kemudian dibunuh dan dipasung di tengah-tengah kota? Apa kau lupa kalau para manusia murni itu kini sedang menggila? Mereka jadi aneh dan penuh kebencian pada hatinya,” ujar penyihir seusianya yang bernama Drafisty.

“Tapi kalau seperti ini lama-lama juga kita pasti mati Karena kelaparan. Dan itu pasti lebih menyakitkan. Karena kita akan mati secara perlahan-lahan,” rengek Norah lagi dengan penekanan pada kata-kata terakhir. Cara bicaranya yang sok mendramatisir itulah salah satu dari sekian banyak hal yang Drafisty tidak sukai dari dirinya.

Drafisty menilai bahwa Norah sangat manja dan selalu mempermasalahkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Kesannya berpikiran matang dengan konsep ke depan, tapi nyatanya hanyalah rengekan cengeng yang tak lebih dari sikap pengecut.

“Apa kau tidak bisa menunggu. Menunggu thufry kembali dan membawa penolong kita?”

“Tapi, Sty. Apa kau yakin Thufry akan kembali? Bagaimana kalau Thufry tidak juga kembali? Apa kita akan terus menunggunya seperti ini?”

“Dia pasti kembali. Meskipun akan memakan waktu cukup lama. Tapi tenanglah! Kita tidak akan mati kelaparan karena kita punya banyak persediaan makanan. Kurasa cukup untuk mengisi perutmu yang takut lapar itu,” Drafisty memberitahukan dengan sedikit jengkel.

“Siapa bilang aku takut lapar. Hanya saja benar khan kalau orang bisa mati karena kelaparan?” sungut Norah tak kalah jengkel. Drafisty selalu berkata pedas padanya. “Dan pula kalau Thufry tidak kembali juga dalam seratus tahun bagaimana?”

“Itu tidak mungkin Norah,” ujar seorang penyihir yang satunya lagi.seorang penyihir yang tampak lebih dewasa. Dia bernama Alexandra. Semua memanggilnya Al, tapi Norah memanggilnya X2 . kalau ditanya kenapa norah selalu menjawab. “Nama X2 lebih lucu.”

“Meskipun Thufry masih pemula, dia tidak mungkin menghabiskan waktu sampai seratus tahun,” Alexandra menjelaskan.

“Tapi kemungkinan itu selalu ada,” bantah Norah tak mau kalah.

“Kau tau, Norah? Mendengar keluhanmu yang tak pernah ada selesainya itu justru akan membunuh kami secara sungguh sangat teramat perlahan sekali. Dan itu lebih menyiksa daripada kelaparan karena kehabisan bahan makanan,” ujar Drafisty jengkel sambil mencoba membuat lelucon.

Alexandra mencoba menahan tawanya. “Memang benar. Kau dapat membunuh kami dengan cara yang lebih menyiksa.”

“Itu tidak lucu, Sty. Dan itu tidak benar X2.”

“Ya-ya. Itu kan menurutmu,” olok Drafisty. “Kalau aku boleh kasih saran, sebaiknya kau berhenti mengeluh! Itu bisa membuat riasan di wajahmu retak karena cemberutmu itu.”

“Kau selalu menjengkelkan,” sungut Norah.

“Kau juga selalu mengatakan hal itu,” balas Drafisty pula.

Spontan Alexandra tertawa.

Yeah. Norah selalu manyun setiap kali mendapat sindiran dari Drafisty. Dan hal itu cukup lucu. Setidaknya ada yang dapat menghibur ketika mereka harus selalu waspada. Bahkan selalu takut untuk memejamkan mata karena takut tak dapat membukanya lagi.

Tak lama suasana mulai hening. Membosankan memang. Tapi suara gemuruh yang menandakan akan turun badai sedikit mengisi kekosongan itu.

Tiga penyihir yang tersisa itupun mulai sibuk dengan kegiatan mereka sendiri.

Drafisty yang mempunyai watak keras dan sedikit emosional ini sedang memainkan tongkat sihirnya hingga mengeluarkan percikan api kecil. Sesekali percikan itu mengenai Norah. Cewek manja yang selalu memperbesar masalah itupun bersungut kesal setiap percikan api itu mengenainya.

“Nanti bisa kebakaran, Sty.”

Norah memang manja dan selalu ingin mendapat perhatian lebih. Sifatnya memang agak menjengkelkan, tapi tidak ada yang membencinya. Bahkan Drafisty sekalipun, meski Drafisty selalu berkata pedas padanya, tapi itu bukan berarti ia membenci Norah. Pada dasarnya Norah adalah cewek baik yang cukup perhatian. Hanya saja sedikit rewel.

Selagi yang lain bersantai, Alexandra justru sibuk dengan telepatinya kepada Thufry yang tidak jelas keberadaannya. Alexandra terkesan lebih dewasa karenan pembawaannya yang tenang. Padahal mereka bertiga sepantaran.

“Al, istirahatlah sebentar! Semenjak Thufry pergi kau selalu mencoba menghubnginya melalui telepati. Kau terlalu banyak menguras tenagamu,” sery Drafisty tanpa behenti memainkan tongkat sihirnya. Lagi-lagi sepercik api mengenai kulit Norah.

“Sty! Lama-lama kulitku yang halus mulus ini jadi kasar,” teriak Norah jengkel. Tapi seperti biasa tak ada yang menanggapi omelannya.

“Kalian tahu? Aku sudah berkali-kali mencoba menghubungi Thufry, tapi tak pernah berhasil. Tidak pernah ada jawaban darinya,” Alexandra memberitahukan. Tersirat letih pada wajah mungilnya itu.

“Apa aku bilang. Thufry tuh gak bakal balik lagi. Dia tuh sudah gagal total.”

“Diamlah!!!” bentak Drafisty. Norah langsung menutup mulutnya rapat-rapat. “Kau selalu mengeluh dan mengeluh.”

“Sudahlah, Sty! Jangan ribut,”Alexandra mulai menasehati. “Dari sekian banyak penyihir di kota ini, hanya bersisa kita bertiga. Jadi kita harus bisa kompak dan rukun satu sama lainnya.”

Drafisty dan Norah hanya tertunduk. Seolah tersadar akan kesalahan yang telah mereka perbuat.

Tiba-tiba saja angin berhembus kencang. Pintu jendela terbuka kemudian terhempas kembali menimbulkan suara dentuman keras yang cukup mengagetkan. Sebuah benda masuk dengan kecepatan tinggi dan terlempar mengenai vas hingga vas itu terjatuh dari meja dan pecah berkeping-keping.

“X2, kamu tahu apa itu?” Tanya Norah dengan suara sedikit bergetar.

Benda itu bercahaya agak redup. Seolah menandakan rnergi yang sekarat.

“X2…?”

Alexandra melangkah mendekati benda itu. Langkahnya amat pelan seolah tak ingin menimbulkan decitan pada lantai. Tapi suasana yang amat hening itu tidak dapat menyembunyikan suara lantai kayu itu.

“Hati-hati!” bisik Drafisty memperingatkan.

Alexandra mencoba untuk mempercepat langkahnya. Tapi entah mengapa kakinya terasa amat berat.

Drafisty dan Norah menahan nafasnya. Alexandra sudah sangat dekat dengan benda itu. Sekarang tangannya sudah dapat menjangkaunya.

Alexandra membungkukkan tubuhnya untuk meraih benda itu, tapi…

Bersambung ke Bab 07, Hallo